Ketika “Rumahku Surgaku” Menjadi “Rumahku Nerakaku” Featured

Written by  Meri Andani Senin, 07 November 2022 12:52

 

(Anak: tak ada lagi ruang aman )

Berita tentang pemerkosaan tidak lagi jarang didengar dan dibaca di media sosial. Bahkan sangat disayangkan yang menjadi korbannya tidak jarang adalah anak di bawah umur.  Dalam kurun waktu sepekan terakhir ini berita tentang Korban  pemerkosaan anak, pencabulan, pembunuhan terhadap anak, pemerkosaan terhadap anak kandung, paman memperkosa keponakan, kakek memperkosa cucu, ayah memperkosa anak, ibu membunuh anak, ayah dan ibu menyiksa anak, dan sebagainya bukanlah sebuah berita yang luar biasa lagi karena sudah hampir setiap hari berita tentang pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak tersebut diberitakan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam catatan dan laporan data kekerasana melalui Sistem Informasi Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 januari – 9 juni 2021 terjadi 2. 319 kasus keekrasan terhadap permpuan dewasa, sedangkan kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 3.314 kasus dengan jumlah korban mencapai sebanyak 3.683 anak. Baru-baru ini ada juga berita tentang rudapaksa bapak terhadap anak kandungnya. Diberitakan pada tanggal 11 September 2021 oleh Serambinews. Bahwa seorang bapak di Kota Subulussalam yang tega merudapaksa anak kandungnya sejak usia anaknya 12 tahun hingga sekarang, terhitung  selama dua tahun aksi bejat bapaknya itu berlangsung. Dan banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang dapat dibaca di berbagai media. Pemberitaan inipun tidak lagi membuat para pembaca empati terhadap korban, karena sering kali media massa ini memberikan framing yang menyudutkan si korban, dan menghilangkan jejak perbuatan pelaku. Bahkan pemberitaannya sering kali menampilkan kelamahan dari korban. Tidak jarang kita lihat yang menjadi gambar dalam berita pemerkosaan adalah perempuan yang dilemahkan, gambar perempuan yang tak berdaya.

Rasa-rasanya saya malas untuk membahas kekerasan seksual. Saya hampir muak mendengarkannya. Saya malah khawatir semakin sering mendengarkan berita tentang kekerasan seksual ini publik akan menganggap hal itu wajar tanpa melihat sedikitpun penderitaan yang mendalam dialami oleh korban. Itu juga yang menjadi alasan kenapa hukuman untuk pelaku kekerasan seksual tidak pernah adil bagi si korban. Karena kita masayarakat terlebih lagi DPR yang merancang undang-undang bisa dipastikan  tidak pernah merasakan apa yang dirasakan korban, oleh karena itu pada implementasi kebijakan akan sulit meletakkan keberpihakan terhadap korban terlebih relasi kuasa yang hadir cukup besar.

Tapi saya sebagai seorang mantan relawan perlindungan terhadap perempuan di Rifka Annisa Yogyakarta hanya bisa mendengarkan pengalaman yang diceritakan oleh korban. Penderitaan yang mereka rasakan itu tidak akan  dapat saya rasakan karena saya bukan korban, saya hanya bisa mendengarkan, membantu mereka tetap bersemangat agar tidak menyalahkan diri sendiri. Tidak mengubur semangat hidup karena bagi mereka hidup ini sudah tidak ada artinya lagi. Begitu dahsyatnya dampak menjadi korban kekerasan seksual. Perbuatan pelaku yang kurang lebih hanya 5-30 menit yang dilakukan dapat menghancurkan hidup korban selamanya. Mengerikan bukan? Siapa yang ingin menanggung derita seumur hidup? Tak ada yang mau bersukarela untuk menaggung penderitaan yang tak pernah diinginkannya. Begitulah perasaan yang dapat saya dengarkan dari mereka, dan  yang mereka alami itu tak pernah terlihat oleh siapapun bahkan seringkali tak pernah dimengerti.

Bagaimana dengan nasib anak yang dilecehkan bahkan disetubuhi oleh ayah, dan kakeknya sendiri? Ayah yang semestinya menjadi pelindung untuk anaknya sekarang menjadi pengubur semua harapan untuk hidup yang tenang dan menggapai cita-cita yang gemilang. Sekarang dunia anak itu sudah tidak akan sama lagi dengan dunianya dulu, anak itu akan menjadi anak korban kekerasan selamanya. Sekarang kita perlu mempertanyakan dimana lagi tempat yang aman untuk anak jika anggota keluargapun telah menjadi setan penjahat bagi anaknya.

Lebih memilukan lagi seorang bapak menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anaknya. Apakah hal ini wajar? Apakah hal ini bisa dianggap biasa saja dengan membenarkan perbuatan si bapak? Menganggap perbuatan tersebuat tidak menjadi masalah jika si ayah dilanda nafsu sehingga melampiaskan kepada anaknya, atau hanya karena si ibu tidak ada dirumah untuk memuaskan si bapak hingga menjadikan anak korban pemuasan nafsu si bapak? Nafsu yang melekat pada si bapak itu tidak akan bisa dibenarkan untuk melakukan aksi bejatnya. Tidak ada pemaafan perbuatan tersebut  dengan alasaan apapun, dengan dalih nafsu tidak dapat terkendali, tidak ada pelampiasan, tidak bisa menahan nafsu. Apa yang harus kita lakukan untuk memberikan perlindungan kepada anak?

Ada setidaknya 3 hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya untuk melindungi serta memberikan rasa aman untuk anak korban kekerasan serta upaya untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap anak diantaranya :

Pertama, pentingnya mengajarkan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi kepada anak. hal yang sangat mendasar untuk mengurangi dan menghindari faktor terjadinya pelecehan seksual terhadap anak dengan memberikan pembelajaran dan pendidikan seks kepada anak. Penting untuk  dipahami oleh orang tua bahwa pendidikan seks ini bukan melulu berbicara persoalan hubungan seksual. Pendidikan seks dimaksud adalah upaya untuk meberikan pengajaran dan pemahaman serta informasi tentang seksualitas. Berbicara persoalan seks adalah berbicara tentang kelamin. Maka untuk memberikan pemahaman tentang seks kepada anak harusnya sesederhana memperkenalkan anggota-anggota tubuh manusia, seperti mulut, hidung, anus, dan sebagainya. Agar kita tidak merasa tabu untuk mengajarkan tentang seks atau kelamin ini anggaplah bahwa kelamin hanyalah salah satu bagian dari anggota tubuh kita, yang wajib dan harus dilindungi dan dirawat sama seperti anggota tubuh lainnya. Sehingga orang tua tidak perlu merasa sungkan atau enggan untuk membicarakan persoalan kelamin kepada anaknya. Artinya, jangan beranggapan dan berpikir bahwa pembahasan alat kelamin ini menjadi hal yang istimewa dan rahasia.

Pentingnya memberikan pemahaman dan pembelajaran tentang seks bagi anak untuk mereka belajar menghargai dan melindungi seluruh anggota tubuhnya. Tanamkan pemahaman kepada anak bahwa seluruh anggota tubuhnya wajib dilindungi dan dibentengi dari hal-hal yang tidak sepatutnya didapatkan. Anak harus paham tentang reproduksi agar mereka mampu menjalankan peran dan fungsi sosial di masyarakat dengan baik.

Kedua, penyadaran bagi orang tua untuk melindungi, mendidik, merawat, menjaga, memberi kasih sayang dan memberikan rasa aman kepada anak. Anak yang tidak pernah meminta untuk dilahirkan berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan rasa aman di dunia ini. anak wajib mendapatkan perlindungan oleh keluarganya. Jangan sampai anak yang harusnya dilindungi oleh anggota keluarga malah menjadi anggota penjahat yang harus dihindari anaknya. Tidak ada lagi istilah “rumahku surgaku” bagi anak. Karena rumah itu sudah menjadi neraka baginya. Bagaimana tidak, anak yang dengan polosnya berdiam diri di rumah tetap saja menjadi korban kekerasan. Jangan lagi ada anggapan bahwa korban kekerasan seksual terjadi karena dia berada ditempat yang sepi, sunyi, gelap, dan berjalan sendirian ditengah malam. Tidak ada lagi tempat khusus untuk pelaku melakukan aksinya kejahatannya, tidak ada lagi ruang yang dihindari dan ditakuti pelaku untuk melakukan kebejatannya, bahkan rumah dan kamar anaknya sendiripun bisa menjadi tempat aman baginya. Apa korban akan tetap disalahkan lagi karena berada dijalan yang sepi dan sunyi? Bagaimana dengan rumah sendiri?

ketiga, aturan dan hukum yang jelas. Hadirnya sebuah aturan atau undang –undang karena mengatur perbuatan atau kejahatan yang tidak dibenarkan, sedangkan meningkatnya sebuah kejahatan karena lemahnya hukuman dan undang-undang yang mengaturnya. Jika hukum bagi pelaku kekerasan seksual ini diabaikan dan tidak pernah dievaluasi atau diperbaiki, saya khawatir 10 atau bahkan 20 tahun lagi berita tentang kekerasan seksual akan melonjak tinggi serta berita tersebut akan dianggap hal yang wajar, biasa saja, dan tidak penting oleh publik.

Harapan saya, atau bahkan harapan kita semua agar berita tentang kekerasan seksual tidak lagi didengar setiap harinya. Hal pertama yang saya harapkan adalah hukuman bagi pelaku korban kekerasan lebih ditegaskan dan diberikan keadilan yang seadil-adilanya untuk si korban. Kalau bisa pelaku yang merangkap menjadi anggota keluarga korban akan mendapatkan hukuman dua kali lipat dari hukuman untuk pelaku di luar anggota kelaurga. Kenapa? karena dia melakukan dua kejahatan besar, pertama melakukan kekerasan seksual yang kedua tidak bertanggung jawab atau melalikan kewajibannya untuk melindungi dan memberikan keamanan kepada anak.

Meri Andani, mantan relawan Rifka annisa, magister hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Read 1102 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:44
46384606
Today
This Week
This Month
Last Month
All
20260
58414
236851
306641
46384606