Perjuangan Kartini Sehat Menantang Ekspektasi dan Stigma Featured

Written by  Mirna Yusuf Jumat, 05 Mei 2023 08:58

Emansipasi perempuan Indonesia tidak akan pernah lepas dari sosok pahlawan perempuan asal Jepara. Meski berasal dari golongan priayi, posisinya sebagai perempuan tetap menjadikannya sebagai kelompok marginal. Perjuangannya sangat membumi di Indonesia, beliau adalah Raden Ayu Kartini. 

Kartini menyampaikan misi emansipasi perempuan melalui buku-bukunya, salah satunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini berisi surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda. 

Kartini menceritakan posisi perempuan yang terkekang dan mengalami subordinasi akibat sistem feodal dan kolonial pada masa itu, khususnya dalam hal pendidikan. Perempuan dilarang mengakses pendidikan yang merupakan hak setiap orang–hanya diperbolehkan tinggal di rumah untuk mengurus suami dan anak.

Situasi tersebut mendorong Kartini menyuarakan emansipasi dengan harapan perempuan memiliki kesempatan dan posisi setara dengan laki-laki dalam berbagai hal, baik dalam mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, dalam berpartisipasi di kursi pemerintahan, dan dalam bekerja di berbagai profesi.

Persoalan yang diangkat oleh Kartini menggambarkan realitas sosial yang didominasi oleh laki-laki, yang sekaligus menunjukkan timpangnya posisi perempuan dan laki-laki di berbagai konteks kehidupan. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, perjuangannya pada masa itu kemudian membuahkan hasil, di antaranya yakni berdirinya sekolah perempuan. 

Lalu, apakah perjuangan Kartini akan selesai sampai di sini? Tentu tidak. Perjuangan perempuan Indonesia untuk terus berdaya tidak hanya sampai pada tercapainya cita-cita tersebut. 

Seiring berjalannya waktu, perempuan dihadapkan dengan berbagai tantangan kompleks di masa kini berupa ekspektasi dan stigma yang mewujud dalam beragam bentuk. Ekspektasi dan stigma yang ada dan berkembang di masyarakat ini berpotensi membatasi perempuan Indonesia untuk sejahtera dan berdaya seutuhnya.

Adapun ekspektasi dan stigma demikian disebabkan atas adanya konstruksi sosial yang menimbulkan anggapan tertentu terhadap perempuan, sehingga menimbulkan berbagai ruang pemisahan antara laki-laki dan perempuan. 

Misalnya, dalam pasar tenaga kerja. Tampak stigma berbasis gender tentang pekerjaan yang dibangun sedemikian rupa, sehingga muncul berbagai kriteria yang seolah hanya pantas dan sesuai dilakukan oleh laki-laki, atau sebaliknya. Sebagai lanjutan dari stigma ini, muncul juga ekspektasi kepada seseorang berdasarkan gendernya.

Kondisi tersebut berakar pada pandangan mengenai laki-laki yang diidentikkan dengan sifat maskulin dan perempuan bersifat feminin.

Perempuan dianggap secara fisik kurang kuat daripada laki-laki, sehingga dipandang tidak kompeten untuk melakukan pekerjaan berat. Juga, saat perempuan berkarir, karena dipandang bertanggung jawab atas peran pengasuhan keluarga, maka perempuan juga harus melakukan pekerjaan domestik, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai beban ganda.

Lalu, apakah perempuan Indonesia masih berdaya Apakah perempuan Indonesia masih memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Kartini masa kini? 

Sejatinya, perempuan dapat terus memperjuangkan kesetaraan seperti yang dilakukan oleh Kartini. Akan tetapi, tentu kesetaraan yang diperjuangkan memiliki bentuk dan versi yang berbeda. 

Perbedaan ini terletak pada konteks masa yang dihadapi. Jika Kartini masa lalu merupakan perintis, Kartini masa kini merupakan pewaris yang tetap terus berjuang melawan stigma dan ekspektasi. 

Perjuangan ini tentu tidak mudah. Adapun salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam bergulirnya perjuangan ini adalah kondisi mental. Kesehatan mental menjadi modal penting dalam melawan stigma dan ekspektasi masyarakat yang dapat membatasi ruang gerak perempuan. Ekspektasi ini pada gilirannya memunculkan tuntutan serius. Sehingga, isu kesehatan mental terhadap perempuan di Indonesia merupakan isu yang krusial, terkhusus ketika perspektif dan norma bias gender  yang berlaku di masyarakat terus menggerogoti posis perempuan. 

Lalu, apakah perempuan Indonesia tetap bisa menjadi Kartini masa kini dan sehat secara mental? 

Ada banyak faktor yang dapat menjadi Kartini masa kini sehat secara mental. Secara umum, terdapat dua faktor yang memengaruhi, yakni faktor internal dan eksternal. 

Faktor internal yaitu faktor yang dihadirkan dari diri sendiri. Hal ini melingkupi peningkatan nilai (value) diri melalui peningkatan rasa percaya diri. Kartini masa kini dapat beradaptasi dan berdamai dengan kondisi diri yang dimiliki. Menjadi setara bukanlah sebuah perlombaan, akan tetapi sebuah tuntutan atas kebebasan. 

Adapun faktor eksternal meliputi hal yang berasal dari luar diri. Ini mencakup dukungan-dukungan dari orang-orang sekitar. Sejatinya, manusia merupakan masyarakat sosial yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, untuk tetap menjadi diri sendiri, perlu lingkungan yang baik dalam mendukung tercapainya cita-cita tersebut. 

Kedua hal ini dapat menjadi pondasi para Kartini masa kini dalam melawan stigma yang ada. Kartini masa kini harus mengepakkan sayap lebih lebar, karena perjuangan R.A. Kartini harus tetap dilanjutkan. 

Kartini masa kini harus menjadi pewaris yang bijak dan sehat secara mental dalam melanjutkan perjuangan perempuan di Indonesia. Untuk mewujudkan sebuah perubahan, maka perlu dimulai dari diri sendiri. 

Setelah perjuangan dalam diri sendiri, maka perjuangan dapat dilanjutkan dan disebarkan melalui lingkup yang lebih besar; komunitas maupun kelompok. Kartini dapat menjadi panutan dalam perjuangan ini.

Read 864 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:32
46385169
Today
This Week
This Month
Last Month
All
20823
58977
237414
306641
46385169