Oleh: Ratnasari Nugraheni
E-mail: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Sudah menjadi adat kebiasaan bahwa setiap peserta diskusi dua jam komunitas ibu di Desa Mertelu, Gedangsari, Gunung Kidul mendapatkan kesempatan bergilir untuk membuka acara. Pertemuan kesembilan pada hari Senin (9/6), pukul 09.30 WIB, dibuka oleh Ermiyati, salah satu peserta asal dusun Mertelu. Dengan fasih, Ermi memperkenalkan Fitria Indra Harjanti sebagai fasilitator diskusi yang bertemakan “Berbagi Peran”.

Guna menggali lebih dalam mengenai pengalaman ibu-ibu bersama suami mereka, Fitri memberikan pertanyaan tentang hal-hal yang paling disukai ibu-ibu ketika suami berada di rumah. Sebagian besar ibu-ibu menjawab bahwa keterlibatan suami dalam kegiatan rumah tangga menjadi hal yang paling membahagiakan untuk mereka. Jawaban ini mengisyaratkan bahwa berbagi pekerjaan rumah tangga dalam keluarga memberikan dampak positif dalam keluarga.

Tuntutan ekonomi diera serba mahal sekarang ini menuntut perempuan untuk ikut bekerja di luar rumah. Demi terpenuhi kebutuhan keluarga, perempuan ikut ambil bagian dalam mencari nafkah. Akan tetapi ketika perempuan turut berperan di ranah publik, hal ini tidak dibarengi dengan keterlibatan kaum laki-laki di ranah domestik. Seringkali sebelum berangkat atau setelah pulang kantor, perempuan masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak, merapikan rumah, mengurus anak, dan lain-lain.

Beban ganda harus ditanggung perempuan yang memiliki aktivitas di luar dan di dalam rumah. Kondisi ini pun dianggap sebagai hal lumrah dan sudah menjadi kodrat perempuan. Perspektif budaya patriarkilah yang masih melanggengkan cara pandang ini. Solusi untuk meringankan atau bahkan menghilangkan beban ganda yang dialami perempuan adalah dengan menerapkan konsep berbagi peran dalam kehidupan berumah tangga.

Berbagi peran yang dimaksud bukan sekedar suami membantu pekerjaan istri ketika istri berada di rumah. Akan tetapi, suami berkomitmen untuk menggantikan peran istri ketika istri sedang berada di luar rumah. Hal ini juga harus dibarengi dengan sikap percaya dan menghargai dari para istri. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam mengawali suatu pekerjaan baru memerlukan proses pembelajaran yang tidak singkat. Sama halnya ketika suami mulai berkomitmen untuk berbagi peran dalam pekerjaan domestik, istrilah yang menjadi motivator, pendukung, dan mentor suami.  Dengan demikian, berbagi peran menjadi solusi terbaik untuk menghilangkan beban ganda yang dipikul perempuan.

Oleh : Ani Rufaida

Sarasehan bersama dengan komunitas PKK Desa Ngalang digelar pada Jumat pekan lalu (27/6) di Gedangsari. Kegiatan ini merupakan acara sosialisasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, yang dilakukan Rifka Annisa bekerjasama dengan PKK Desa Ngalang.

Acara yang dihadiri oleh kader-kader perwakilan dari dusun ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang pencegahan kekerasan seksual anak. Peserta diajak untuk mengenali korban usia anak serta mengenali modus yang dilakukan pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Acara ini difasilitasi oleh Nurmawati selaku Staf Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa. Nurma menanyakan kepada peserta mengenai hal-hal apa yang dipikirkan ketika mendengar kata ‘kekerasan seksual’. Tanggapan para peserta sangat beragam. Ada yang mengatakan, minder, JIS (Jakarta International School), kejahatan kemanusiaan, dan ketakutan di sekolah.

“Kondisi ini sangat mengkhawatirkan apalagi banyak terjadi di sekolahan”, ungkap Lia, peserta yang berprofesi sebagai guru pendidikan anak usia dini di Dusun Ngalang.

Nurma mengungkapkan berdasarkan data kasus kekerasan terhadap anak tahun 2013, terdapat 3.339 kasus dan sebanyak 525 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Pada tahun ini, 2014 (periode Januari-April), terdapat 459 kasus kekerasan seksual.

Nurma pun menambahkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan segala perilaku yang terjadi antara orang dewasa dengan anak di bawah umur, hal ini bisa terjadi dengan kontak fisik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Modus yang dilakukan pelaku bisa dengan membelikan hadiah, melakukan aktivitas bersama, melakukan permainan yang menarik perhatian anak. Sebanyak 60% pelaku adalah orang yang dekat dengan korban.
Karekter pelaku pun bisa kita cermati, diantaranya pelaku adalah orang yang disegani anak baik karena suka maupun takut. Pelaku memahami dunia anak dan dinamika perkembangan anak, sehingga mudah mendapatkan kepercayaan anak. Pelaku mencari kepuasan dari kekuasaan menundukkan’ korban. Ini membuatnya menjadi merasa berharga.  

Kenapa anak? Anak adalah korban ideal karena tidak bisa melawan, anak ketika diancam dan diintimidasi tidak akan berani mengadu.
Nurma juga menceritakan pengalaman Rifka Annisa WCC mendampingi anak korban kekerasan. Sebagian besar dari mereka merupakan korban incest (kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarganya). Dampak yang terjadi pada anak yakni anak akan merasa kebingungan, merasa ketakutan maupun minder, takut bertemu pelaku, berubah sikap secara drastis, lebih mudah marah, lebih tertutup, lebih pendiam, lebih emosional, merasa bersalah, dan menjadi pendiam.

Apa yang bisa dilakukan? Sejak anak masih kecil, biasakan komunikasi yang terbuka dan hangat, Diskusikan sejak awal mengenai seksualitas yang disesuaikan dengan perkembangan usia. Pada anak praremaja dan remaja, dampingi mereka untuk menghadapi dorongan seksualitas, peer-pressure, dan media.

Tekankan bahwa tidak ada orang yang boleh menyentuh area privat mereka kecuali orangtua dan pengasuh saat membantu di kamar mandi. Kita perlu membedakan sentuhan baik dan sentuhan jahat yang dilakukan oleh orang di sekitarnya.

Serta ajarkan tiga langkah terhadap anak ketika ada yang akan melakukan sentuhan jahat dengan   menolak dan berteriak, lari sekencang-kencangnya dan secepatnya beritahu orang dewasa yang mereka percayai.

Hal yang perlu diwaspadai sebagai orang tua yakni mengenali perubahan pada diri anak baik perubahan fisik, infeksi dan penyakit, perubahan emosi dan psikis, serta perubahan sosial. Jangan lupa melapor kepada pihak yang merasa penting untuk terlibat.
Pada sesi akhir, acara ditutup dengan berbagai tanggapan dari peserta terkait tema kekerasan seksual terhadap anak.

Oleh: Ratnasari Nugraheni
E-mail: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Tak terasa diskusi rutin dua jam komunitas ibu di Desa Ngalang telah berjalan sampai sembilan kali pertemuan. Tema yang diusung dalam pertemuan kali ini adalah “Berbagi Peran”. Diskusi berlangsung di Balai Desa Ngalang, Gedangsari, Gunung Kidul pada pukul 13.30-15.30 WIB. Sejumlah 15 ibu-ibu hadir dalam diskusi yang difasilisi oleh Fitri Indra Harjanti.

Fitri mengawali diskusi dengan menanyakan hal-hal yang paling disukai ibu-ibu ketika suami sedang berada di rumah. Berbagai jawaban terlontar dari para peserta, antara lain: makan bersama, menjemur pakaian, menyapu, menimba air, mencuci, menjaga anak, memandikan anak, dan memasak. Semua jawaban tersebut terkait pekerjaan rumah tangga yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum perempuan.

Tak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan wajib kaum perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan domestik tersebut sudah seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga, bukan hanya satu individu saja.

Di sela-sela diskusi, Fitri memutarkan video yang menggambarkan sebuah keluarga yang memasrahkan pekerjaan domestik hanya kepada kaum perempuan, yakni ibu dan anak perempuannya. Dalam kehidupan nyata, kondisi seperti itulah yang sering terjadi di kalangan masyarakat luas. Sedari kecil, pekerjaan domestik diidentikkan sebagai pekerjaan kaum perempuan. Sehingga dalam kehidupan berumah tangga, perempuan identik dengan dapur.

Mengubah cara pandang tersebutlah yang gencar dilakukan Rifka Annisa bekerja sama dengan Rutgers WPF, untuk menciptakan keluarga yang lebih harmonis dan jauh dari tindak KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Selain itu, hal ini juga dilakukan untuk menghilangkan beban ganda, peminggiran ekonomi, penomorduaan, pelabelan, dan kekerasan terhadap perempuan.

Jumat, 04 Juli 2014 12:05

Punya Rahim, Belum Tentu Feminis

Oleh: Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Para pakar membuat definisi femisisme dari berbagai aspek. Namun pada dasarnya, feminisme adalah sebuah kesadaran akan adanya ketidakadilan yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia. Baru pada tahun 1993, Kamus Oxford memasukkan kata feminisme yang diberi arti “pandangan dan prinsip untuk memperluas pengakuan hak-hak perempuan”. Meksipun definisi ini dirasa masih kurang untuk menjelaskan tentang feminisme yang sebenarnya. Paling tidak, ada dua hal yang sangat penting dalam feminisme. Yakni adanya kesadaran dan perjuangan. Kesadaran tersebut akan melahirkan ideologi, dan perjuangan melahirkan gerakan (movement).

Gerakan feminisme lahir karena adanya ketimpangan atas pemenuhan hak-hak atas perempuan. Di Indonesia misalnya, ketimpangan tersebut salah satunya terjadi dalam bidang pendidikan dimana yang mendapatkan akses pendidikan hanyalah kaum laki-laki. Perempuan saat itu lebih ditempatkan sebagai konco winking yang hanya bisa berkecimpung dengan dunia dapur, sumur, dan kasur. Ketimpangan seperti inilah yang kemudian melahirkan kesadaran dan perjuangan untuk memenuhi hak-hak perempuan tersebut. Orang-orang yang sadar akan ketimpangan inilah yang disebut sebagai feminis.   
Sebagaimana feminisme, istilah feminis juga tidak dapat didefinisikan secara tunggal. Namun, melihat definisi feminisme diatas, maka feminis dapat dikatakan sebuah istilah yang disematkan untuk orang-orang yang memiliki kesadaran dan turut memperjuangkan hak-hak perempuan yang ditemukan tidak terpenuhi secara baik diseluruh dunia. Kesadaran tersebut tergantung pada seorang yang telah mengalami penyadaran pengetahuan mengenai penindasan perempuan, dan pengakuan mengenai perbedaan dan komunalitas perempuan.

Lalu, bagaimana cara mengetahui seseorang merupakan feminis atau bukan? Dalam sebuah training feminisme yang dilakukan oleh Rifka Annisa tanggal 17 Maret 2014 silam, Nunuk Prasetya Murniati (seorang feminis dan teolog) mengatakan bahwa pengalaman merasakan ketertindasan sebagai perempuanlah yang akan menentukan seberapa jauh kefeminisan seseorang. Bisa jadi saat berusia anak, seseorang tertindas bukan dari keluarganya, namun ketertindasan dalam bentuk yang lain seperti dari lingkungan bahkan negara.

Apakah semua perempuan adalah feminis? jawabannya tentu tidak. Tidak semua perempuan memiliki kesadaran dan ikut bergerak dalam perjuangan memenuhi hak-hak perempuan. Rahim adalah salah satu bagian dari reproduksi. Dengan adanya rahim, seorang perempuan dapat menjalankan fungsi reproduksinya yakni melahirkan. namun, hal itu bukanlah sebuah jaminan bahwa seorang perempuan menjadi seorang feminis. Seperti pada definisi sebelumnya, seorang feminis adalah mereka yang memiliki kesadaran dan ikut berjuangan dalam pemenuhan hak-hak perempuan yang notabenenya tidak terpenuhi dan mengalami ketimpangan dibandingkan hak laki-laki. Maka definisi ini secara otomatis mengisyaratkan bahwa perempuan yang hanya memiliki rahim tetapi tidak memiliki kesadaran dan perjuangan akan ketimpangan hak-hak perempuan tidak dapat disebut sebagai feminis.

Kesadaran akan adanya ketimpangan dan ketertindasan yang dialami perempuan akan termanifestasi pada perjuangan akan nilai-nilai feminisme itu sendiri. Feminisme tidak hanya memperjuangankan hak-hak perempuan secara parsial. Tetapi perjuangan akan nilai feminisme sebagai sebuah nilai yang universal yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Keadilan, kesetaraan, kehidupan, kemanusiaan, cinta kasih, persaudaraan, keterbukaan, kejujuran, dan kebenaran adalah sebagian dari nilai yang diperjuangkan oleh feminisme. Oleh karena itu, feminis tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Tetapi ditentukan oleh sejauh mana kesadaran dan perjuangan seseorang dalam memperjuangkan nilai-nilai feminisme diatas. Seorang perempuan yang memiliki rahim belum tentu menjadi feminis. Semua tergantung pada kesadaran dan perjuangan untuk kaumnya sendiri. 

Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Tak seperti diskusi-diskusi sebelumnya yang difasilitatori oleh Thantowi, kali ini diskusi dua jam komunitas ayah di Desa Mertelu pada Kamis (5/6) pukul 13.00 WIB difasilitatori oleh Indiah Wahyu Andari, Konselor Psikologi Rifka Annisa WCC Yogyakarta. Tema diskusi adalah “Relasi Hubungan Tanpa Kekerasan”.

Indiah mengawali diskusi dengan menanyakan hal yang paling mengesankan yang dilakukan istri selama menikah. Beragam jawaban terlontar dari para peserta diskusi, ada hal yang positif dan negatif. Tetapi, secara garis besar, jawaban-jawaban tersebut berkaitan dengan adanya kehidupan baru yang melibatkan dua individu yang menjadi satu.

“Dalam kehidupan berumah tangga pasti ada kerikil-kerikilnya, maka dari itu, kita akan bersama-sama mengidentifikasi kerikil-kerikil tersebut”, jelas Indiah.  Lebih dalam lagi, Indiah mengajak peserta diskusi untuk mengenal berbagai jenis kekerasan dan penyebab terjadinya kekerasan. Kerikil-kerikil dalam rumah tangga yang tak terselesaikan atau terpendam akan membawa kekerasan masuk ke dalam kehidupan berumah tangga. Tak ayal, dalam relasi kuasa dan hadirnya ketimpangan kedudukan akan membawa dampak kekerasan di mana mayoritas korbannya adalah anak dan istri.

“Mbak, terkadang suami mendapat kekerasan psikis dari istri karena istri lebih besar penghasilannya daripada suami”, ungkap Beja, salah satu peserta diskusi dari Desa Mertelu. Menanggapi pendapat Beja, Indiah mengatakan, “Apakah penghasilan istri harus selalu lebih rendah? Belum tentu, mencari duit itu susah akan tetapi kita selalu dibudayakan bahwa suami harus menafkahi istri dan memiliki penghasilan yang lebih besar daripada istri.”

Indiah juga menjelaskan bahwa kehidupan rumah tangga itu adalah tanggung jawab dan perjuangan bersama seluruh anggota keluarga. Dalam hal ini, keluarga dianalogikan sebagai tim, di mana seluruh anggotanya harus saling bekerja sama untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama timnya. Dengan demikian, dibutuhkan pola komunikasi asertif dan teguh menjaga komitmen bersama. Hal-hal tersebutlah yang menjadi kunci untuk mencapai keluarga harmonis dan jauh dari kata dan perbuatan kekerasan.

46779578
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2900
14235
287945
343878
46779578