Rabu, 07 Oktober 2020, Rifka Annisa WCC yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) melakukan Rapat Koordinasi Pembinaan Bimbingan Kemasyarakatan Dan Pengentasan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta, di Hotel Grand Dafam Rohan Yogyakarta.

Acara ini dihadiri oleh 90 peserta yang dibagi menjadi 2 berdasarkan kehadirannya. Lima puluh peseta hadir secara langsung sedangkan  40 lainnya hadir secara virtual. Adapun pihak Pokmas Lipas yang turut hadir dalam acara ini adalah DPC PERADI Sleman, Jogjakartanews, LSM Griya, Pemulihan Siloam DIY, LBH Sembada, Rehabilitasi Narkoba Pondok Elkana, Klinik IPTEK Mina Bisnis (KIMbis), Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum, LKBH) Sang Surya, Karang Taruna Satya Taruna Bakti, PT Radio Rakosa FM, Majelis Istiqomah Hijrah Yogyakarta, Shoe’og Shoes Cleaning, dan Kelompok Tani Wanita Sukamaju.

Dalam acara tersebut disampaikan bahwa saat ini jumlah penghuni lapas dan rutan di DIY sendiri mencapai 235.527 penghuni yang terbagi di 680 UPT Lapas dan 525 rutan. Jika dibagi berdasarkan jenis kelaminya maka diperoleh bahwa terdat 219.056 tahanan laki-laki, 12.122 tahanan perempuan dan 1.683 tahanan anak-anak. Merekalah yang harus dilindungi dari stigma negatif lingkungan sosialnya ketika nanti telah memperoleh kebebasan. Hal tersebut dimaksudkan agar para warga binaan pemasyarakatan ini mampu berkembang kearah yang produktif dan tentu saja diterima kembali di lingkungan sosialnyatersebut.

Peran masyarakat sangat diperlukan dalam proses ini. Masyarakat bisa berpartisipasi ketika individu pelanggar hukum menjalani proses pemidaan maupun ketika individu pelanggar hukum selesai menjalani pidanannya. Dalam proses pemidanaan, masyarakat bisa berpartisipasi dalam tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan pasca adjudikasi melalui kerjasasma kemitraan. 

Peran masyarakat dalam tahap pra adjudikasi bisa melali bantuan dan penyuluhan hukum, proses dan hasil kesepakatan diversi, dukungan dalam pelaksanaan penelitian kemasyarakatan, serta dukungan lain sesuai kebutuhan. Pada tahap adjudikasi, ,sayarakat bisa membantu dengan memberi bantuan hukum dalam persidangan, pendampingan persidangan dan dukungan lain sesuai kebutuhan klien saat kebutuhan (terkait layanan tahanan). Sedangkan pada tahap post adjudikasi, masyarakat mampu berperan dengan memberi dukungan program kemandirian, dukungan program kepribadian, dukungan pelaksanaan pidana bersayarat, dukungan pelaksanaan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan dan pengawasan serta dukungan lainnya sesuai kebutuhan warga binaan pemasyarakatan.

Dalam acara yang diinisiasi oleh KEMENKUMHAM DIY ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman tentang pelaksanaan program reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) diwilayah kerja Kementrian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta. Nota kesepahaman ini dimaksudkan sebagai pedoman para pihak untuk mengoptimalkan peran kelompok masyarakat dalam pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya itu, dijelaskan juga bahwa Ruang lingkup yang dimaksud dalam nota kesepahaman ini adalah a) penyelenggaraan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan; b)penyelenggaraan pelatihan kerja produksi bagi Warga Binaan Pemasyarakatan; c) penyampaian informasi mengenai pelayanan Pemasyarakatan; d) penyelenggaraan penyuluhan dan bantuan hukum; e) penyelenggaraan pembimbingan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan/Klien Asimilasi dan Integrasi; dan/atau f) kegiatan lainnya yang disetujui dan disepakati PARA PIHAK

“MoU ini merupakan inisiatif Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DIY sebagai landasan kerjasama dalam pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan ekonomi warga pemasyarakatan di DIY. Warga binaan yang akan menjalani reintegrasi sosial perlu mendapatkan pendampingan serta pembinaan kepribadian agar dapat menjalani kehidupannya secara normal ketika kembali ke keluarga dan masyarakat. Hal ini juga untuk mengurangi stigma negatif thd warga binaan yang seringkali dicap sebagai mantan penjahat, mantan napi, dll. Pendampingan dan pembinaan juga penting agar warga binaan dapat mengubah perilakunya menjadi lebih baik ketika kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi tindak kejahatan kembali” Jelas Defirentia One Muharomah, selaku Direktur Rifka Annisa WCC yang menghadiri acara tersebut.

Pada hari Selasa, 3 November 2020, telah terselenggara webinar hasil kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), UNFPA, Ubuntu Symposium dan Aliansi Laki-Laki Baru, serta didukung oleh WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, PKBI Kepulauan Riau, Yayasan Pulih, Rifka Annisa, dan CIS Timor.

Webinar ini dimoderatori oleh Syafirah Hardani dan diisi oleh Feby R. Ramadhan S.Sos., Elizabeth Windy S.I.Kom., dan Ira Larasati S.I.P. sebagai pembicara, serta Ita F. Nadia sebagai penanggap. Webinar dibuka oleh Dodi M. Hidayat, Ketua Bidang Partisipasi Organisasi Keagamaan dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).

Dalam pembukaannya, Dodi menyebut bahwa pengintegrasian pendekatan pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang penting karena kekerasan berbasis gender memiliki kaitan dengan norma dan praktik maskulinitas. Ketidaksetaraan membawa dampak negatif bagi kehidupan perempuan dan laki-laki itu sendiri. Selain itu, laki-laki dapat berperan positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender. Laki-laki juga memiliki posisi strategis di berbagai level, serta memiliki kontrol atau sumber daya yang diperlukan perempuan untuk mendapatkan keadilan. Meskipun laki-laki cukup strategis sebagai mitra perempuan untuk mendapatkan keadilan, langkah pelibatan laki-laki memiliki  beberapa resiko diantaranya bila tidak diterapkan dengan tepat justru dapat memperlemah upaya pemberdayaan perempuan. Pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan harus dipandu dengan prinsip yang sesuai untuk menciptakan kesetaraan gender yang hakiki.

Feby dalam penelitiannya tentang “Resistensi terhadap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial Aliansi Laki-laki Baru” menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan berada di atas pondasi budaya patriarki yang berdiri kokoh dalam masyarakat. Maskulinitas hegemonik  yang lahir karena adanya budaya patriarki dan mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan perlu ditelaah kembali. Aliansi Laki-laki Baru dapat menjadi alternatif bagi laki-laki untuk sama-sama belajar dan turut serta dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Pandangan lain dari penelitian Elizabeth Windy yang berjudul Representasi Male Feminist di Media Sosial Twitter @lakilakibaru (Studi Etnografi Virtual) menunjukkan bahwa representasi akun @lakilakibaru dapat memperlihatkan sisi lain laki-laki seperti; laki-laki dapat menjadi sensitif, gentle, takut, penuh kasih sayang, serta dapat pula berdandan. Laki-laki dapat berbagi peran di luar peran biologis dengan perempuan, seperti berbagai pekerjaan domestik dan pencarian nafkah. Laki-laki sebaiknya menghindari candaan seksis untuk menghindari normalisasi. Laki-laki tidak mendominasi dalam relasi dengan pasangan. Laki-laki tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan, baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun emosional.

Dalam wawancara dengan Shera, Manajer Media Sosial ALB, konten-konten yang diunggah di akun twitter @lakilakibaru telah melalui perencanaan strategi. Konten harus inline, mulai dari bahasa serta keteraturan postingan. Menurut Elizabeth, bagi laki-laki yang tertarik dalam kesetaraan gender dapat mengaplikasikan kiat-kiat menjadi male feminist sesuai citra ALB dalam kehidupan sehari-hari.

Selaian Elizabeth, Ira Larasati lulusan Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro memaparkan hasil penelitiannya berjudul Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru dalam Membongkar Konstruksi Maskulinitas. Penelitian yang dilakukan tahun 2019 ini meninjau gerakan ALB melalui konsep Two Logics of Action (konsep gerakan yang menggabungkan gerakan aksi kolektif tatap muka dengan gerakan aksi konektif media online). Hasil penelitian disimpulkan bahwa konsep gerakan ALB adalah hybrid, yaitu menggabungkan aksi-aksi kolektif yang dilakukan bersama dengan gerakan perempuan dan aksi-aksi konektif yang dilakukan melalui pemanfaatan media online. Ciri konsep hybrid yang sesuai dengan Gerakan yang dilakukan ALB antara lain; koordinasi organisasi yang longgar, organisasi menyediakan pengeluaran untuk teknologi sosial, konten komunikasi berpusat pada kerangka tindakan pribadi yang inklusif yang dihasilkan organisasi, gerakan terhubung dalam jaringan yang longgar. Ira juga menyebut bahwa terdapat keterbatasan penelitian ini, yaitu terletak pada kurangnya pembahasan mengenai tingkat keterlibatan publik dalam kerangka connective action yang dilakukan ALB, sehingga tidak dapat menjelaskan dampak gerakan ALB secara parsial. Penelitian ini juga menghasilkan rekomendasi yang menyebut bahwa inisiasi untuk membentuk jaringan volunteer perlu untuk terus dilakukan secara berkala agar transfer ide dan gerakan dapat lebih menyeluruh. Volunteer juga dapat dikelola untuk memperluas jaringan gerakan yang dilakukan dalam rangka connective action.

Pandemi Covid-19 di Indonesia menyisakan banyak persoalan, tak terkecuali soal kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan pembatasan sosial selama pandemi membuat kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin mengakar kuat. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75% selama pandemi. Dua pertiga dari 14.719 kasus yang terlapor merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)  yang  pelakunya adalah orang dekat korban[1].

Peran gender yang kaku pada saat karantina #dirumahaja menambah beban berlipat  pada perempuan. Penelitian dari Flinders University di Australia menjelaskan bahwa meningkatnya angka KDRT pada masa pandemi akibat bertambahnya berbagai bentuk kerentanan. Beban domestik yang meningkat selama pandemi menjadi salah satu kerentanan yang nyata bagi perempuan. Di Indonesia, perempuan menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk melakukan tugas rumah tangga atau 4 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki [2] . Ditambah lagi ketika perempuan tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan menjadi target tindak kekerasan.

Situasi yang tidak menentu akibat pandemi pun membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan baik laki-laki maupun perempuan. Ketika dalam rumah tangga, suami yang mengalami PHK, suami, istri, serta anak pun lebih sering berkonflik. Hal ini diakibatkan dari sebagian laki-laki kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrol atas perempuan. Studi Rifka Annisa dalam menjadi laki-laki; pandangan laki-laki Jawa tentang maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa ada dinamika pikir (kognitif) dan rasa (emosi) kaum laki-laki terkait konsep maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga. Rambu-rambu nilai  dan batasan yang disebut “maskulin” membuat laki-laki terdidik untuk memenuhi kriteria, karakter, peran dan fungsi sosial sebagai pemimpin perempuan dan anak-anak, serta menempatkan laki-laki dalam struktur tertinggi pola relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Konsekuensi dari struktur budaya membentuk laki-laki sedemikian rupa.

 

Kasus kekerasan terus berulang

Kemunculan pandemi Covid-19 menjadi ruang gelap perempuan. Kondisi perempuan yang memiliki banyak kerentanan di dalam rumah tangga dan berpotensi sebagai korban kekerasan menjadi tidak terelakkan. Pandemi yang tak kunjung usai dan budaya di Indonesia yang menempatkan laki-laki di struktur tertinggi dalam rumah tangga membuat sebagian perempuan sulit mengambil keputusan. Di satu sisi, ada tantangan tersendiri untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam situasi krisis seperti pandemi. Namun, di sisi lain perempuan juga ingin keluar dari lingkaran kekerasan yang melibatkan dirinya dan pasangan.

              Relasi emosi yang terbangun antara suami dan istri dengan berbagai harapan yang dilekatkan masyarakat kepada keduanya membuat hubungan suami dan istri semakin intim. Kontrol suami terhadap istri mungkin dan biasa dilakukan. Secara garis besar, kekerasan  terhadap perempuan di dalam rumah tangga berkaitan dengan hubungan kekuasaan atas satu sama lain[3]. Istri yang ditempatkan pada struktur kedua di dalam rumah tangga dapat diatur dan dikontrol oleh suami. Keputusan untuk keluar dari belenggu kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga pun sulit dipilih oleh perempuan.

Mengacu pada tren kasus yang ditangani di Rifka Annisa, 90% perempuan yang mengalami KDRT memilih solusi untuk kembali ke pasangan. Berbagai tuntutan sosial turut serta mempengaruhi pilihan perempuan korban. Status janda yang akan melekat, keadaan ekonomi yang terkadang belum mapan di korban, takut dosa karena telah bercerai, dan bahkan ketakutan akan ancaman pelaku sering menjadi pertimbangan perempuan korban memilih keputusan.

Berbagai layanan yang dapat diakses perempuan korban kekerasan, seperti konseling hukum dan psikologis tidak sepenuhnya menjamin korban yang kembali pada pasangan terbebas dari kekerasan. Harapan bahwa suatu saat pasangan tidak akan melakukan kekerasan tanpa diimbangi cara pandang yang berubah, hanya akan menjadi bayang-bayang bagi perempuan. Nilai-nilai maskulin yang melekat pada sebagian besar laki-laki membuatnya berpotensi untuk kembali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

 

Bekerjasama dengan laki-laki melalui konseling

Melihat situasi yang cukup rumit dihadapi perempuan korban KDRT, perlu upaya yang seimbang antara kedua belah pihak. Penempatan konseling bagi perempuan korban KDRT tidak sepenuhnya dapat merubah keadaan di dalam rumah tangga. Laki-laki perlu dilibatkan dalam upaya mengentaskan kekerasan, hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan perempuan korban kembali ke pasangan ketika mengalami KDRT.

Merujuk pada pengalaman Rifka Annisa sebagai Women's Crisis Center, pilihan perempuan korban untuk  menjaga keutuhan pernikahan meskipun terjadi kekerasan membuat Rifka Annisa memutuskan menambah layanan konseling  bagi laki-laki. Nilai maskulinitas positif berdasarkan nilai kesetaraan dan non-kekerasan diberikan kepada pelaku laki-laki untuk sama-sama belajar bagaimana mengubah perilaku, mengendalikan diri sendiri, dan berkomunikasi secara asertif.

Aditya Putra Kurniawan, konselor laki-laki Rifka Annisa, menuturkan ada berbagai karakter pelaku kekerasan yang ia temui misalnya, kepercayaan yang rendah dialami pelaku, merasa tidak tanggap dalam mencari nafkah sebagai suami atau pernah menjadi korban kekerasan semasa kecil. Perlu banyak pendekatan yang dilakukan oleh konselor laki-laki untuk tahu alasan dan keinginan pelaku. Budaya yang tidak membiasakan laki laki bercerita terkait dirinya, dan kehidupannya menjadi tantangan utama dalam melakukan konseling laki-laki.

Berbagai penolakan diri seringkali ditunjukkan oleh pelaku laki-laki saat konseling. Tidak mengakui kekerasan yang dilakukan dan cenderung menyalahkan orang lain, menganggap remeh tindakan yang dilakukan (minimizing), enggan diajak kerjasama dengan konselor, meremehkan informasi konselor atau hanya diam, tidak terbuka dan menutup diri. Rentetan tantangan yang sering muncul saat konseling laki-laki, mendorong  para konselor merumuskan prinsip-prinsip utama layanan konseling bagi pelaku kekerasan seperti; Keselamatan perempuan dan anak menjadi prioritas, Kerahasiaan terbatas, Pelaku kekerasan bertanggung jawab penuh terhadap kekerasan yang dilakukannya, dan Akuntabilitas. Upaya tetap menghargai pelaku sebagai manusia pun dilakukan oleh konselor, sehingga tidak mengabaikan keberanian pelaku untuk melakukan konseling.

Dukungan dan kepercayaan serta menemukan sisi positif klien laki-laki diikuti dorongan agar mampu menyelesaikan masalahnya dengan cara non-kekerasan membuat para klien dapat menemukan sendiri perubahanya. Berdasarkan catatan Rifka Annisa, klien laki-laki yang mengakses layanan konseling di Rifka Annisa telah menunjukkan perubahan sikap yang positif dan pemahaman yang lebih baik terhadap pasangan. Hal ini ditunjukkan melalui pemahaman klien bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap pasangan adalah salah. Selain itu, klien menjadi lebih bisa menghargai pasangannya, menjadi pendengar yang baik, tidak menunjukkan perilaku yang mendominasi, serta lebih memahami dinamika psikologis pasangan. Upaya perubahan lainnya ditunjukkan dengan perbaikan pola komunikasi klien dengan pasangan menjadi lebih asertif, khususnya dalam mengatasi permasalahan di antara mereka.

 

 

Sumber:

Hasyim, Nur dkk. 2007. Menjadi Laki-Laki; Pandangan Laki-Laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa

Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Rahayu S. Hidayat (Penerj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona

https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-eksekutif-summary-kajian-dinamika-perubahan-di-dalam-rumah-tangga-edisi-revisi

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona diakses pada tanggal 25 Agustus 2020 pukul 08:14

[2] https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-eksekutif-summary-kajian-dinamika-perubahan-di-dalam-rumah-tangga-edisi-revisi diakses pada tanggal 26 Agustus pukul 20:57

[3] Foucault, 1997 hal 12-36

Jumat, 28 Agustus 2020 23:17

Pandemi, Laki-Laki, dan Kontrasepsi

Covid-19 telah mengubah tatanan hidup masyarakat. Sejak pertengahan Maret 2020, pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk #dirumahaja yang berarti seluruh kegiatan bekerja  dan belajar mengajar dilaksanakan di rumah.  Ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 selain penerapan protokol kesehatan dan pemberlakuan physical distancing (menjaga jarak) di tempat umum. Namun, dengan segala usaha tersebut, kita semua tetap tidak tahu kapan pandemi ini akan segera berakhir. Ketidakpastian atas kapan kehidupan akan kembali normal seperti sedia kala menciptakan keresehan. Semua dituntut untuk harus segera beradaptasi dengan segala perubahan yang ada di depan mata.

Hakikat perubahan kehidupan disebabkan oleh masalah alam ataupun non-alam, salah satu contohnya seperti pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Adanya pandemi menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung oleh semua orang. Konsekuensi itu pun juga muncul pada kehidupan rumah tangga, terutama pasangan usia subur. Salah satu dampak seperti pekerjaan yang mulai diusung ke rumah atau biasa disebut WFH (work from home) atau yang lebih tragis, pemutusan hubungan kerja, membawa konsekuensi bagi kehidupan rumah tangga. Terutama, jika dalam rumah tangga tersebut, salah satu atau keduanya mengamini bahwa peran laki-laki adalah sebagai pencari nafkah utama dan peran perempuan adalah sebagai pencari nafkah tambahan.

Bagi laki-laki yang sudah berumah tangga konsekuensi dari ketidaksiapan pada perubahan tatanan hidup yang sangat cepat ini adalah kondisi rumah tangga itu sendiri. Stres yang dipicu oleh perubahan tatanan hidup ini  akan berpengaruh pada pola hubungan dengan diri atau pun pada anak-anak. Dampak lain dari situasi pandemi ini adalah kehamilan. Seperti yang diwartakan Kompas.com dalam artikel Lebih dari 400.00 Kehamilan Baru Terjadi Selama Pandemi di Indonesia[1] tanggal 20 Mei 2020 bahwa Indonesia dikabarkan menghadapi ledakan kehamilan baru. Berita tersebut dikonfirmasi oleh dr. Hasto Wardoyo, SpOG selaku Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional pada hari Selasa, 19 Mei 2020. Pembatasan berskala besar membuat warga, tidak terkecuali suami dan istri berada di rumah dan melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi.

Terkonfirmasi juga di Puskesmas Sentolo 1 yang disampaikan oleh Basiroh, selaku bidan koordinator, bahwa ia pernah mendapati pasangan suami istri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan selama masa pandemi ini. Namun, pasangan tersebut akhirnya tetap memilih untuk melanjutkan kehamilannya, meski layanan yang diberikan oleh Puskesmas berbeda dari sebelumnya karena pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, suami disarankan untuk terlibat dan masuk ke dalam ruangan selama pasien perempuan melakukan pemeriksaan, tapi karena keterbatasan tempat dengan adanya protokol kesehatan yang melarang berkumpulnya banyak orang dalam satu tempat, maka suami hanya bisa menunggu di luar ruangan. Akan tetapi, Puskesmas tetap memberikan layanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) selama pandemi ini mengingat bahwa ibu dan anak butuh pengecekan kesehatan rutin.

Selama masa pandemi ini, layanan yang diberikan juga dibatasi kuota setiap harinya. Sebelum pandemi Covid-19 rata-rata yang mengakses layanan Puskesmas sekitar 25-30 pasien, sekarang dibatasi sekitar 16 pasien per hari. Itu pun pasien harus menjalani screening kesehatan, yaitu cek suhu tubuh dan jaga jarak di luar ruangan, setelah itu baru pasien bisa mendapatkan pelayanan kesehatan KIA. Untuk pemeriksaan menyeluruh bagi ibu hamil (ANC) yang awalnya diberlakukan di trimester pertama kehamilan, sekarang dilakukan pada trimester kedua saat kandungan berusia 20 minggu. Bidan Basiroh menjelaskan jika di awal kehamilan, kondisi ibu dan janin lemah dan rentan terhadap virus. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk tetap tinggal di rumah dan tidak kemana-mana untuk menjaga kondisi tubuh sampai usia janin dalam kandungan memasuki trimester kedua. Layanan kontrasepsi di Puskesmas Sentolo 1 tetap diberikan bagi akseptor. Namun, hanya kontrasepsi yang sifatnya hormonal, bukan berupa tindakan, misalnya KB suntik, pil, dan kondom. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kontak dengan pasien.

Sebelum pandemi Covid-19, Puskesmas Sentolo 1 melakukan kerja sama dengan berbagai instansi untuk memberikan kursus bagi calon pengantin, mulai dari KUA (Kantor Urusan Agama) Sentolo, petugas penyuluh KB (PLKB), dan LSM  seperti Rifka Annisa. Untuk melakukan kegiatan ini pun pihak Puskesmas Sentolo 1, seperti yang dituturkan Basiroh, tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan melihat peta sebaran Covid-19. Jika calon pengantin laki-laki berasal dari luar daerah, maka calon pengantin tersebut wajib menjalani karantina mandiri selama 14 hari atau mendapatkan surat sehat dari Puskesmas dari tempat asal calon pengantin tesebut. Kegiatan ini diharapkan akan mempersiapkan kedua calon pengantin dalam menapaki rumah tangga, mulai dari membangun fondasi keluarga, pemilihan alat kontrasepsi, sumber gizi dan resiko bagi ibu hamil-menyusui, serta sosialisasi pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut perlu diadakan karena lebih baik mencegah kekerasan daripada menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Hal senada juga disampaikan oleh konselor hukum Rifka Annisa WCC, Nurul Kurniati, S.H. bahwa selama pandemi ini berlangsung, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didampinginya mengalami peningkatan. Berbagai macam bentuk kekerasan ia temui, mulai dari kekerasan fisik, ekonomi, serta kekerasan seksual. Pada beberapa kasus ditemui kekerasan yang berujung kehamilan tidak diinginkan. Hal tersebut tentu mempengaruhi kondisi ekonomi, kesehatan, hingga komunikasi antar suami-istri. Kondisi ini pun yang akhirnya memicu terjadinya berbagai macam kekerasan dalam rumah tangga.

Perceraian merupakan dampak lain dari kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Pengajuan cerai oleh pihak istri biasanya dipicu oleh perasaan tidak mampu untuk memperbaiki kondisi rumah tangga. Di lain sisi, suami juga merasa kebingungan dengan identitasnya sebagai laki-laki yang ideal menurut pemahaman umum. Dalam beberapa kasus, ada pihak suami yang mencoba untuk berefleksi diri dengan konseling. Sebuah harapan muncul, bahwa rumah tangga bisa dijalani kembali dengan versi “new normal”.

 

[1] Kompas.com. (2020, 20 Mei). Lebih dari 400.00 Kehamilan Baru Terjadi Selama Pandemi di Indonesia. Diakses pada 19 Maret 2019, dari https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/20/110300923/lebih-dari-400.000-kehamilan-baru-terjadi-selama-pandemi-di-indonesia?page=all#page2

 

Situasi pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal budaya berinteraksi. Rifka Annisa tengah menjalankan kegiatan dari program Prevention+. Repogramming pun terjadi, dan hal ini terjadi di seluruh lembaga kecuali yang dari awal desain program mereka menggunakan metode online. Hampir semua aktvitas dilakukan dari rumah dan secara online. Beberapa kegiatan online yang dilaksanakan bersama komunitas dampingan diantaranya: diskusi ayah, diskusi ibu, diskusi remaja, pertemuan alumni diskusi, dan seminar online.

Terdapat banyak aplikasi yang digunakan untuk melakukan pertemuan online. Beberapa aplikasi yang familier dan sering digunakan adalah WhatsApp, Zoom Meeting, Skype, Cisco Webex Meeting, dan Google Meet. Namun yang paling sering digunakan adalah WhatsApp dengan fitur group chat-nya. Pertimbangan utama adalah faktor aksesibilitas. “WhatsApp menjadi satu-satunya aplikasi yang ramah bagi kebanyakan orang di komunitas” ungkap Rico, salah satu community organizer dalam program Prevention+. Sementara itu untuk menjangkau komunitas lebih luas, beberapa seminar online menggunakan Zoom Meeting yang ditautkan ke YouTube live.

Dalam prosesnya, tentu menemui beberapa hambatan. Pertama, secara umum sinyal masih menjadi hambatan utama. Beberapa lokasi memang memiliki sinyal yang tidak bersahabat. Baik teman-teman Rifka Annisa maupun peserta dari komunitas dampingan, sinyal menjadi kendala utama. Kedua, kuota yang semakin boros, terutama saat menggunakan Zoom Meeting. Beberapa kegiatan koordinasi dan evaluasi dilakukan sekitar 1-3 jam. Pernah suatu ketika mengecek pemakaian kuota yang digunakan dalam rapat koordinasi dengan aplikasi Zoom Meeting.  Dalam 3 jam pertemuan online menghabiskan 563 Megabyte (MB) atau sekitar 0,5 Gigabyte (GB).

Dari pendamping komunitas, Irma salah satu community organizer menceritakan tantangan aksesibilitas ketika melakukan kegiatan online. “Pernah saya melakukan jajak pendapat dengan bapak-ibu di komunitas. Saya kirimkan beberapa gambar aplikasi chat atau meeting. Dari sekian banyak aplikasi, paling familier adalah Zoom Meeting. Beberapa mengaku mengetahui Zoom Meeting, tapi HP-nya tidak kompatibel, memorinya sudah penuh, sudah nggak bisa install aplikasi itu.  Sejauh ini yang digunakan adalah WhatsApp. Ketika seminar online melalui Zoom, teman-teman menautkan ke YouTube, supaya teman-teman di komunitas juga bisa mengakses melalui YouTube. Kalau YouTube kan di semua HP hampir ada, bahkan menjadi aplikasi bawaan saat membeli HP. Yang penting bagaimana informasinya sampai” jelasnya.

Selain itu, hambatan yang dihadapi yaitu beberapa situasi di rumah yang tidak mendukung untuk fokus menyimak. Pada sesi diskusi kelas ayah, hal ini dialami oleh Pak Herman dalam grup diskusi “Maaf bapak-bapak, saya slow respond dulu, sedang menemani anak belajar”. Ada juga yang waktunya bersamaan dengan tugas lain, Pak Kirdi misalnya, “Mohon maaf belum bisa bergabung karena ada pertemuan di balai desa”. Saat kelas ibu, Mbak Nus dari kelas ibu juga mengalami hal yang sama, “Maaf belum bisa bergabung… (mengirim foto sedang menyuapi anaknya), ini anak kalau belum tidur ngajak ngomong terus, nggak konsen menyimak”. Dan di kelas remaja, ada yang berhalangan ikut karena sedang bekerja dengan shift waktu tertentu.

Pada tahap persiapan, tentu bukan hal yang mudah juga untuk memfasilitasi diskusi secara online. Rico menyebutkan beberapa catatan dari segi persiapan materi. Ia menjelaskan bahwa “Dalam persiapan diskusi online, beberapa tantanganya pertama, materi perlu disesuaikan dengan situasi sekarang, jadi perlu waktu lebih untuk melengkapi dan mengolah dari berbagai sumber. Kedua, mengemas materi menjadi konten dalam bentuk visual dan menarik untuk dikonsumsi. Dalam hal ini  butuh waktu untuk mendesain, sebuah tantangan baru bagi yang tidak terbiasa mendesain. Ketiga, beberapa orang menyayangkan ketika ada konten video yang berukuran agak besar (diatas 10MB). “Mendownload video juga memakan kuota”. Pelajaran yang dapat dipetik dari proses persiapan materi adalah, menyajikan materi dalam satu klik. Artinya, bagaimana menuangkan materi dalam satu gambar yang mudah diakses. Visualisasi juga membantu menarik perhatian untuk membaca dan mengerti materinya.

Ada catatan menarik dari Ibu Yuni, fasilitator komunitas pada kelas Ibu. “Menurut saya, diskusi online itu sudah cukup efektif di masa pandemi ini, tapi tantangannya juga pasti ada, seperti terkendala sinyal, dan kalau saya pribadi kadang ketinggalan ‘kereta’ jauh karena loading yang lambat, jadi kurang nyambung dengan materi diskusi. Tapi pada akhir sesi bisa membaca lagi dan menyimpulkan sih, jadi menurut saya juga mudah untuk mengikutinya. Saat membaca lagi jadi nyambung” kata Bu Yuni.

Irma menambahkan, “Memang proses diskusi online ini tidak mudah bagi beberapa orang. Proses pengondisian peserta agak sulit. Beda dengan pertemuan langsung, kami lebih mudah membangun kondisi dalam penyampaian materi. Kalau online, kita harus chat pribadi, dan itupun kadang responnya lama. Ketika bertemu langsung juga ada kedekatan secara emosional, beda dengan online, misal situasinya sedang kalut, bisa jadi di dalam aktivitas online terkesan bahagia”. Dari peserta diskusi, Tuti juga menambahkan sebuah catatan bahwa,”Diskusinya bisa diterima, tetapi kurang puas. Pokoknya beda dengan bertatap muka langsung”. Ada juga peserta yang tidak fokus karena saat pertemuan online berlangsung, peserta juga sedang mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan melakukan aktivitas lain.

Dengan berbagai tantangan itu, ada sebuah refleksi bahwa proses pengorganisasian yang dilakukan secara online barangkali kurang tepat. Dalam proses pengorganisasian, ikatan emosional yang belum terbangun membuat kecanggungan dalam prosesnya. Kemudian, ada satu aspek lagi yang menjadi bahan diskusi selanjutnya terkait keamanan digital. Setiap menggunakan aplikasi, pasti ada data-data yang harus kita isi sebagai registrasi. Beberapa isu digital yang muncul adalah penyalahgunaan data pengguna. Meskipun hal ini masih menjadi perdebatan, tetapi kemungkinan dan kesempatan untuk itu sangat nyata. Hal ini menjadi kewaspadaan bersama, di tengah adanya kebutuhan layanan yang ditawarkan.

42480213
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2246
10321
173743
156663
42480213