*Oleh: Megafirmawanti
“Anak layaknya kertas putih, jangan biarkan ia merasakan kekerasan dari orang-orang terdekat dalam keluarganya”
Salah satu jenis kekerasan yang sering kita jumpai adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Topik inilah yang dibicarakan dalam program Bincang Hari Ini edisi 1 Februari 2014 di Jogja TV. Rina Widarsih –manajer divisi pendampingan Rifka Annisa– dalam diskusi langsung tersebut menuturkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran yang terjadi pada lingkup rumah tangga, termasuk juga terhadap anak.
Menurut Rina, lingkup KDRT yang dimaksud dalam keluarga bukan harus terjadi dari keluarga primer atau inti seperti ayah, ibu dan anak, tetapi siapa saja yang tinggal dalam lingkungan keluarga, mungkin saja kakek, paman, atau pembantu rumah tangga dan lain-lain. Rina juga memaparkan bahwa sampai dengan tahun 2013, kasus KDRT yang paling sering masuk ke Rifka Annisa adalah bentuk kekerasan psikologis. “karena setiap bentuk kekerasan baik itu fisik, ekonomi, maupun seksual pasti juga disertai dengan kekerasan psikologis”, ungkapnya.
Dalam diskusi tersebut, hadir Nono Karsono selaku pemerhati sosial dan anak yang banyak mengamati kasus KDRT. Menurut Nono, dampak KDRT dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak bahkan sejak masih dalam kandungan. Nono menjelaskan fenomena KDRT menggunakan teori John Locke tentang Tabula Rasa. Menurutnya, “Anak adalah kertas putih, mau menjadi hitam atau mau menjadi merah tergantung orang tua dan lingkungannya”. Nono juga menambahkan bahwa seseorang diusia anak memiliki daya rekam yang paling kuat. Jika anak diberikan informasi yang negatif, maka perkembangannya akan terhambat dan tentunya akan mempengaruhi perkembangan bangsa.
Pada dasarnya, kekerasan mempunyai siklus. Seperti yang dijelaskan Rina, KDRT merupakan awal terjadinya masalah dilingkup yang lain. Rina mencontohkan KDRT yang mempengaruhi generasi muda dalam menimbulkan masalah baru seperti hamil diluar nikah, melakukan relasi beresiko atau bisa jadi terjerumus pada narkoba dan minuman keras. Rina
juga menambahkan bahwa pernikahan diusia anak menjadi salah satu masalah yang dipengaruhi oleh KDRT.
Terkait pernikahan diusia anak, Agung –penelpon dalam program Bincang Hari Ini– menuturkan tentang kesiapan finansial yang sering menjadi masalah dalam pernikahan diusia anak. Penelpon dari Bantul tersebut mempertanyakan bagaimana resep jitu untuk mengantisipasi masalah-masalah dalam pernikahan diusia anak tersebut.
Menanggapi pertanyaan Agung, Rina memberikan tips mengantisipasi masalah yang mungkin saja terjadi dalam pernikahan usia anak. Dalam hal ini, Rina menjelaskan bahwa laki-laki juga harus ikut terlibat aktif dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan yang dimaksud Rina bukan dalam rangka membantu kegiatan perawatan anak semata, tetapi ikut bertanggungjawab pada tumbuh kembang anak tersebut.
Pada akhir diskusi, Rina menekankan bahwa menghindari KDRT harus diawali dalam hal pemilihan pasangan. “Pilihlah pasangan yang punya kepercayaan diri penilaian diri yang baik” ungkapnya. Berbeda dengan Rina, Nono lebih menekankan pada prinsip 3K yakni Komunikasi, Kesepakatan, dan Konsisten terhadap kesepakatan tersebut. Menurut Nono, 3K adalah fondasi awal untuk menghindari tindak KDRT.[]
*Oleh: Megafirmawanti
Rabu (29/01/14), perpustakaan Rifka Annisa dipenuhi dengan sekitar 18 orang peserta diskusi buku yang terlihat sangat antusias. Diskusi rutin yang dilaksanakan Divisi Media dan Humas Rifka Annisa tersebut membedah buku karya Chilla Bulbeck yang berjudul “Re-orienting Western Feminism: Women’s Diversity in a Postcolonial World”. Yula, mahasiswa ACICIS asal Australia sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengawali presentasinya dengan memaparkan isu diskriminasi gender dan feminisme dari persepktif buku karya Bulbeck.
Yula menjelaskan bahwa diskriminasi yang dibahas Bulbeck menitikberatkan pada diskriminasi rasis antara budaya timur dan barat. Diksiminasi yang dimaksudkan meliputi gender yang selalu menyinggung perbedaan perempuan dan laki-laki. Yula juga menjelaskan bahwa saat ini, diskriminasi gender yang ditemui seringkali menimbulkan efek tersendiri untuk kaum perempuan ketika berada dalam kehidupan yang bersinggungan dengan strata kelas, seks, dan ras.
Pemaparan tentang buku Bulbeck dilanjutkan dengan diskusi oleh peserta forum. Peserta diskusi diminta untuk merefleksikan diri dengan isu gender yang sedang dibicarakan.
Defirentia One, salah satu peserta diskusi bercerita bahwa keterlibatan dirinya pada isu gender dimulai ketika mendapat perkuliahan tentang gender dan politik dikampusnya. Sejak saat itu, One tertarik pada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan feminisme. Karena One adalah seorang perempuan, ketertarikannya semakin kuat dan pada akhirnya mengantarkannya untuk bergabung dengan Rifka Annisa WCC.
Tak hanya One, Fitri Indra Harjanti juga membagi pengalamannya sampai akhirnya ia terlibat dalam isu gender. 13 tahun lalu, Fitri terlibat dengan isu yang lebih luas seperti gerakan rakyat, petani, buruh, dan mahasiswa. Fitri melihat, pada setiap sektor gerakan itu, perempuan selalu ditindas. Misalnya, pada kaum buruh, pria dan wanita tertindas dan wanita selalu lebih tertindas sehingga ditindas dua kali. Hal itulah yang membuatnya berpikir bahwa perempuan harus dibela.
Beberapa wacana juga dikemukakan oleh peserta forum diskusi. Hani Barizatul Baroroh, pada akhir diskusi memberikan pendapatnya tentang gender dari persepktif industri periklanan. Menurutnya, kekerasan yang mungkin masih belum banyak disadari salah satunya adalah konstruksi media tentang konsep wanita cantik yang harus putih. Artinya, industri sengaja memanfaatkan perbedaan konsep laki-laki dan perempuan untuk mengarahkan wanita menggunakan produk-produk industri tersebut.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam diakhiri dengan pertanyaan sebagai bahan refleksi diri secara pribadi. Pertanyaan yang sangat menggelitik dan membutuhkan perenungan panjang. Bahwa, ketika persoalan dunia semakin kompleks dengan berbagai permasalahannya, bagaimanakah sebenarnya dunia yang ideal itu?
Kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam nyaris tanpa henti untuk memenuhi nafsu manusia dalam merebut penguasaan sumber daya alam. Terjadilah degradasi lingkungan, konflik agraria, kelangkaan pangan, dan kemiskinan. Dalam hal itu, kaum perempuan paling dirugikan. Rifka Media di sini turut menyuarakan ‘kebisuan’ yang selama ini dipendam masyarakat khususnya kaum perempuan yang dirugikan oleh eksploitasi alam, serta menyuarakan peran perempuan dalam menjaga lingkungan.
Rifka Annisa bekerja sama dengan GTZ melakukan kajian media cetak di Yogyakarta yang beredar di Bulan Juli-Oktober 2011. Kedaulatan Rakyat dan Radar Jogja dengan tema hak-hak perempuan dan anak. Selama tiga bulan tersebut terdapat 223 artikel yang terbit di Harian KR dan 174 artikel yang mucul di Harian RY terkait dengan isu di atas.
Kebanyakan pemberitaan tentang isu perempuan dan anak didominasi dengan berita straight news, sebanyak 317 pemberitaan, feature 56 pemberitaan, 23 opini eksternal dan 1 pemberitaan dalam bentuk tajuk. Secara umum kedua media mendukung kesetaraan gender, dari total 220 pemberitaan dengan porsi 128 pemberitaan mendukung, 73 pemberitaan netral, 15 pemberitaan yang mendukung ketidaksetaraan, dan dengan posisi tidak jelas sebanyak 4 berita. Korelasi antara jenis berita dan keberpihakan media dengan isu kesetaraan gender didominasi oleh berita straight news sebanyak 174 pemberitaan, feature 31 pemberitaan dan opini eksternal 15 pemberitaan.
*Oleh : Ratnasari Nugraheni
Banyak orang menduga seseorang yang berkepribadian introvert adalah sosok pendiam, kutu buku dan anti sosial. Berbagai label negatif diberikan kepada para introvert sehingga sosok extrovert-lah yang menjadi contoh baik dalam masyarakat. Akan tetapi, Susan Cain dalam bukunya yang berjudul ‘Quiet: The Power of Introvert” mengungkapkan bahwa dibalik kepribadian introvert tercipta orang-orang sukses. Sisi-sisi positif para introvert inilah yang kemudian diulas oleh Susan Cain di dalam bukunya tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi Nurul Kodriati untuk membedah buku karya Susan Cain pada diskusi buku tanggal 22 Januari 2014, bertempat di Perpustakaan Rifka Annisa. Acara diskusi berlangsung selama 2 jam, dimulai pukul 10.00 WIB. Terdapat 11 orang peserta yang hadir pada acara diskusi tersebut.
Perspektif mengenai sosok extrovert lebih baik daripada introvert berkembang sejak abad 18 M yang dibarengi dengan era industrialisasi di Inggris. Sosok extrovert yang dijadikan sebagai icon dalam iklan-iklan sabun menjadikan introvert sebagai bentuk kepribadian yang kurang baik. Hal inilah yang membuat para orang tua resah akan tumbuh kembang anak-anaknya yang berpotensi menjadi anak dengan berkepribadian introvert.
Susan Cain menjawab keresahan tersebut dengan mengungkapkan bahwa orang yang berkepribadian introvert adalah sosok orang-orang pemerhati dan pendengar yang baik. Memang ketakutan mereka untuk berbicara di publik adalah bentuk keterbatasan yang sudah menjadi karakteristik para introvert. Salah satu cara yang digunakan oleh para introvert untuk menghadapi berbagai tekanan adalah dengan menyendiri. Dalam keadaan seperti inilah tercipta berbagai pemikiran brilian yang dihasilkan oleh para introvert.
Dalam bedah buku tersebut, muncul berbagai tanggapan dari beberapa peserta diskusi, salah satunya adalah Nina. Dalam teori Jung, Nina mengungkapkan bahwa ada kepribadian yang berada di tengah-tengah introvert dan extrovert, yaitu ambivert. Sosok orang berkepribadian ambivert adalah orang-orang yang memiliki sisi introvert dan extrovert. Menurut teori Jung, tidak ada orang yang benar-benar introvert atau extrovert. Terkadang pasangan suami-istri yang introvert dan extrovert adalah sosok pasangan ideal. Mereka adalah sosok pasangan yang bisa saling melengkapi, terlebih jika membangun usaha bisnis.
Selain Nina, ada juga Haryo yang mengaitkan kepribadian dengan sifat-sifat feminin dan maskulin yang nantinya akan mengarah ke teori sosial. Niken pun menambahkan bahwa hal-hal tersebut dapat dikaitkan pula dengan berbagai kultur masyarakat dengan karakteristik sosial yang beragam.
Melalui bedah buku ini, peserta diskusi menambah ilmu pengetahuan mereka dalam pemahamannya mengenai kepribadian. Peserta kemudian mengerti bahwa tidak semua orang introvert akan melahirkan sosok-sosok orang yang memiliki kepribadian negatif. Selain itu, dibutuhkan beberapa pendekatan yang intens untuk membuat potensi-potensi positif berkembang dalam orang-orang berkepribadian introvert.