Oleh : Ani Rufaida
Minggu, 23 Februari 2014, Rifka Annisa melakukan kegiatan diskusi komunitas dengan kelompok remaja, acara yang berlangsung di Balaidesa Ngalang Gedangsari dihadiri oleh kelompok pemuda baik yang aktif di organisasi desa maupun sekolah.
Indiah Wahyu Andari selaku konselor psikologi Rifka Annisa menanyakan kepada peserta kapan merasa menjadi laki-laki?” sejak dipanggil laki-laki, sejak mengenal jenis kelamin laki-laki” jawab Inug salah satu peserta diskusi.
Dalam diskusi yang berlangsung peserta banyak membincangkan tentang proses menjadi laki-laki, hal ini seperti yang dituturkan Yopi bahwa menjadi laki-laki banyak kebanggaannya, diantaranya bisa pulang malam, bisa pergi kemana-mana, memiliki kebebasan, menjadi imam, tuturnya.
Tambahnya dengan hal-hal tersebut kebanyakan laki-laki lebih gampang keluar rumah, laki-laki lebih bisa berprilaku semaunya bahkan “nakal juga gak papa” Ungkapnya.
Inug juga mengatakan, hal itu yang membuat banyak laki-laki lebih mudah terjerumus dengan hal-hal buruk seperti laki-laki identik dengan “rokok” demikian laki-laki identik dengan “minum-minuman keras” kalau tidak minum atau merokok ya akan diejek temannya, “lanang kok”. Jelasnya.
Indiah menjelaskan ternyata diantara keistemewaan itu kadang laki-laki juga ada batasan, sejak kecil laki-laki tidak dibiasakan mengungkapkan perasaanya, misal ketika ia jatuh tidak boleh menangis karena dia laki-laki, atau kalau ia mau curhat ke temannya ia akan dikatakan cengeng atau “cemen”.
Pembatasan yang lain seperti laki-laki harus bertanggung jawab, harus melindungi, mencari nafkah, dan mengambil keputusan sendiri membuat ia punya beban berat dalam kehidupannya, yang terjadi adalah ia selalu berusaha memenuhi standar-standar yang diberikan masyarakat tersebut.
Sebenarnya standar kelaki-lakian sebuah pilihan, setiap orang boleh mempertahankan standar itu, namun ada alternative yang lain yang bisa membuat seseorang bisa lebih cair terhadap kriteria yang dimiliki. Misal jika kemudian ada laki-laki yang ingin memenuhi kebutuhan dia untuk menangis, ya silahkan. Ungkap Indi
Kenapa kita mau membatasi teman kita dalam berproses dan belajar, kita boleh memilih menjadi laki-laki dengan standar kita sendiri tidak harus dengan standar orang lain. Membangun konsep diri untuk menjadi laki-laki adalah proses belajar, jelas Indi
Oleh: Megafirmawanti
Pekerja Seks Komersial atau PSK adalah pekerjaan yang kontroversial. Ada kalangan yang memandang miring pekerjaan ini, namun ada kalangan yang mentoleransi dengan beberapa alasan.
Topik tersebut menjadi hal yang menarik dalam diskusi rutin Rifka Annisa pada Rabu, 26 Februari 2014 di Perpustakaan Rifka Annisa. Diskusi yang membedah film “A secret diary of a call girl” tersebut difasilitasi oleh Ratnasari Nugraheni.
“A secret diary of a call girl” adalah film yang diangkat dari kisah nyata seorang escort (PSK high class) di London. Dalam film tersebut, seorang wanita lajang harus menjalani dua sisi kehidupan. Pertama, kehidupannya sebagai Hannah dalam keluarga yang religius. Kedua, kehidupannya sebagai Belle, seorang escort kelas atas di London yang harus memenuhi tuntutan hidup.
Dua sisi kehidupan tersebut menjadi hal yang berat untuk dijalani. Terlebih pada saat menjadi seorang escort dengan pelanggan dari berbagai kalangan. Belle banyak menghadapi lelaki yang haus nafsu. Pernah suatu ketika, ia harus melayani seorang laki-laki yang cacat atau lumpuh tidak bisa berjalan.
Kehidupan Belle sebagai seorang escort membuat ia bertemu dan mengerti begitu banyak karakter laki-laki. Hal tersebut membuat Hannah yang dikenal sebagai seorang sekretaris enggan untuk percaya pada lelaki manapun.
Konflik batin mulai muncul ketika Belle jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang mengharuskan ia meninggalkan dunia PSKnya. Namun, atas pertimbangan yang matang Belle lebih memilih tetap menjadi seorang escort dan meninggalkan Ben, lelaki yang dicintainya.
Secara singkat, “A secret diary of a call girl” memberikan gambaran kepada penonton bahwa ada faktor tertentu yang menjadikan seseorang lebih memilih menjadi seorang PSK. Seperti yang diungkapkan oleh Niken sebagai salah satu peserta diskusi, bahwa pilihan menajdi PSK tidak bisa langsung ditelan mentah-mentah. Ada konteks yang melatar belakangi hal tersebut.
Niken mengaitkan film yang sedang dibedah dengan konteks kehidupan PSK di Yogyakarta. Menurutnya, menjadi PSK di Yogyakarta memang sudah menjadi pilihan terakhir karena faktor ekonomi. Tetapi, jika itu terjadi di kota lain seperti Jakarta, maka menjadi PSK disana sekedar untuk kepuasan semata.
Berbeda dengan Niken, Haryo yang juga peserta dalam diskusi tersebut memandang bahwa persoalan PSK dari sisi yang lebih luas. Menurutnya, fenomena PSK membawa pada tanggungjawab pemerintah dalam hal jaminan kesejahteraan masyrakatnya. Misalnya kebijakan-kebijakan ekonomi, lapangan pekerjaan dan lain-lain. Haryo mengangkat kasus lokalisasi PSK di Surabaya yang akan dibubarkan. Menurutnya, ketika lokalisasi tersebut di tutup. Akan semakin banyak perilaku-perilaku seks yang tak terdeteksi. Hal tersebut akan membawa dampak negatif lainnya. Misalnya, dari segi kesehatan dengan menyebarnya virus HIV.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih satu jam tersebut diakhiri dengan penutup dari Any Sundari selaku moderator. Any memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta diskusi untuk menyimpulkan sendiri apa yang yang telah didiskusikan. Artinya, pilihan setuju atau tidaknya dengan PSK dikembalikan kepada pribadi masing-masing dengan alasan-alasan yang dimiliki. []
Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.Dunia remaja, dunia yang penuh dengan ‘rasa ingin tahu’ dan ‘coba-coba’. Dunia di mana manusia dengan kisaran umur 12 – 21 tahun mencari jati diri. Terkadang rasa keingintahuan yang berujung ‘coba-coba’ inilah yang membawa mereka terjerumus ke dalam hal-hal negatif, salah satunya sebagai pelaku kekerasan seksual. Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan. Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Sering orang mengatakan masa remaja adalah masa muda, jika di masa muda saja sudah melakukan tindak kekerasan, apa yang akan mereka bawa nanti ketika sudah dewasa?
Ada banyak faktor yang membuat remaja menjadi pelaku. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), salah satu faktor penyebabnya yaitu masih kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Akan tetapi, kesehatan mengenai reproduksi itu sendiri masih menjadi suatu hal yang tabu, hal inilah yang menjadi hambatan terbesar dalam proses sosialisasi. Padahal, bekal pengetahuan yang komprehensif mengenai kesehatan reproduksi dapat membuat remaja terhindar dari hal-hal negatif dalam perilaku seksualnya.
Berdasarkan data Rifka Annisa, media menjadi penyumbang terbesar yang mempengaruhi remaja menjadi pelaku kekerasan seksual, misalnya saja karena pernah menonton VCD porno. Selain itu, faktor lainnya adalah mereka pernah menyaksikan orang yang melakukan hubungan seksual, baik itu yang dilakukan oleh orang tuanya, atau temannya yang lebih dewasa. Kemudian, ada pula yang melakukannya karena ikut-ikutan atau dipaksa oleh anak yang lebih dewasa darinya.
Dalam konteks ini, remaja pun perlu tahu cara mengontrol emosi agar tidak berujung pada kekerasan seksual terhadap pacar ataupun orang lain. Perlunya dampingan orang tua dalam membentuk kontrol emosi remaja yang baik. Pendidikan mengenai seks dan kesehatan reproduksi juga harus diajarkan dengan didampingi orang tua. Sehingga, diharapkan kekerasan seksual semakin berkurang, mengingat angka kekerasan seksual tiap tahun selalu merangkak naik.
Oleh:Megafirmawanti
Perempuan dan laki-laki adalah entitas yang seharusnya saling mengisi. Keduanya dihadirkan untuk saling melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Namun sangat disayangkan, hari ini telah terjadi diskriminasi dimana satu pihak merasa lebih superior dibanding pihak lainnya. Dalam hal ini, laki-laki yang merasa sebagai seorang superior, meyakini stigma yang telah lama berlaku pada masyarakat Indonesia bahkan secara universal di dunia, bahwa perempuan itu adalah kaum terbelakang yang tempatnya hanyalah diseputar dapur, sumur, dan kasur.
Konstruksi sosial atas perempuan seperti diatas pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan tidak lagi sebatas kekerasan fisik, melainkan kekerasan yang merusak mental perempuan itu sendiri.
Fakta membuktikan, berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2012, telah ditemukan 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus tersebut terjadi pada berbagai ranah. Yaitu, ranah personal dimana kekerasan terjadi pada mereka yang mempunyai hubungan darah, ranah komunitas yaitu kekerasan yang terjadi pada mereka yang tidak punya hubungan darah tetapi mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi seperti pembantu dengan majikan, ataupun pada ranah negara dalam artian pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas sedang menjalankan tugas. Data tersebut cukup memberikan pengetahuan dan perlu menjadi perhatian, bahwa perempuan sampai hari ini masih menjadi objek kekerasan dengan berbagai bentuknya.
Waktu terus berputar dan teknologi semakin menunjukan taringnya. Kekerasan pada perempuan pada akhirnya tidak hanya dilakukan oleh seorang maskulin, tetapi terjadi pada institusi media yang seharusnya tidak berpihak pada siapapun. Netralitas yang tadinya menjadi salah satu prinsip jurnalistik saat ini diabaikan dan bahkan menuju pada hal yang berlawanan. Media, pada beberapa sisi justru menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi tanpa disadari dan menggerogoti sisi psikologis perempuan itu secara perlahan. Salah satu sisi media yang berperan pada kekerasan adalah melalui iklan.
Perempuan merasa frustasi dengan kulitnya yang hitam serta badannya yang gemuk. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan kulit putih dan tubuh yang langsing. Ketika suatu saat kami berbincang, diketahuilah bahwa sumber kegelisahannya adalah dari iklan-iklan di TV yang menampilkan sosok perempuan yang langsing dan putih.
Berbagai kosmetik dicoba untuk mendapatkan kulit yang putih. Berbagai cara diet dilakukan untuk mendapatkan tubuh yang langsing. Namun yang ada hanyalah frustasi yang semakin menjadi dikarenakan ketidakberhasilan kosmetik dan diet yang dilakukan.
Fenomena kegelisahan tersebut hanyalah secuil gambaran bahwa iklan dengan kekuatan mengkonstruksinya dapat menimbulkan kegelisahan pada seseorang. Dalam hal ini, perempuan adalah komoditas yang sangat mudah untuk dijadikan lahan bisnis. Keindahan fisik seorang perempuan menjadi aset yang berharga untuk dipertontonkan, dengan tidak memperhitungkan efek psikologis yang akan dirasakan oleh target audiens iklan itu sendiri yang notebenenya adalah juga seorang perempuan.
Satu hal yang tidak kalah menyedihkan bahwa efek psikologis yang dimaksudkan adalah, kegelisahan berkepanjangan yang berdampak pada interaksi sosial. Frustasi yang dialami dan kegelisahan yang dirasakan karena tayangan-tayangan iklan tersebut menghadirkan pemikiran bahwa tidak adanya penerimaan masyarakat terhadap sosok perempuan yang hitam dan gendut. Hal ini mengakibatkan seseorang menarik diri dari lingkungan sosialnya dan memilih untuk sibuk dengan dunianya sendiri.
Iklan disebut-sebut sebagai agen kekerasan karena efek psikologis yang tidak disadari memunculkan kegelisahan pada kalangan tertentu. Disitulah letak kekerasan yang tidak disadari. Kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini menyebabkan menurunnya kepercayaan diri, memunculkan rasa takut, serta hilangnya kemampuan untuk bertindak.
Melihat fenomena kegelisahan seperti diatas serta dampak yang terjadi, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa media –dalam hal ini adalah iklan– merupakan agen kekerasan terhadap perempuan. “The agent of woman violence”.
Melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan terhadap perempuan membutuhkan usaha keras dalam penyelesaian kasus-kasusnya. Karena, seperti telah dijelaskan bahwa kekerasan yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekedar, fisik, melainkan telah merambah pada ranah psikis yang pada dasarnya lebih berbahaya daripada sekedar kekerasan dalam bentuk fisik. Jika media yang kita sebut sebagai agen kekerasan terhadap perempuan tidak mengindahkan tayangannya dengan menghilangkan simbol kekerasan didalamnya, maka yang sangat perlu dilakukan adalah menumbukan kesadaran bermedia agar perempuan-perempuan Indonesia cerdas dan cermat dalam menikmati sajian media. []
Oleh : Sabar Riyadi
“Setelah kamu melakukan hubungan seksual perasaan apa yang kamu rasakan?”
“ Menyesal mbak , kenapa dia melakukan itu ( hubungan seksual ) tidak seperti pada video itu.”
(Bunga 15 th ).
Betapa kaget dan terkejut sang konselor mendengar jawaban dari kliennya pada sebuah sesi konseling. Betapa tidak jawaban yang diharapkan muncul adalah jawaban normatif seperti perasaan menyesal , merasa telah berbuat dosa , merasa bersalah kepada orang tua dan seterusnya. Ternyata jawaban yang keluar dari si remaja perempuan malah menjurus pada adegan – adegan seksual pada video-video porno yang pernah ia tonton bersama pacarnya. Setelah digali oleh sang konselor ternyata memang si remaja perempuan telah lama dicekoki dengan semua hal yang berkaitan dengan pornografi oleh pacarnya.
Paparan di atas bukan merupakan kisah rekaan tetapi memang benar-benar terjadi. Kasus-kasus semacam itu yang berpangkal dari hubungan pacaran si remaja perempuan dengan laki-laki hingga terjadi kekerasan seksual pada anak perempuan sangat banyak terjadi. Contoh diatas hanya salah satunya saja. Dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan, sangat rentan diikuti oleh konflik antara orang tua dengan anaknya sendiri karena mereka melihatnya dari sudut pandang mereka masing-masing. Dimana orang tua merasa tidak terima atas perlakuan si laki-laki terhadap anak perempuannya . Karena telah merusak masa depan anaknya dan melaporkan tindakan si pacar kepada polisi. Sementara itu si anak perempuan tidak terima atas pelaporan sang orang tua kepada polisi karena ia sangat mencintai si laki-laki pacarnya.
Memang sangat dilematis sekali bagi orang tua untuk membuat keputusan yang tepat dalam masalah ini. Akan lebih pusing lagi apabila orang tua mendapati anak perempuannya telah hamil diluar nikah. Dalam pandangan masyarakat yang sampai saat ini masih diyakini bahwa hamil diluar nikah merupakan aib yang sangat besar. Sangat menjadi pilihan yang sulit bagi orang tua antara merestui hubungan itu atau tetap memisahkan mereka dan meneruskan ke jalur hukum. Apabila dinikahkan si anak perempuan belum cukup umur dan belum mempunyai kemandirian yang penuh sehingga apabila dinikahkan akan menjadi beban baru bagi orang tua. Tetapi kalau tidak dinikahkan si anak perempuan telah terlanjur hamil. Dalam kasus seperti ini kadang ada orang tua yang harus mengambil keputusan yang tidak popular demi kebaikan si anak perempuan di kemudian hari. Orang tua memutuskan untuk tidak menikahkan tetapi tetap meneruskan kehamilan si anak dan setelah si anak melahirkan diharuskan untuk melanjutkan pendidikannya.
Klasifikasi remaja menurut World Health Organisation ( WHO ) adalah mereka yang berusia antara 10 – 24 tahun , walaupun dalam Undang – Undang Perlindungan Anak Republik Indonesia usia 18 tahun sudah dianggap dewasa .Terpisah hal tersebut menurut WHO mereka yang telah berusia 19 – 24 tahun belum menjamin telah mencapai tingkat kematangan fisik , mental dan sosial . Pada usia remaja merupakan periode peralihan yang pada saat itu dalam taraf pencarian identitas diri , agresif , emosional dan sebagainya.Ada yang perlu digarisbawahi bahwa pada dekade ini kematangan fisik maupun psikis adakalanya tidak bisa berjalan seiring. Adakalanya karena pengaruh gizi pada makanan yang baik akan membuat kondisi fisik lebih cepat berkembang ketimbang psikisnya. Demikian pula sebaliknya karena arus informasi dan komunikasi yang serba maju dan mudah diakses maka kondisi psikis akan lebih cepat matang dan berkembang dibandingkan kondisi fisiknya. Pada periode ini remaja perempuan akan sangat rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnya yang seusia maupun yang lebih tua darinya. Ataupun bisa dilakukan juga oleh orang yang dekat dan berada di sekitarnya. Bisa dari tetangga ataupun dari anggota keluarga itu sendiri. Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefinisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan anak yang lebih tua atau anak yang lebih nalar atau orang dewasa seperti orang asing , tetangga atau sanak keluarga dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan – perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan , ancaman , suap , tipuan atau tekanan (ECPAT International ).
Dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan dilakukan oleh pacarnya sendiri dan sang korban akan sangat sulit lepas dari cengkeraman si pelaku. Biasanya para korban mempunyai ketergantungan psikologis yang tinggi terhadap pelaku. Hal ini bisa dipahami karena para pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam melakukan keinginannya menggunakan sebuah proses , dimana mereka akan menjadi teman seorang anak dengan tujuan untuk memperkecil hambatan dari anak tersebut dan menyiapkan anak tersebut untuk memenuhi kebutuhan seksual pelaku. Ada modus yang dilakukan oleh si pelaku dengan cara mendoktrin anak perempuan / korban dengan kata-kata cinta dan kata-kata yang manis. Dengan demikian korban merasa sangat diperhatikan , dicintai , disayangi oleh si pelaku . Kalimat doktrin tersebut misalnya “sekolah yang rajin dan jangan lupa berdoa”, “jangan lupa untuk shalat”, jangan banyak bergaul dengan teman laki-laki atau “ jangan berhubungan seksual dengan laki-laki kecuali denganku .” Kata – kata tersebut bagi orang dewasa mungkin terdengar sangat naif tetapi bagi anak-anak/ remaja perempuan sangat luar biasa efeknya dan kata-kata itu seolah-olah menghipnotis si korban . Apalagi ditambah jika si anak perempuan sedang atau dalam keadaan yang tidak harmonis hubungannya dengan orang tuanya. Atau si anak perempuan kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan bahwa pelaku menggunakan media pornografi sebagai perangsang untuk menjalin hubungan dengan si anak perempuan atau untuk mengurangi perlawanan dari si anak perempuan itu sendiri . Teknologi informasi dan komunikasi serta internet sengaja dipergunakan oleh para pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk mendapatkan akses terhadap pornografi anak dan juga terhadap anak-anak itu sendiri . Secara berkala ada baiknya apabila orang tua melakukan kontrol dan memonitor telepon genggam si anak tanpa sepengetahuan dari si anak . Hal ini penting untuk mengetahui isi dari handphone si anak , apakah ada akses pornografinya atau is isms terhadap teman-temannya . Sehingga orang tua bisa mengetahui kegiatan si anak melalui handphonenya.
Bahkan para pelaku kekerasan seksual terhadap anak perempuan juga menggunakan jejaring sosial atau teknologi-teknologi lain untuk mendapatkan para calon korban . Seperti yang telah sering kita dengar adalah para pelaku menggunakan situs jejaring sosial sepert facebook sebagai media untuk mendekati dan mendapatkan calon korbannya. Penelitian telah menunjukkan dengan jelas bahwa penggunaan pornografi merupakan salah satu faktor penting yang turut memberikan kontribusi secara langsung terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku seksual yang menyimpang . Walaupun sekarang telah ada Undang-Undang Pornografi tapi itupun belum memberikan perlindungan sepenuhnya terhadap anak-anak.
Untuk mengurangi resiko seperti diatas sangat diperlukan komunikasi dan senantiasa menjaga kasih sayang dengan anak . Kadangkala kesibukan kerja dan aktifitas lain orang tua menjadikan kendala dan hambatan terjadinya interaksi dan komunikasi antara orang tua dengan anak. Orang tua dengan segala dalihnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi si anak dan itu dikiranya telah memberikan perhatian dan tanggung jawab sebagai orang tua . Dilain pihak si anak merasa kurang diperhatikan dan diabaikan oleh orang tuanya. Disinilah akar terjadinya sumber masalah , si anak akan mencari kasih sayang dan perhatian dari orang lain khususnya yang peduli dan menerima dia sepenuhnya. Akan beruntung bila si anak mendapatkan tempat atau teman yang baik dan bertanggung jawab tetapi adakalanya si anak salah memilih tempat atau teman sebagai pilihannya.
Perhatian dan komunikasi disini menjadi sangat penting karena berbagai tantangan dan informasi yang mengelilingi si anak sangat beragam . Orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan soal pendidikan kepada institusi sekolah saja , karena keterbatasan dan kemampuan sekolah satu dengan yang lainnya berbeda . Tidak bermaksud untuk meremehkan peran BK ( Bimbingan dan Konseling ) di sekolah . Tetapi ada beberapa kasus bahwa fungsi BK di sekolah hanyalah merupakan bagian yang lebih menonjolkan sanksi dan hukuman atas pelanggaran aturan sekolah. Sehingga siswa menjadi enggan bersentuhan dan antipati terhadap BK di sekolah. Ditambah lagi apabila guru yang mengampu BK dikenal sangat galak dan kaku dalam menjalankan tugasnya maka akan lebih menambah keengganan siswa untuk menginjakkan kaki di ruang BK untuk melakukan konseling ataupun membantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Padahal fungsi lain dari bimbingan dan konseling di sekolah adalah untuk membantu para siswa mengatasi masalahnya demi menunjang kesuksesan belajar para siswa . Masalah disini bisa merupakan persoalan pribadi siswa maupun hambatan-hambatan yang berkaitan dengan masalah pelajaran di sekolah . Melihat kenyataan seperti ini maka orang tua mau tidak mau harus secara intensif memonitor dan memperhatikan perkembangan anak-anaknya sendiri. Alangkah baiknya juga apabila orang tua bisa mengikuti perkembangan jaman dan teknologi sehingga bisa mengimbangi pengetahuan dan pola pikir anak . Dengan demikian sewaktu-waktu si anak mengajak ngobrol maka obrolan tersebut bisa “ nyambung “. Anak akan merasa menemukan tempat untuk bertanya akan sesuatu hal yang ingin diketahuinya.