Oleh: Megafirmawanti
Pekerja Seks Komersial atau PSK adalah pekerjaan yang kontroversial. Ada kalangan yang memandang miring pekerjaan ini, namun ada kalangan yang mentoleransi dengan beberapa alasan.
Topik tersebut menjadi hal yang menarik dalam diskusi rutin Rifka Annisa pada Rabu, 26 Februari 2014 di Perpustakaan Rifka Annisa. Diskusi yang membedah film “A secret diary of a call girl” tersebut difasilitasi oleh Ratnasari Nugraheni.
“A secret diary of a call girl” adalah film yang diangkat dari kisah nyata seorang escort (PSK high class) di London. Dalam film tersebut, seorang wanita lajang harus menjalani dua sisi kehidupan. Pertama, kehidupannya sebagai Hannah dalam keluarga yang religius. Kedua, kehidupannya sebagai Belle, seorang escort kelas atas di London yang harus memenuhi tuntutan hidup.
Dua sisi kehidupan tersebut menjadi hal yang berat untuk dijalani. Terlebih pada saat menjadi seorang escort dengan pelanggan dari berbagai kalangan. Belle banyak menghadapi lelaki yang haus nafsu. Pernah suatu ketika, ia harus melayani seorang laki-laki yang cacat atau lumpuh tidak bisa berjalan.
Kehidupan Belle sebagai seorang escort membuat ia bertemu dan mengerti begitu banyak karakter laki-laki. Hal tersebut membuat Hannah yang dikenal sebagai seorang sekretaris enggan untuk percaya pada lelaki manapun.
Konflik batin mulai muncul ketika Belle jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang mengharuskan ia meninggalkan dunia PSKnya. Namun, atas pertimbangan yang matang Belle lebih memilih tetap menjadi seorang escort dan meninggalkan Ben, lelaki yang dicintainya.
Secara singkat, “A secret diary of a call girl” memberikan gambaran kepada penonton bahwa ada faktor tertentu yang menjadikan seseorang lebih memilih menjadi seorang PSK. Seperti yang diungkapkan oleh Niken sebagai salah satu peserta diskusi, bahwa pilihan menajdi PSK tidak bisa langsung ditelan mentah-mentah. Ada konteks yang melatar belakangi hal tersebut.
Niken mengaitkan film yang sedang dibedah dengan konteks kehidupan PSK di Yogyakarta. Menurutnya, menjadi PSK di Yogyakarta memang sudah menjadi pilihan terakhir karena faktor ekonomi. Tetapi, jika itu terjadi di kota lain seperti Jakarta, maka menjadi PSK disana sekedar untuk kepuasan semata.
Berbeda dengan Niken, Haryo yang juga peserta dalam diskusi tersebut memandang bahwa persoalan PSK dari sisi yang lebih luas. Menurutnya, fenomena PSK membawa pada tanggungjawab pemerintah dalam hal jaminan kesejahteraan masyrakatnya. Misalnya kebijakan-kebijakan ekonomi, lapangan pekerjaan dan lain-lain. Haryo mengangkat kasus lokalisasi PSK di Surabaya yang akan dibubarkan. Menurutnya, ketika lokalisasi tersebut di tutup. Akan semakin banyak perilaku-perilaku seks yang tak terdeteksi. Hal tersebut akan membawa dampak negatif lainnya. Misalnya, dari segi kesehatan dengan menyebarnya virus HIV.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih satu jam tersebut diakhiri dengan penutup dari Any Sundari selaku moderator. Any memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta diskusi untuk menyimpulkan sendiri apa yang yang telah didiskusikan. Artinya, pilihan setuju atau tidaknya dengan PSK dikembalikan kepada pribadi masing-masing dengan alasan-alasan yang dimiliki. []