“Kalau ada siswi hamil, ya, harus dikeluarkan dari sekolah. Harusnya, kan, dia tahu itu mencemarkan nama baik sekolah. Lha, dia apa nggak mikirin perasaan orang tua kalau dia melakukan hubungan suami istri sebelum menikah?” Kala itu pertengahan 2015. Kami sedang menyelenggarakan sebuah pelatihan intensif bagi remaja siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) selama 4 hari. Dalam pelatihan intensif tersebut 13 remaja perempuan menjadi peserta di kelas perempuan. Kami mendiskusikan kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana terlibat dalam upaya pencegahan sebagai pendidik sebaya bagi teman-temannya. Saat itu kami sedang membicarakan pengalaman sebagai perempuan. “Misalnya dia hamil karena diperkosa, bagaimana?” tanya saya. “Ya, tetap harus dikeluarin, kan, dia hamil. Bagaimanapun, jangan sampai nama sekolah menjadi buruk di luar sana,” tambah Lina. Ini pertama kali saya bertemu dengan mereka, siswi-siswi terpilih dari berbagai SMK di Kabupaten Gunungkidul. “Sebagai perempuan, saya tidak suka menangis,” ucap Wenda,…