Jumat, 12 April 2019 13:27

Dampak Pelecehan Seksual di Masa Kecil

Halo Rifka Annisa,

Perkenalkan nama saya Hani, dari kota S. Langsung saja pada permasalahan, dulu waktu saya masih kecil saya pernah mengalami pelecehan seksual. Kejadian tersebut saya alami berkali-kali dengan pelaku yang berbeda-beda. Pertama kali saya mengalami waktu masih TK oleh teman ayah saya, sejak itu hingga SMP saya pernah mengalami kembali dengan pelaku yang lain. Saya baru menyadari apa yang sepenuhnya terjadi pada saya ketika SMA.

Selanjutnya yang sering saya rasakan adalah rasa marah yang amat sangat besar, tapi tidak tahu pada siapa. Peristiwa ini tidak pernah saya ceritakan pada siapapun, termasuk orang tua saya. Saya malu dan marah. Saya juga tidak ingin membebani orang tua saya. Prinsip saya, sebisa mungkin saya selalu mandiri dan tidak pernah merepotkan orang tua. Dan entah kenapa seolah-olah setiap saya bertemu dengan laki-laki selalu saja seperti itu. Di mata saya, laki-laki itu tidak ada yang bener, egois, mau menang sendiri.

Saya pernah akhirnya mencoba membuka hati pada seorang laki-laki yang mendekati saya. Kami bersepakat untuk saling terbuka akan keburukan dan masa lalu masing-masing. Namun setelah mendengar cerita saya, dia berbalik membenci saya dan mengatai saya perempuan bekas. Sejak itu saya benar-benar yakin bahwa laki-laki memang makhluk menyebalkan. Di kantor pun juga begitu, saya merasa setiap ada project, pasti kawan laki-laki saya yang didahulukan. Padahal saya sudah membuktikan diri bahwa saya mampu, termasuk melanjutkan studi yang lebih tinggi dari kawan-kawan laki-laki saya.

Di sisi lain, saya juga merasa terbebani dengan pandangan saya tersebut. Saya sebenarnya sangat ingin memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Tapi setiap ada sesuatu yang menyinggung saya, saya benar-benar tidak bisa mengendalikan kemarahan saya. Saya sendiri kadang benci dengan diri saya sendiri. Setiap mengenang masa kecil saya, rasanya saya tidak punya kenangan manis. Saya dulu jarang bergaul dengan teman-teman saya, entah kenapa.

Oleh karena ittu saya mohon saran dari Rifka Annisa, apa yang sebaiknya saya lakukan untuk mengendalikan diri saya sendiri? Atas jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih.

Salam Mbak Hani,

Terimakasih telah berbagi dengan kami. Apa yang Mbak Hani alami itu adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, berupa kekerasan seksual, stereotype atau pelabelan dalam bentuk anggapan sebagai perempuan bekas, dan diskriminasi dalam bentuk perlakuan berbeda di tempat kerja. Dan hal itu nyata dialami oleh Mbak Hani, begitupun banyak perempuan lain mengalami hal yang hampir sama.

Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan dampak yang Mbak Hani rasakan hingga saat ini. Yang perlu Mbak Hani ketahui adalah semua peristiwa itu bukan kesalahan Mbak Hani. Justru Mbak Hani adalah orang yang dirugikan dalam peristiwa tersebut, sehingga mengalami kondisi sekarang. Namun, Mbak Hani memiliki hak untuk pulih. Pemulihan yang efektif bersumber dari keinginan kuat pada diri sendiri, istilahnya self-healing. Terkadang kita membutuhkan pendamping yang menemani proses tersebut. Untuk itu, tidak perlu ragu untuk mengakses lembaga layanan pendampingan seperti Rifka Annisa atau 

lembaga layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan milik pemerintah, yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang terdapat di kabupaten/kota atau propinsi.

Selanjutnya, Mbak Hani bisa fokus pada potensi-potensi diri yang dimiliki. Misalnya menyadari kelebihan-kelebihan yang dimiliki, prestasi yang pernah dicapai, dan menggali lagi potensi lain yang mungkin belum ditunjukkan selama ini. Dari sana, Mbak Hani dapat melihat bahwa sebenarnya Mbak Hani memiliki kekuatan. Dengan bercerita pada kami setelah bertahun-tahun menyimpan permasalahan tersebut sendiri, sebenarnya menunjukkan kekuatan menghadapi masalah yang Mbak Hani miliki.

Jika dalam proses pemulihan muncul kemarahan, adalah sebuah hal yang normal dan wajar. Meskipun demikian, semua hal buruk yang dilakukan orang-orang tersebut terhadap Mbak Hani sebenarnya adalah akibat dari sebab bias pemahaman yang mereka miliki. Misalnya, menganggap remeh anak kecil sehingga mudah melakukan kejahatan seksual pada anak, memandang rendah perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah sehingga mudah menghakimi, ataupun memandang bahwa perempuan tidak lebih baik dalam bekerja dibanding laki-laki. Pandangan itu dimiliki karena diwariskan dari generasi ke generasi atau oleh lingkungan. Bisa jadi, si pelaku tidak menyadari pikiran bias yang dia miliki karena merasa hal tersebut normal dan wajar. Ironis, bahwa mereka tidak menyadari kejahatan yang dilakukan, merasa benar, dan bagaimanapun juga tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan.

Dari sisi tersebut, kondisi Mbak Hani jauh lebih baik karena menyadari bias pandangan tersebut, dan lebih memiliki pilihan, apakah ingin ikut larut dalam emosi mengikuti perbuatan-perbuatan yang tidak mereka sadari sepenuhnya atau merdeka menjadi diri sendiri yang tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal tersebut. Semua membutuhkan proses dan waktu, dan hal itu tidak menjadi masalah. Tetaplah optimis.

Demikian jawaban kami, jika menghendaki diskusi lebih lanjut dapat menghubungi layanan kami, atau lembaga layanan lain untuk perempuan dan anak. Terimakasih.

Rabu, 10 April 2019 11:10

Kekerasan Seksual dalam Keluarga

Salam hangat,

Perkenalkan, nama saya W. Saya memiliki seorang teman perempuan. Dia satu angkatan dengan saya dibangku kuliah. Setiap hari kami terbiasa bermain bersama, baik hang out keluar maupun bermain ke rumahnya. Selama ini, ia tinggal dengan ibu, adik dan ayah tirinya. Ibunya telah menikah lagi, setelah ayah kandungnya meninggal 2 tahun yang lalu. Kata teman saya, alasan ibunya menikah lagi adalah agar ada yang menjaga ibu, sekaligus akan ada sosok ayah yang bisa melindungi dan menafkahi.

Beberapa hari yang lalu saya mampir ke rumahnya dengan pacar saya. Kami memang tidak ada janji, sehingga tidak tahu juga apakah dia ada di rumah atau tidak. Sampai di teras rumah, kami mendengar suara histeris berteriak-teriak dari dalam rumah. Kami langsung berlari masuk dan arah teriakan itu dari kamarnya. Ternyata kamarnya terkunci dan mau tidak mau, pacar saya mendobrak pintu kamar. Betapa kagetnya kami, melihat ternyata ia tengah disetubuhi oleh ayah tirinya. Saat itu, kami hanya bisa terdiam dan ayah tirinya segera keluar dari kamar dan pergi.

Saya langsung menghampiri dan merangkul teman saya. Pacar saya juga setengah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Setelah keadaan agak tenang, saya mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Menurut pengakuan teman saya, ia sering mendapat ancaman untuk berhubungan intim dengan ayah tirinya. Kejadian ini telah berlangsung sejak awal pernikahan ibu dan ayah tirinya tersebut. Saya sebagai teman, merasa sangat prihatin. Saya sempat menasehatinya agar ia bercerita dengan ibunya atau melapor kepolisi. Tetapi, teman saya tidak mau, karena jika ia bercerita ibunya pasti akan marah dan menyalahkan dirinya. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu teman saya ini? Saya pikir, saya tidak bisa memaksanya untuk melapor. Namun, saya tidak bisa terus menerus membiarkan teman saya dalam keadaan seperti ini. Terima kasih.

Jawab

Salam Mbak W,

Kami ikut sedih dengan peristiwa yang menimpa teman Mbak W. Apa yang Mbak W lakukan dengan memberikan dukungan pada teman Mbak ini sudah tepat, karena banyak perempuan korban kekerasan semacam ini yang justru menjadi pihak yang disalahkan oleh lingkungannya. Adapun sikap teman Mbak W yang masih serba takut dalam membuat keputusan dapat dimaklumi, karena memang dia mengalami suatu peristiwa buruk yang menggoncangkan kondisi psikologisnya dan menghadapinya sendirian. Selain takut, perasaan malu, rendah, dan menyalahkan diri sendiri kerap kali dialami oleh korban.

Perbuatan yang dilakukan oleh ayah tiri korban tidak dapat dibenarkan oleh hukum yang berlaku di negara kita. Namun karena terbatasnya keterangan yang Mbak W berikan, kami juga belum dapat memberikan informasi yang lengkap tentang posisi hukumnya. Untuk melihat posisi hukum dari kasus ini, kronologi cerita harus jelas mengenai kapan, di mana, dan bagaimana terjadinya peristiwa.

Jika saat mengalami peristiwa itu korban masih di bawah usia 18 tahun, maka pelaku dapat dijerat menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) No 35/Tahun 2004 perubahan atas UU No. 23/Tahun 2002, pasal 81-82, dengan ancaman hukumannya maksimal 15 tahun, paling singkat 3 tahun, denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Jika teman Mbak W sudah lebih dari 18 tahun, maka pelaku dapat dijerat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Ancaman hukuman tersebut dapat dikenakan jika perbuatannya terbukti dan memenuhi unsur-unsur seperti paksaan, kekerasan, ancaman, dan lebih kuat lagi jika disertai saksi-saksi. Teman Mbak W dapat mengajukan laporan ke Kepolisian Resort (Polres) terdekat, karena di sana ada unit khusus yang menangani kasus-kasus perempuan dan anak, namanya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

Hal yang harus segera dilakukan adalah melakukan pemeriksaan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, dan sampaikan kepada dokter, bahwa hasil pemeriksaan kemungkinan akan digunakan untuk keperluan hukum. Dicatat tempat, kapan tanggal periksa, dan dengan dokter siapa. Fungsi dari pemeriksaan ini adalah pertama, segera mendapatkan penanganan medis untuk luka fisik yang ditimbulkan, dan kedua, mengamankan alat bukti. Nanti jika korban memutuskan proses hukum, diinformasikan pada penyidik yang menangani bahwa sudah melakukan pemeriksaan, dan polisi akan meminta laporan visum ke rumah sakit atau dokter yang bersangkutan. Persiapkan juga saksi-saksi untuk menguatkan keterangan dari teman Mbak W. Saksi bisa orang yang melihat langsung peristiwa, bisa juga teman yang pernah mendengarkan cerita langsung dari korban. Dalam hal ini Mbak W dan pacar dapat menjalankan peran tersebut. Lalu pakaian dan sprei yang digunakan saat terjadi peristiwa agar disimpan dan jangan dicuci, sebagai penguat alat bukti.

Sebaiknya pihak ibu korban juga diberi tahu akan adanya permasalahan ini. Lebih cepat lebih baik, karena untuk menghindari kesalahpahaman jika saja ibu memperoleh informasi yang berbeda dari pelaku. Jika khawatir dengan kemungkinan akan timbul reaksi negatif, ada baiknya jika penyampaian informasi tersebut dilakukan oleh orang lain yang disegani oleh pihak ibu, misalnya kakek, paman, atau saudara lain yang diyakini korban dapat membantunya. Yakinkan korban dan ibu bahwa perilaku ayahnya ini tidak dapat dibenarkan, dan jika dibiarkan hanya akan menyuburkan kejahatannya di kemudian hari.

Dalam hal ini, upaya pendampingan sangat penting. Baik itu pendampingan hukum maupun psikologi. Jika Mbak W merasa kesulitan dalam melakukan pendampingan, Mbak W dapat menghubungi lembaga layanan pendampingan untuk perempuan dan anak terdekat seperti Rifka Annisa, atau lembaga layanan milik pemerintah yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di kabupaten/kota atau provinsi tempat korban tinggal. Layanan pendampingan yang diselenggarakan tidak berbayar. Demikian penjelasan kami semoga dapat membantu. Terimakasih.

Selasa, 09 April 2019 12:36

Ragu Menikah Lagi

Saya pernah mengalami KDRT dari suami saya yang pertama. Saya dikekang, dan tidak dipenuhi nafkahnya sehingga harus mencari tambahan sendiri. Namun karena pengekangan tersebut saya tidak leluasa dalam mencari nafkah tambahan, bahkan mantan suami pada saat itu cenderung mengganggu usaha saya dalam mencari nafkah. Padahal saya harus menghidupi keluarga dan mencukupi kebutuhan anak. Ditambah dengan perlakuan kasar, caci maki, membuat saya akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Belakangan ini ada yang mendekati saya, dia juga sudah bercerai dari istrinya dan memiliki satu anak. Setelah saya tanya-tanya, ternyata dia dulu pernah melakukan KDRT ke mantan istrinya hingga dipenjara. Dia memang tidak menutupi masa lalunya, dan berjanji untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang. Dia juga menyatakan niat baiknya ingin menikah. Namun karena pengalaman berumah tangga dulu, dan melihat latar belakangnya, saya jadi ragu-ragu. Keluarga besar saya pun cenderung kurang menyetujui. Sejujurnya saya trauma mau menikah lagi, meskipun saya tidak menolak jika memang Tuhan mengirimkan jodoh lagi untuk saya. Sebaiknya apa yang harus saya lakukan? Terimakasih.

JAWAB

Salam Ibu,

Terimakasih telah berbagi cerita dengan kami. Kami dapat memahami sikap hati-hati yang Ibu lakukan dalam situasi ini. Pengalaman kegagalan pernikahan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Pada dasarnya di posisi sekarang, Ibu memiliki hak untuk menentukan masa depan Ibu. Namun dalam budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, pernikahan bukan hanya melibatkan para pihak yang akan menikah, akan tetapi juga seluruh keluarga besar yang lain, sehingga pertimbangan dalam berbagai hal perlu dilakukan.

Ada beberapa penyesuaian yang akan Ibu lalui dalam menjalin hubungan pernikahan yang baru. Diantaranya yaitu penyesuaian personal, finansial, peran, keluarga, dan penyesuaian seksual. Dalam penyesuaian personal, bisa terjadi benturan nilai, sifat, dan karakter masing-masing. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati, serta menjadi partner yang setara.

Dalam hal penyesuaian finansial, perlu diperhatikan hal-hal berkaitan dengan keterbukaan dan akses. Siapa yang disepakati menjadi mencari nafkah. Apakah salah satu atau keduanya. Bagaimana pengeluaran yang direncanakan, serta bagaimana penggunaannya hingga sedetailnya. Beberapa pasangan bersikap menyerahkan urusan belanja pada salah satu saja. Hal ini kerap menimbulkan salah paham dan berpotensi konflik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah akses terhadap keuangan, perlu dimiliki oleh keduanya. Kadang, salah satu bersikap membatasi akses, jika ada kebutuhan harus dengan seijin pasangan. Ini juga berpotensi konflik pada kemudian hari.

Peran dan pekerjaan dalam rumah tangga ada banyak. Pekerjaan di dalam rumah, serta pekerjaan di luar rumah. Kedua suami-istri pada dasarnya dapat melakukan semua pekerjaan dan peran tersebut. Misalnya peran domestik seperti membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak, dapat dikerjakan oleh keduanya. Begitupun peran di luar rumah seperti mencari nafkah, terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, membuat keputusan penting, juga dapat dilakukan oleh keduanya. Hal ini perlu benar disadari, kemudian disepakati bersama bagaimana pembagiannya. Yang penting adalah pembagian yang adil, tidak berat sebelah, dan bersifat fleksibel. Pada saat yang satu tidak mampu mengerjakan maka yang lain dapat menggantikan, dan sebaliknya.

Keluarga besar memainkan peranan penting dalam kehidupan berumah tangga di Indonesia. Pernikahan sebagai salah satu prosesi untuk masuk dalam kehidupan komunalitas keluarga besar. Dalam situasi ini, Ibu dan calon pasangan sama-sama memiliki anak. Penyesuaian yang dialami oleh anak juga perlu dipertimbangkan. Penting untuk saling menerima dan saling mendukung untuk masuk dalam lingkaran keluarga besar masing-masing. Keluarga besar berfungsi sebagai support sistem, apabila ada hal-hal buruk yang terjadi dalam kehidupan. Ini juga merupakan upaya perlindungan bagi perempuan dan anak. Dengan hubungan dekat antar keluarga, akan tercipta kebersamaan yang memberi perlindungan dan keamanan baik secara fisik maupun psikologis. Keamanan adalah kebutuhan mendasar yang akan mendukung perkembangan keluarga ke depan.

Penyesuaian seksual juga akan terjadi. Kepedulian terhadap kesehatan reproduksi diri sendiri maupun pasangan sangat diperlukan. Hal ini akan menumbuhkan sikap saling memahami situasi dan kondisi pasangan, mengkomunikasikan situasi dan kebutuhan seksual secara sehat, serta menghindarkan dari perilaku beresiko seperti bergonta-ganti pasangan seksual, penggunaan obat-obatan atau pun benda yang membahayakan, dan sebagainya. Komunikasi yang sehat ini juga mendukung pola hubungan yang lebih baik.

Poin penting dari penyesuaian-penyesuaian pernikahan di atas adalah komunikasi yang sehat antar pasangan dan ada kesepakatan. Dalam berbagai hal perlu ada musyawarah dan pengambilan keputusan bersama.

Pada akhirnya, semua keputusan ada di tangan Ibu. Dengan membaca uraian di atas dan dengan pertimbangan keluarga besar, Ibu dapat membuat pertimbangan sendiri dengan lebih matang. Meskipun demikian, segala pilihan tentu mengandung manfaat dan resiko. Yang penting Ibu siap untuk mengambil keputusan yang tegas dan menjalankan keputusan tersebut dengan bertanggung jawab. Demikian, semoga bermanfaat.

Rabu, 27 Maret 2019 13:42

Diduakan Suami

Halo Rifka Annisa,

Nama saya AP (42). Saya mempunyai seorang suami, S (50). Kami memiliki dua anak yang masing-masing sudah beranjak dewasa. Sebelumnya kami lama tinggal di Sumatera. Sejak menikah hingga sekarang, saya sangat sayang dengan suami saya. Terlebih ia masih termasuk keturunan bangsawan. Selain itu ia juga memiliki pekerjaan di salah satu perusahaan swasta terkemuka di Indonesia. Hal-hal tersebut membuat saya begitu bangga dan mencintai suami saya.

Meskipun ia jarang bisa berada di rumah untuk berkumpul bersama keluarga dan hanya hanya pulang saat weekend tiba, tapi itu tidak mengurangi rasa sayang saya kepadanya. Bahkan tiap akhir pekan saat dia pulang dan berada di rumah, saya benar-benar menutup diri dari dunia luar. Saya melarang semua teman-teman bertamu ke rumah. Itu saya lakukan demi bisa memberikan waktu saya utuh kepadanya. Pokoknya segala aktivitas dan perilaku saya selalu atas seizinnya terlebih dahulu. Potongan rambut, model pakaian, sampai berat badan, saya menyesuaikan keinginan dia. Juga ketika saya memutuskan untuk mengenakan jilbab, tapi tidak diperbolehkan olehnya karena dia menganggapnya kampungan, saya pun mengurungkan niat saya itu dan tidak jadi berjilbab. Semua itu merupakan bentuk pengabdian saya sebagai istri kepadanya.

Hingga pada suatu hari, tibalah saat anak-anak saya menjadi semakin dewasa. Kami pun memutuskan untuk mengirimkan mereka sekolah di pulau Jawa. Saya memutuskan ikut mendampingi putra-putri saya bersekolah di Jawa, meninggalkan suami saya untuk sementara waktu. Tapi keputusan itu ternyata menjadi bumerang buat saya. Kala kembali dari Jawa, saya mendapati suami saya telah mempunyai istri muda. Ia ternyata menikah lagi dengan seorang perempuan, yang bahkan seumuran dengan anak pertama kami.

Melihat hal itu tentu saja hati saya menjadi hancur. Selama ini saya begitu mengabdi kepada suami saya. Saya memberikan seluruh hidup saya sepenuhnya hanya kepada suami saya. Tapi dia mengkhianati saya sedemikian rupa. Saya pun turut memikirkan hati anak-anak saya, yang mengetahui perbuatan ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain, yang seumuran dengan mereka.

Maka dalam kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada Rifka Annisa, apa yang sebaiknya saya lakukan sekarang. Saya tentu masih sangat mencintai suami saya. Akan tetapi mengingat tindakannya menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih muda, hati saya menjadi begitu tersakiti. Bagaimana cara agar saya bisa bertahan, sekaligus membesarkan hati anak-anak saya. Terima kasih atas saran yang diberikan kepada saya.

 

Jawab

Salam Ibu AP, terimakasih atas kesediaan Ibu berbagi dengan kami. Mendengar penuturan Ibu kami merasa turut prihatin atas peristiwa yang Ibu alami. Namun demikian, Ibu AP pasti dapat menempuh dan melalui cobaan ini.

Bagi Ibu, ini adalah momen yang tepat untuk merefleksikan kembali perjalanan pernikahan yang sudah Ibu tempuh selama ini. Termasuk mengingat kembali tujuan bersama pada awal pernikahan dulu. Apakah Ibu dan suami pernah berkomitmen untuk membangun pernikahan atas dasar kesepakatan-kesepakatan bersama? Atau hal tersebut tidak pernah dibicarakan sama sekali? Sekedar pemenuhan kebutuhan dasar, dengan pembagian peran yang terjadi begitu saja?

Termasuk juga kehidupan sosial Ibu. Setelah memiliki status menikah dengan suami yang berkedudukan sedemikian rupa, kehidupan Ibu menjadi lebih berkualitas, lebih produktif, lebih bermakna, atau malah sebaliknya? Apakah yang terjadi selama ini merupakan hasil kompromi antara keinginan Ibu dan suami, atau ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan?

Dengan mengalami kasus ini, Ibu dapat merenungkan ulang, apakah iktikad baik Ibu selama ini disambut dengan iktikad baik serupa dari suami? Apakah dengan tiba-tiba menikah lagi tanpa mempertimbangkan keridhoan dari Ibu dan anak-anak merupakan wujud iktikad baik? Jika tujuan pernikahan atau hubungan adalah untuk membina keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir batin, maka saling meridhoi dan menjaga komitmen adalah landasan utama dari suatu hubungan. Sehingga perlu pula ada saling menjalankan peran dan tanggung jawab secara setara, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah.

Dalam menjalankan peran dan tanggung jawab dapat berlaku fleksibel, sesuai situasi dan kondisi. Misalnya peran mendidik anak, bukan hanya tanggung jawab Ibu semata, tapi juga tanggung jawab suami. Sehingga dalam keputusan menyekolahkan anak di Jawa itu, suami juga mengambil bagian ikut bertanggungjawab dalam segala hal selain dari segi pembiayaan.

Selain peran dan tanggung jawab, Ibu dan suami juga memiliki hak yang setara. Ibu juga memiliki hak untuk menentukan segala sesuatu seperti apa yang Ibu kehendaki selama keinginan itu ada dasarnya. Seperti halnya keputusan mengenakan jilbab, itu sepenuhnya adalah hak Ibu. Ketika suami melarang apalagi dengan argumentasi yang menurut Ibu kurang berdasar, Ibu punya hak untuk mengutarakan pendapat dan menentukan sikap. Dengan adanya kesepakatan dalam berbagi peran dan tanggung jawab serta menyadari dan menghargai hak masing-masing, hubungan akan berjalan harmonis dan saling bersinergi.

Nilai ketulusan dan pengabdian Ibu yang penuh keikhlasan itu sungguh sangat bagus. Namun, pada kenyataannya, niat baik Ibu ini dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain. Dalam pernikahan, Ibu sedang memilih untuk menjalani hubungan dengan seseorang dan berharap hubungan ini akan terjalin selamanya. Karenanya, untuk memelihara hal tersebut, ada hal-hal yang perlu dipikirkan dengan rasio dan akal sehat, dengan mengesampingkan sejenak masalah perasaan.

Mungkin perlu mulai sekarang Ibu pikirkan untuk membangun kemandirian, khususnya secara finansial. Kemandirian akan membuat Ibu memandang masalah secara lebih rasional dan percaya diri. Nilai ketulusan dan pengabdian yang sudah Ibu miliki ada baiknya tetap dijaga, namun dialihkan, bukan pada individu suami, namun lebih pada kehidupan dan kemanusiaan secara luas.

Pada akhirnya segala keputusan kembali kepada Ibu. Yang terpenting Ibu memahami betul konsekuensi dari segala keputusan yang akan Ibu ambil. Menjadi pemimpin bagi diri sendiri, bersikap arif dan tegas. Senantiasa memohon petunjuk Tuhan dan dukungan dari keluarga. Semoga Ibu segera mendapatkan kelapangan atas masalah yang sedang dihadapi.

Rabu, 06 Februari 2019 19:43

Rilis Pers Penyelesaian Kasus Agni

Kami sangat keberatan, menolak, dan terganggu dengan penggunaan diksi “damai” di berbagai media massa, sebab hal tersebut menjadi pemicu anggapan bahwa Agni menyerah dengan perjuangannya. Kemudian menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan Agni mengusahakan kebenaran dan keadilan untuk dirinya, dan membuat capaian-capaian perubahan yang dibuat oleh Agni dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil. Keyakinan kami bahwa kejadian yang dialami Agni adalah kekerasan seksual yaitu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dari korban kekerasan.

Dalam proses pendampingan bagi perempuan penyintas kekerasan, kami mengedepankan prinsip-prinsip pendampingan seperti, keamanan dan keselamatan bagi perempuan penyintas, empowerment dan self determination/pengambilan keputusan oleh penyintas kekerasan. Bahwa tujuan utama dalam proses pendampingan adalah terpenuhinya rasa keadilan bagi penyintas kekerasan. Untuk mencapai hal ini maka suara penyintas menjadi sangat penting untuk didengarkan.

Pilihan penyelesaian kasus non-litigasi yang diambil oleh Agni dan Tim Hukum pada hari Senin, 4 Februari 2019 merupakan pilihan yang tidak mudah diambil. Kata “damai” yang menjadi topik pemberitaan di beberapa media memicu anggapan bahwa Agni menyerah dengan perjuangannya. Berbagai pemberitaan ini lantas terkesan menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan yang telah ditempuh Agni untuk mengusahakan kebenaran dan keadilan bagi dirinya. Akibatnya, perubahan yang berusaha dicapai oleh Agni dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil.

Karenanya, kami merasa penting untuk menjabarkan apa yang terjadi sesungguhnya dan potensi-potensi apa yang dihadapi Agni ke depan agar kita semua dapat melihat kasus ini dari perspektif penyintas. Ruang-ruang perjuangan yang harus dihadapi oleh Agni akan kami jelaskan sebagai berikut:

  1. Sejak awal, Agni telah berjuang agar kasus kekerasan seksual ini dapat ditangani oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) Universitas Gadjah Mada. HS telah mengakui perbuatannya di depan teman-teman setim KKN-nya dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) melalui telepon. Sampai September 2017, Agni belum memperoleh kejelasan mengenai penyelesaian dan rekomendasi apa yang diberikan DPkM kepada HS melalui Fakultas Teknik. Pada Oktober 2017, Agni menemui kenyataan bahwa ia mendapatkan nilai KKN C dan perlu waktu 1 tahun untuk berjuang hingga pada tanggal 14 September 2018 nilai KKN Agni dipulihkan menjadi A/B.
  1. Tim Investigasi Rektorat UGM—yang belakangan diketahui sebenarnya bernama Tim Evaluasi KKN-PPM 2018 berdasarkan SK Rektor Nomor 795/UN1.P.III/SK/HUKOR/2018—dibentuk dari tanggal 20 April 2018 sampai 20 Juli 2018 untuk mencari fakta tentang kasus yang dialami Agni. Sampai saat ini, Agni belum mendapatkan salinan hasil Tim Investigasi, bahkan Agni hanya diminta mendengarkan hasilnya dibacakan saja dan di dalamnya terdapat kesimpulan bahwa telah terjadi pelecehan seksual.
  1. Berdasarkan informasi dari situs web wisuda UGM nama HS terdaftar dalam daftar wisudawan bulan November 2018 sementara belum ada kejelasan tindak lanjut Tim Investigasi. Akhirnya wisuda HS dibatalkan sampai kasus ini selesai.
  1. Penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Maluku pada tanggal 19 November 2018 yang berlangsung selama 12 jam telah menyebabkan Agni kembali mengalami depresi;
  1. Adanya Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 adalah langkah tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas. Pertimbangan utama kami akhirnya memilih penyelesaian non-litigasi adalah kondisi psikis Agni Perkembangan kasus hukum semakin melemahkan posisi Agni, mulai dari berita acara pemeriksaan Agni, informasi yang kami terima dari pemeriksaan saksi-saksi, permintaan dari Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap Agni yang kami tolak karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama, hasil pemeriksaan psikologi Agni dan tidak adanya tanggapan tehadap permohonan visum psychiatricum

    Kasus semakin berkembang karena perbedaan definisi perkosaan yang terdapat di dalam pemberitaan di Balairung yang menggunakan term dalam website Komnas Perempuan dengan definisi perkosaan sesuai Pasal 285 KUHP. Selain itu Polda juga menyatakan adanya ketidaksesuian fakta di lapangan, bahwa lokasi kejadian dekat dengan permukiman dan tidak banyak binatang liar, serta pondokan putri berjarak hanya 50 meter dengan pondokan putra. Padahal, yang dimaksud Agni sejak awal dan disampaikan juga oleh laporan Balairung sebagai jarak yang jauh adalah jarak dari pondokan Agni ke pondokan salah seorang teman perempuannya, dan di lokasi tersebutlah terkadang ada babi hutan. Pernyataan tersebut mengarah pada indikasi Balairung menyebarkan berita bohong artinya, ada tendensi bahwa Balairung juga akan dikriminalisasi. 

    Kemungkinan SP3 yang kami antisipasi pada akhirnya semakin jelas berdasarkan kutipan pemberitaan media Kapolda DIY pada hari Selasa (5/2/2019) yang menyatakan kepada wartawan bahwa, “Kan hasilnya kemudian di antara mereka (HS dan korban) sendiri ternyata berdamai, itu yang kita harapkan, karena perkosaan tidak ada, dan pelecehan tidak ada.” 

    Bertambah besarnya kemungkinan SP3 dan tendensi kriminalisasi baik untuk Agni maupun pihak lain (Balairung) menjadikan proses ini semakin jauh dari rasa keadilan Agni. Kami mempertimbangkan akibat dari proses ini terhadap Agni dan pada Balairung.
  1. Pada tanggal 21 Januari 2019, Agni diberi tahu hasil kerja Komite Etik dimana dari 7 orang anggota komite etik, 4 orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual, yang terjadi adalah perbuatan asusila dan menolak mengkategorikannya sebagai pelanggaran sedang atau berat. Namun terdapat anggota Komite Etik lainnya mengeluarkan dissenting opinion yang menyatakan bahwa kasus tersebut adalah pelecehan seksual dan pelanggaran berat. Kesimpulan “tindak asusila” sangat melukai rasa keadilan Agni, karena di awal pertemuan Agni dengan Komite Etik, Agni dijanjikan penyelesaian yang berperspektif dan berkeadilan gender. Kondisi ini hanya mempertegas adanya budaya victim blaming.

    Perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi Agni. Kami menyadari bahwa semua pilihan penyelesaian memiliki resikonya maisng-masing. Karenanya, kami berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi Agni, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak Agni.

Perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi Agni. Kami menyadari bahwa semua pilihan penyelesaian memiliki resikonya maisng-masing. Karenanya, kami berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi Agni, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak Agni.

Beberapa poin capaian perjuangan dari sisi Agni dalam kasus ini adalah:

  1. Penyelesaian non litigasi ini menjadi solusi yang lebih mampu menjamin pemulihan hak-hak penyintas dan mencegah terjadinya tendensi kriminalisasi terhadap Agni maupun jurnalis Balairung Press;
  1. Draft kesepakatan penyelesaian mengacu pada Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 dimana di dalamnya terdapat posisi HS, Agni dan dugaan tindak pidana yang dilaporkan yaitu pemerkosaan dan pencabulan;
  1. Permintaan maaf telah dinyatakan HS kepada Agni dengan disaksikan oleh Rektorat UGM. HS juga diharuskan mengikuti mandatory counselling agar terjadi perubahan perilaku, sementara kelulusan HS akan ditunda hingga psikolog klinis menyatakan HS tuntas melakukan konseling;
  1. Hak- hak Agni sebagai penyintas dengan jelas dijamin pelaksanaannya dalam kesepakatan;
  1. Adanya klausul perbaikan sistem mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih jelas definisi, tahapan penanganan dan sanksi terhadap pelaku serta penanganan dan pemulihan hak-hak penyintas terjadi di UGM agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi dalam kesepakatan penyelesaian;
  1. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga telah melakukan penyusunan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat Fakultas, sembari mengupayakan penyelesaian terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelumnya;
  1. Membangkitkan kepedulian, dukungan, dan gerakan dari masyarakat untuk mendorong penyelesaian kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang kerap tidak tuntas dan mengabaikan pemenuhan hak-hak penyintas.
  1. Pihak UGM wajib memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian studi setara dengan komponen dalam beasiswa BIDIK MISI (UKT dan Biaya Hidup) kepada AGNI

Kami berharap penjelasan dari perspektif Agni ini dapat memberikan pemahaman dan membuka mata masyarakat betapa besar resiko yang harus dihadapi seorang penyintas kekerasan seksual dalam memperjuangkan penyelesaian kasus yang dialaminya. Agni telah berusaha memperjuangkan keadilan dengan berani dan tangguh selama satu setengah tahun lebih. Keputusan penyelesaian non-litigasi diambil karena situasi saat ini semakin tidak menguntungkan bagi Agni dan memperkecil kemungkinan Agni untuk memperoleh keadilan. Perjuangan untuk mengajukan poin-poin kesepakatan yang berperspektif penyintas, mendudukan posisi penyintas secara benar dan pemakaian diksi-diksi dalam kesepakatan penyelesaian tersebut juga bukan hal yang mudah.

Kami memohon kepada semua pihak, terutama media massa, untuk tidak menyederhanakan seluruh proses dan capaian perjuangan Agni dengan menggunakan diksi “berakhir damai” karena hal ini memperburuk kondisi psikis Agni. Perjuangan Agni belum selesai.

Kami masih membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk memastikan, mengawal dan memantau proses penyelesaian agar setiap poin kesepakatan dapat terlaksana dengan baik. Agni saat ini membutuhkan dukungan semua pihak untuk dapat memulihkan kondisi psikisnya, lebih berdaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya, serta menuntaskan kuliahnya. Mari kita lanjutkan perjuangan Agni dan terus mendukung Agni yang telah banyak berkontribusi bagi perbaikan sistem penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan.

Disusun oleh: Rifka Annisa dan Tim Kuasa Hukum Agni

41429106
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5498
57222
156154
190938
41429106