*Oleh:Ratnasari Nugraheni
Kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak setiap tahun semakin meningkat. Terlebih lagi munculnya fenomena pernikahan dini di kalangan masyarakat. Tak ayal, kondisi tersebut menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di negara tetangga yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, Timor Leste. Sudah lebih dari 11 tahun merdeka, Timor Leste semakin berbenah dengan banyak melakukan studi banding ke beberapa instansi-instansi di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan kunjungan ke Rifka Annisa pada hari Selasa, 26 November 2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda resmi tahunan yang telah dicanangkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik (Komisi Perlindungan Hak Anak) yang berada di bawah naungan Ministeriu Justisa Timor Leste (Kementrian Kehakiman Timor Leste).
Kegiatan kunjungan empat delegasi Timor Leste diisi dengan sharing dan diskusi di aula Rifka Annisa yang terbagi dalam 3 sesi. Sesi pertama berkaitan dengan informasi pengantar mengenai latar belakang Rifka Annisa sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dibawakan oleh Any Sundari selaku Manajer Divisi Media dan Humas Rifka Annisa.
Antusiasme para delegasi terlihat jelas, terutama saat salah seorang dari mereka, Paskuela, menanyakan isu kekerasan. “Sejauh mana Rifka Annisa menangani kasus kekerasan dan mengapa korban akhirnya kembali ke pasangan?” tanya perempuan paruh baya tersebut. Any menanggapi hal tersebut dengan memaparkan beberapa kasus di mana perempuan merasa tak berdaya. Tak sedikit kasus perempuan mengalami kekerasan pra-menikah dan pasca-menikah. Adanya pelabelan gender yang diskriminatif membuat perempuan tergantung pada pasangannya. Dalam kondisi inilah perempuan merasa bimbang dan bingung mengenai keputusan akan dirinya sendiri. Banyak pandangan-pandangan di mana perempuan merasa tidak mampu menjalani hidup soliter setelah perceraian, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Kecenderungan dependensi inilah yang memicu perempuan memilih untuk kembali ke pasangan. Di sinilah Rifka Annisa berperan dalam mendampingi perempuan korban kekerasan sampai pada saat mereka sudah kembali ke pasangan ataupun bila memutuskan bercerai.
Kemudian diskusi berlanjut ke sesi kedua bersama Lisa Oktavia, Konselor Hukum Rifka Annisa. Di sesi ini, para delegasi banyak mendapatkan informasi mengenai sistematika dan birokrasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Sistem kerjasama yang terintegrasi ke instansi-instansi terkait, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah, menjadi kunci kesuksesan dalam penanganan kasus kekerasan. Pemerintah Timor Leste sampai saat ini belum mengesahkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik sebagai komisi pemerintahan mengingat belum ada nota kesepahaman (MOU) yang mengikat. Hal inilah yang menjadi hambatan untuk membuat rujukan-rujukan seperti sistematika kerjasama yang telah ditempuh Rifka Annisa baik dengan pihak rumah sakit, aparat kepolisian, maupun instansi terkait lainnya. Lebih jauh, Lisa memaparkan bahwa sistem rujukan yang terintegrasi tersebut berawal dari insiatif kerjasama antara Rifka Annisa, departemen kesehatan, dan kepolisian. Setali tiga uang, dinas-dinas lain mulai tertarik, sehingga kerjasama pun terbentuk secara otomatis.
Usai makan siang, rangkaian acara dilanjutkan dengan sesi ketiga bersama Any Sundari yang mengangkat topik isu, dampak, dan tindakan preventif kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai akibat adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, yaitu perbedaan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sampai saat ini, upaya penghapusan kekerasan berbasis gender masih stagnan mengingat eskalasi kekerasan yang terus menerus terjadi. Tindakan preventif untuk mengurangi kasus kekerasan tersebut adalah melalui upaya perlindungan hukum dan sosialisasi sedini mungkin kepada masyarakat.
Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik di Timor Leste sudah mencoba mensosialisasikan upaya penghapusan kekerasan di beberapa daerah. Upaya penghapusan kekerasan melalui hukum pun tak luput menjadi sorotan. Melalui konstitusi, pelaku kekerasan di Timor Leste mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal yaitu 20-25 tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan berdasar bahwa seorang pelaku kekerasan itu telah mencoba mengambil hak hidup seseorang. Walaupun demikian, kasus kekerasan masih saja bertambah. Rifka Annisa pun memberikan saran bahwa tindakan preventif yang dapat ditempuh dengan menanamkan pengetahuan untuk orang-orang di pemerintahan atau kementerian melalui data-data di lapangan ataupun riset. Data-data tersebut dapat digunakan sebagai proses pembelajaran untuk memprediksi apa yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang apabila tindakan kekerasan tidak dicegah. Dengan demikian, pemerintah terdorong untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang dapat digunakan untuk mencegah semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan atau anak.
Kegiatan kunjungan pun berlanjut dengan touring para delegasi di kantor Rifka Annisa ke ruang pendampingan konseling, guest house, dan perpustakaan Rifka Annisa. Acara berakhir dengan pemberian cenderamata dari Rifka Annisa berupa buku-buku dan majalah terbitan Rifka. Pihak delegasi pun memberikan cenderamata berupa kain tenun khas Timor Leste, Tais. Diharapkan melalui kegiatan kunjungan ini terjalin sebuah kerjasama antara Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik Timor Leste dengan Rifka Annisa dalam upaya penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak. Dengan demikian, angka kekerasan dapat ditekan dan berkurang secara berangsur-angsur.
Intervensi negara terhadap isu-isu perempuan dalam aneka regulasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi intervensi negara amat positif dalam menjamin hak-hak perempuan dalam kehidupan bernegara. Namun, di lain sisi hadirnya negara juga tak lebih hanyalah kamuflase demi pencitraan suatu rezim politik. Faktanya, masalah yang dihadapi perempuan justru semakin kompleks.
Sementara ada kecendrungan dunia gerakan perempuan pasca rezim otoritarian justru melemah dan terkesan project oriented. Sehingga, yang timbul kemudian ialah isu dan strategi antar-gerakan perempuan yang kurang membumi, tidak solid, dan semakin terfragmentasi. Gerakan perempuan pun bisa dibilang jalan di tempat.
Pada titik itulah strategi gerakan perempuan perlu direstorasi. Poin inilah yang coba diurai dan dicarikan jalan keluarnya dalam Convening for Change: From Reflection to Movement yang diselenggarakan Rifka Annisa bekerja sama dengan Global Fund for Woman selama 3 hari (30 November-2 Desember) di hotel Sri Wedari, Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri perwakilan LSM/NGO perempuan yang tersebar di Indonesia.
Hambatan
Gerakan perempuan menghadapi hambatan struktur sosial, politik, dan kekuasaan yang berwatak patriarki. Pada konteks ini, gerakan perempuan kerap bergerak penuh dinamika―naik turun―bahkan dihancurkan. Gerakan perempuan sejak kongres perempuan I tahun 1928 dan memuncak pada tahun 1990-an memberikan sejumlah rekaman pengalaman tersebut. Tak ayal isu, strategi, dan orientasi gerakannya juga terus termodifikasi dan kerap berubah-ubah ketika bersinggungan dengan realitas kekuasaan. Di sinilah letak kesulitan mendefinisihkan gerakan perempuan. Sehingga, terlebih dahulu gerakan perempuan harus mengurai hambatan internal maupun eksternal guna menemukan jalan keluar menuju perubahan sosial yang berkeadilan gender.
Disty Murdiyana, aktivis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memaparkan gerakan perempuan harus berhadapan dengan kultur yang meminggirkan perempuan. Bagi Disty, ide-ide kesetaraan perempuan dan laki-laki tidak mudah diperjuangkan karena harus berhadapan dengan budaya patriarki yang mengental di setiap sendi kehidupan. Disty menyinggung fenomena “militerisasi”. Saat ini, katanya, banyak organisasi-organisasi fundamental yang sering bertindak sewenang-wenang.
Pernyataan Disty bukan tanpa dasar. Kini di era otonomi daerah, meski di satu sisi mengimplikasikan kemajuan demokratisasi dimana akses dan keterbukaan dalam menyuarakan aspirasi semakin terbuka lebar. Namun disisi lain, otonomi daerah juga kerap memproduksi wajah kekuasaan yang bias gender. Kebangkitan organisasi-organisasi fundamental dan lahirnya perda-perda yang mendiskriminasi perempuan membuat gerakan perempuan kian menemui tantangan maha-berat.
Kamel, aktivis perempuan yang mengusung isu-isu kontemporer ―menyangkut isu seksualitas khususnya kelompok-kelompok lesbian, gay, biseksual dan trans-gender (LGBT)―yang terpinggirkan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang dari budaya dominan, mengaku sering mendapat kekerasan dari kelompok-kelompok fundamental. “Kami sering diuber-uber”, cerita Kamel.
Para aktivis yang mengadvokasi para pekerja seks komersil (PSK) kerap mendapat teror bahkan tak jarang berujung kekerasan dari kelompok-kelompok fundamental. Sehingga, jaminan keamanan aktivis perempuan kian tak pasti. Apalagi organisasi-organisasi fundamental kerap berkolaborasi dengan pemegang kekuasaan.
Permasalahan lain yang muncul dari diskusi ini berkaitan dengan regenerasi. Devi Leiper, yang menjabat program Associate for Asia and Oceania di Global Fund for Women, mengingatkan bahwa regenerasi adalah permasalahan krusial. Karena keberlanjutan organisasi, kata Devi, bergantung pada proses regenerasi yang baik. Regenerasi yang dimaksud Devi tak hanya menyangkut keanggotaan secara kuantitas, melainkan yang lebih signifikan ialah regenerasi ideologi untuk menjamin perjuangan perempuan tetap eksis.
Dalam permasalahan regenerasi, Mida, aktivis Sada Ahmo Association, PESADA Sumatra Utara, bercerita, kebanyakan aktivis muda saat ini terlalu selektif dalam mengerjakan sesuatu. Misalkan, banyak aktivis muda yang enggan diterjunkan di daerah yang jauh dan terpencil (terisolasi). “Mereka itu banyak yang tidak mau kalau ditempatkan di desa-desa terpencil dan seolah ada ketakutan dari mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat desa”, katanya.
Persoalan lain yang tak kalah menarik ialah pendanaan. Harus diakui bahwa selama ini gerakan perempuan masih bergantung secara finansial pada donor. Sementara ada kesan bahwa donor dari luar negeri seolah mulai “menjauhi” Indonesia dalam membiayai gerakan perempuan. Hal ini dipicu karena kentalnya pencitraan rezim kekuasaan saat ini sebagai negara “kelas menengah” yang sudah mengadopsi isu-isu kesetaraan gender dalam pelbagai kebijakan. Seperti lahirnya regulasi perlindungan perempuan, semisal Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Padahal, implementasinya masih jauh panggang dari api.
Di samping itu, menurut Disty, pemerintah saat ini menerapkan kebijakan atau sistem satu pintu dalam menerima bantuan dari donor di bawah kendali Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Kebijakan ini, menurut Disty, sangat menyulitkan LSM/NGO untuk mendapatkan dukungan finansial dalam gerakannya. Karena BAPPENAS biasanya mengutamakan share finansial ke pos-pos kementerian dan lembaga-lembaga departemen lainnya demi keselarasan pencapaian pembangunan dan kemudahan kontrol serta pertanggungjawaban aliran dana.
Toh, jika LSM/NGO mendapat akses dana jumlahnya tak seberapa karena hanyalah “sisa-sisa”. Tak hanya itu, guna mendapat sokongan, LSM/NGO harus mengintegrasikan program internalnya dengan program-program pemerintah. Di sinilah problemnya, karena gerakan perempuan tak serta-merta melupakan pengalaman-pengalaman buruk akibat represi negara. Sehingga gerakan perempuan pun kerap dicap “eksklusif”. Disty juga melihat organisasi perempuan saat ini banyak terjebak pada urusan administratif semata, yakni memenuhi target-target laporan kepada donor yang kerap njlimet dan mengabaikan permasalahan substansial perempuan. “Habis waktu kita untuk berurusan dengan hal-hal administratif”, ujarnya.
Jalan Keluar
Mencari jalan keluar dari benang ruwet permasalahan yang menghinggapi gerakan perempuan memang bukanlah perkara mudah. Tiap gerakan perempuan memiliki isu dan strategi yang khas dan unik dalam membela kepentingan perempuan. Bertolak dari argumen ini, kemudian wajar jika gerakan perempuan amat beragam, berubah-ubah, dan orientasinya sulit diprediksi.
Namun, sebenarnya ada yang menyatukan keberagaman gerakan perempuan. “Bangunan pengetahuan,” ungkap Disty. Bangunan pengetahuan yang dimaksud Disty ialah rekaman pengalaman-pengalaman kehidupan perempuan dalam berhadapan dengan dominasi kekuasaan. Dari sini problem kemacetan regenerasi bisa diurai, jika bangunan pengetahuan tersebut terdokumentasi rapi.
“Selama ini pengalaman-pengalaman perempuan masih terdokumentasi secara tercecer,” kata Disty. Sehingga, persoalan ini tak hanya memengaruhi langkah advokasi gerakan perempuan yang sering mentok berhadapan dengan kekuasaan yang pongah karena minus argumentasi data. Pun,tak adanya dokumentasi yang rapi membuat regenerasi dan transformasi pengetahuan dalam gerakan perempuan turut mandek. Karena, lanjut Disty, tak ada yang bisa diwariskan secara “tertulis” kepada generasi muda. Upaya melakukan refleksi dan membangun kesadaran gender dari generasi ke generasi pun hanya berputar-putar, karena tanpa pegangan dan ukuran-ukuran keberhasilan dan kegagalan secara jelas dan rinci.
Di sinilah pentingnya perjuangan gerakan perempuan melirik media sebagai basis dokumentasi dan perjuangan yang relevan. Menerbitkan buletin, buku, atau memanfaatkan jejaring sosial dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan serta isu-isu kesetaraan gender bisa dijadikan pilihan untuk keluar dari stagnasi gerakan. Hal itu juga bermanfaat untuk merawat gerakan perempuan agar tetap awet.
Ketergantungan pada donor pun harus perlahan dikurangi. Kemandirian organisasi perempuan dalam perihal finansial adalah strategi awal yang harus dicarikan jalan keluarnya. Dari hasil diskusi, organisasi perempuan perlu mengembangkan usaha atau pemasukan alternatif sebagai suport finansial demi merawat roda keberlanjutan organisasi. Selain itu, guna keluar dari benturan masalah keuangan yang biasa dialami aktivis perlu membuat “kas umum” dari iuran kolektif yang bisa difasilitasi Komnas Perempuan. Nantinya, kas ini bisa dicairkan untuk biaya-biaya tak terduga semisal untuk biaya pengobatan akibat sakit atau karena mengalami kekerasan.
Usul lainnya ialah membangun shelter-shelter yang difasilitasi Komnas Perempuan. Karena aktivis sering berhadapan dengan kekuatan-kekuatan fundamental yang kerap melakukan kekerasan atau karena pengalaman selama pendampingan korban kekerasan, disadari atau tidak pengalaman itu amat menguras emosi dan energi para aktivis. Oleh karena itu perlu ruang rehat guna menemukan energi baru.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang membelit, gerakan perempuan punya ciri khas sama: bertumpu pada pengalaman bersama sebagai perempuan. Dari kelemahan itu pulalah titik tolak refleksi kritis didiskursuskan. Agar heterogenitas, pluralitas, dan kompleksitas gerakan perempuan bisa bersatu dalam satu bahasa perlawanan yang dilukiskan seorang feminis yang juga antropolog, Saskia Wieringa: melawan sistem dominan. Ayo berjuang terus! [Oleh:Dhita Selfia Linggasari]
Mendukung atau Menelikung
(Keterlibatan Laki-laki dalam Isu Perempuan dalam Pandangan Feminisme)
Siti Ruhaini Dzuhayatin1
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Isu Perempuan: Isu Kesadaran atau Isu Kebijakan?
Isu perempuan adalah isu yang setua isu kemanusiaan itu sendiri. Para pemimpin agama seperti Yesus dalam tradisi Kristen dan Nabi Muhammadi SAW dala Islam telah menyuarakan isu perempuan sebagai bagian dari misi kebangkitan agamanya. Isu perempuan menjadi semakin kuat dan masif bersamaan dengan isu demokratisasi dan tuntutan persamaan hak sipil dan politik pada awal abad ke 19, utamanya di Eropa. Pada awalnya, isu perempuan dimunculkan dalam apa yang disebut dengan emansipasi perempuan dengan tuntutan pendidikan, hak politik dan perlakuan yang lebih manusiawi dari kungkungan norma keluarga yang feudal yang bersifat male property owner. Isu perempuan berkelindan dengan perjuangan kelompok marginal seperti buruh dalam kebangkitan kapilatisme Eropa. Itulah sebabnya Engels sempat mendedikasikan suatu tulisan tentang the origin of the the family, Private, Property and the State pada tahun 1844 Demikian pula Jhon Stuart Mill yang menulis buku tentang the Subjugation of women pada awal abad 19. Masih sangat jarang ditemukan tulisan dari kaum perempuan yang pada waktu itu masih disibukkan dengan penajaman kesadaran terhadap pendidikan, hak sipil dan hak politik yang disebut dengan emansipasi perempuan. Di Indonesia, misalnya, kesadaran tersebut dimanifestasikan Kartini dalam tulisan-tulisannya yang kini mulai diakui sebagai tokoh feminisme Asia.
Disisi lain, kesadaran kaum perempuan tersebut mendapatkan respon positif dari kalangan laki-laki yang mendominasi birokrasi. Dari tulisan Kartini dapat dilacak beberapa tokoh-tokoh etis-humanis seperti Abendanon, van Deventer, van Kol yang sangat mendukung emansipasi perempuan di Eropa maupun di Hindia Belanda, termasuk gagasan Kartini. Pertanyaannya adalah apakah dukungan mereka merupakan bagian dari komitmen politis terhadap perbaikan sosial pada kelompok marginal , termasuk perempuan ataukah memang didasarkan pada kesadaran terhadap keterpurukan perempuan yang kemudian disebut kesadaran feminis. Jose Cote (1992), misalnya, menegaskan bahwa disamping sebagai pejabat birokrasi, para pejabat laki-laki pendukung Kartini adalah para pelopor gerakan etis-humanis yang sangat perduli terhadap kelompok marginal seperti nasib para buruh pribumi dan juga perempuan.
Terlepas dari perdebatan diatas, isu perempuan tetap berada diantara isu kesadaran yang ideologis dan kebijakan yang pragmatis sebagai mekanisme pemenuhan hak-hak dasar. Isu perempuan sebagai bentuk kesadaran mendapatkan keabsahan intelektual akademis yang mapan dengan munculnya gerakan perempuan gelombang kedua pada awal 1940an dan mencapai puncaknya pada tahun 1970an dimana istilah feminisme mulai digunakan. Pada perjalan selanjutnya, gerakan akademis ini memunculkan suatu studi baru yang disebut dengan pusat studi wanita atau center for wome’s studies. Feminisme sebagai disiplin ilmu membutuhkan landasan epistimologis yang absah yang dibangun melalui sistem pengetahuan. Menurut Meinnhem, sistem pengetahuan lahir dari suatu kesadaran yang dibentuk dari pengalaman-pengalaman yang khas. Feminisme sebagai suatu disiplin ilmu diasumsikan bersandar pada sistem pengetahuan perempuan dari pengalaman-pengalam hidup yang hanya dialami perempuan karena ia lahir dan dibesarkan sebagai perempuan. Oleh sebab itu, muncul gagasan intelectual inquiry yang eksklusif seperti women’s way of knowing, feminsit research inquiry, dan termasuk bagaimana perempuan memaknai struktur relasi gender dan struksur patriarkhi dari sudut pandang perempuan.
Gagasan-gagasan akademik tersebut juga memberi kerangka gerakan perempuan yang lebih ekslusif terhadap isu perempuan seperti isu tentang diskriminasi perempuan abadi yang secara makro-struktur membentuk merefleksikan bias patriarkhi dalam struktur negara, politik dan pasar serta secara mikro-struktur membentuk relasi yang asimetris yang menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan, perkosaan dan pelecehan seksual. Diantara varian gerakan feminis yang memberikan kontribusi besar adalah feminis radikal yang secara mendasar melakukan dekonstruksi kultural dengan membongkar asumsi-asumsi kultural yang melanggengkan budaya patriarkhi. Karena intensitas dekonstruksinya, maka muncul sub-varian yang sangat ekstrim yaitu gerakan lesbianisme. Namun feminis radikal bukan semata-mata gerakan lebianisme seperti yang banyak distigmatisasi secara gegabah. Sub-varian feminis radikal yang lebih moderate disebut feminis kultural telah memberikan kontribusi terhadap kajian-kajian kritis terhadap budaya patriarkhi melalui sebagai penyangga macro-structure, termasuk yang mengilhami lahirnya feminis teologis yang secara kritis membongkar bias-bias patriarkhi dalam penafsiran keagamaan. Mereka juga mmengintrodusir istilah gender yang secara kritis membongkar ‘asumsi kodrati’ hakekat alaki-laki dan perempuan yang direduksi sebatas aspek-aspek reprodukstif dan,sekaligus, mengklaim keabsahan ‘perlakuan khusus’ terhadap aspek-aspek tersebut seperti hak cuti terhadap menstruasi, melahirkan dan laktasi.
Dari kajian inilah muncul istilah kekerasan terhadap perempuan dan hak reproduksi perempuan beserta mekanisme-mekanisme penanganannya seperti pendirian women’s crisis center sebagai upaya untuk memberikan perlindungan sesama perempuan dari kekejaman individu lain yang berjenis kelamin laki-laki. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa keberdaan women’s acrisis center merupakan manifestasi dari kesadaran perempuan untuk mengatasi isu perempuan pada dataran micro-structure dengan suatu pendekatan yang tegas bahwa perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku dan tidak mungkin terjadi kebalikannya (not a vice versa). Secara macro-structure, feminisme melakukan lobby politis untuk dapat membakukan pengalaman-pengalaman dari relasi micro-structure dalam kerangka yang lebih luas dengan mendesakkan peraturan atau undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang prosesnya sangat rumit dan membutuhkan waktu yang panjang sampai dapat diterima oleh negara. Diberbagai negara, termasuk Indonesia, perjuangan mendesakkan undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan waktu sepuluh tahun dengan proses advokasi kebijakan yang melelahkan.
Kiprah lobbi politis terhadap negara sebenarnya telah membuka ekslusifitas ideologi feminisme dan mereduksi isu perempuan secara pragmatis sebagai isu kebijakan. Kolaborasi dengan negara yang oleh kalangan feminis radikal sebagai representasi ‘adi kuasa’ patriarkhi telah dilakukan oleh kalangan kalangan feminis liberal masih setia mengawal hak perempuan dalam politik, parlemen serta lembaga pengambil keputusan lainnya. Kuota 30% dan pengarusutmaan gender merupakan langkah strategis pada pengarusutamakan prinsip kesetaraan gender secara sistematis. Reduksi isu perempuan sebagai masalah kebijakan tnetu membawa konsekuensi tersendiri, terutama masalah yang selama ini dipandang sebagai ideologi sekaligus epistimologi feminisme karena pelaku kebijakan tidak selalu berjenis kelamin perempuan. Kait kelindan antara kebijakan dan ideologi feminis pun menjadi semakin kabur dan sulit untuk dipetakan dalam dataran praksis. Misalnya, apakah seorang polisi laki-laki yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga memang memiliki ideologi atau perspektif feminis atau sekedar melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh negara? Apakah program untuk laki-laki (men’sprogram) yang ada diberbagai negara seperti Australia berakar dari ideologi feminis atau sebagai perangkat penegakan hukum dari suatu kebijakan?
Keterlibatan laki-laki: Mendukung atau Menelikung?
Pertanyaan ini merupakan kelanjutan kegamangan dalam melihat isu perempuan sebagai isu ideologis feminis atau isu kebijakan pragmatis? Apa dampaknya terhadap ideologi feminis itu sendiri. Diberbagai negara, meski tidak selalu menamakan feminis radikal, beberapa kelompok perempuan masih setia pada ideologi feminis yang meyakini bahwa hanya perempuan yang ‘paling tahu’ tentang isu perempuan dan hanya mereka yang dapat memberikan solusi, konseling dan pendampingan. Oleh sebab itu, women’s crisis center sangat steril terhadap segala bentuk keterlibatan laki-laki yang dipandang tidak memiliki kesadaran otentik terhadap apa yang dimistifikasikan sebagai ‘women’s sufferage’. Bahkan dalam suatu kunjungan, laki-laki hanya diperbolehkan masuk sampai di ruang tamu dengan ‘penuh kecurigaan’. Ide tentang shelter sesungguhnya adalah suatu demarkasi yang secara imajiner merupakan ‘wowmen’s ghetto’ yang haram bagi lelaki untuk menginjakkan kaki. Women’s crisis center adalah markas dan sekaligus benteng bagi solideritas perempuan untuk menghadapi agresor yang disebut laki-laki, baik pada dataran macro-struktur maupun mikro-structure. Tak khayal jika women’s crisis center memiliki kecenderungan mengakhiri ‘perseteruan’, baik perkosaan ataupun masalah rumah tangga dengan cara yang bersifat ‘memisahkan’ dan tanpa komproni. Dalam mendekatan ini, keterlibatan laki-laki boleh dikatakan tidak dimungkinkan.
Lantas dari mana asal muasal men’s program yang tidak secara logis dimaknai ‘keterlibatan laki-laki’? di banyak negara seperti Australia dan Amerika, mens’ program tidak berakar dari pendekatan ideologi feminis tetapi dari pendekatan kriminologi yang diterapkan dalam kebijakan publik. Oleh sebab itu, program ini tidak menjadi satu atap dengan women’s crisis center tetapi menajdi bagian dari lembaga pelayanan publik berbasis komunitas. Men’s program merupakan bentuk layanan rehabilitasi yang dimandatkan oleh lembaga litigasi dalam penanganan kekerasan dalam rumha tangga yang, terkadang tidak sejalan dengan standpoint ideologis feminis.
Bukan hanya men’s program pragmatis yang ‘masih menyisakan’ pergumulan ideologis di kalangan feminis tetapi juga istilah ‘keterlibatan laki-laki dalam isu perempuan’ juga masih memunculkan dilema. Munculnya beberapa laki-laki yang mengintrodusir isu perempuan atau yang sering disebut ‘male feminist’ tidak selalu menggembirakan kalangan feminis ideologis. Setidaknya ada dua alasan yang ‘menggusarkan’ terhadap keterlibatan laki-laki. Pertama, keterlibatan laki-laki membuktikan bahwa perempuan memang tidak becus mempertahankan hak nya sendiri dalam dunia maskulin kecuali atas uluran tangan laki-laki. Kedua, keterlibatan laki-laki dapat dimaknai telikung pragmatis terhadap ‘ruang’ gerak perempuan beserta kepentingan finansial, termasuk projek-peojek strategis yang diperjuangkan kalangan feminis. Kekecewaan kalangan feminis terhadap keterlibatan laki-laki adalah keasadaran artifisial yang ‘terhenti di depan pintu rumah’nya. Ketika ia masuk rumahnya, ia menampakkan peringai aslinya sebagai seorang patriach yang menuntut ketundukan dan pelayan dari istrinya. Tragisnya, para lelaki feminist artifisial ini mudah lekang oleh zaman dan oleh ketersediaan ‘proyek’ sehingga tanpa beban menelikung isu perempuand engan poliganmi dengan dalih bodoh ‘melindungi perempuan yang tidak laku’ kawin karena jumlah perempuan yang semakin banyak. Beberapa dari mereka justru berperilaku ‘womenizing’ dan perselingkuhan yang menyakiti istri dan keluarganya. Demikian pula surut bersuara jika proyek sudah usai dan berganti menjadi ‘broker’ isu lain yang lebih menjanjikan.
Keterlibatan laki-laki dan Gerakan ‘Lelaki Baru’: Another Ideological Battle?
Rifka Annnisa merupakan lembaga yang relatif lebih awal melakukan ‘trial dan error’ terhadap konsep ‘keterlibatan laki-laki’ yang secara intensif dan sistematis yang pernah mengundang kritik, tidak hanya di Indonesia tetapi di beberapa seminar di luar negeri. Memang tidak mudah mengukur stamina para lelaki untuk ber ‘istiqomah’ pada isu perempuan yang di prakarsai Rifka Annisa yang sesungguhnya dibangun atas landasan feminsi ideologis. Ada beberapa prasyarat yang tidak mudah diterima boleh ‘laki-laki biasa’ seperti tidak boleh menjadi konselor, tidak boleh menjadi pimpinan proyek strategis, tidak boleh masuk shelter, hanya menjadi supporting system dan apalagi bermimpi menajdi direktur, Never! Keterlibatan mereka sudah banyak mengercitkan dahi para feminis menyaksikan laki-laki berleluasa ‘blusukan’ dalam ‘ghetto perempuan’ Rifka Annisa. Pada saat keterlibatan laki-laki menajdi lebih instensif dan memuncual suatu program mandiri maka perlu dilakukan suatu kajian ulang terhadap standpoint dan positioning terhadap pada yang disebut ‘women’s crisis center’. Apakah akan bertahan ? atau mengubah Rifka Annisa dari lembaga feminis ideologis menajdi lembaga layanan publik yang pragmatis?
Belum sempat memikirkan dengan seksama segala konsekuensi ideologis diatas, saat ini muncul agenda baru tentang ‘gerakan lelaki baru’. Jika ini sebagai suatu gerakan tentu didasarkan pada anggitan epistimologis dan ideologis tertentu. Menerima keterlibatan laki-laki masih boleh ditawar sebagai suatu complement tetapi gerakan laki-laki baru boleh jadi menjadi semacam another ideological battle pada arena macro-structure patriarchy. Kecurigaan terhadap gerakan ini lebih diarahkan ‘modus operandi’ yang mengakar pada male chounivisme diantara sesama lelaki yang secara substantif tidak terlalu memberi ‘nilai tambah’ terhadap ideologi ‘women sufferage’.
Tentu ini merupakan tantangan bagi para penggagas ‘gerakan lelaki baru’ apakah mereka mampu menghindari jebakan ideologis diatas atau berhikmat menciptakan ‘proxy’ ideologis dengan kalangan feminis. Jika tidak ‘another ideological battle ‘ akan segera terjadi dan, dapat dipastikan, perempuan akan menjadi ‘the looser’ ditengah keterpurukan yang tidak kunjung usai. Sekian.
Janturan, 11 April 2011
Menjemput momen Kartini, yang diselenggarakan setiap tanggal 21 April, berbagai kalangan lapisan berusaha merefleksikan momen ini dengan berbagai agenda. Kartini merupakan simbol perjuangan perempuan dalam melawan ketertindasan. Rekam jejak Kartini yang mengeluh kesahkan segala ragam penindasan terhadap perempuan ini kemudian dibukukan dengan judul “Door Duisternis tot Licht” atau yang lebih kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah terang”.
Cita-cita Kartini untuk memperoleh kesetaraan boleh dikatakan mulai terealisasi. Perempuan sudah banyak yang memperoleh kesempatan belajar, berpolitik maupun menentukan kehendak sendiri. Namun cita-cita besar beliau masih mendapatkan beragam halangan. Diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang kian meningkat dari waktu ke waktu
Perjuangan perempuan untuk emansipasi tidak selamanya mendapatkan respon baik. Salah satunya adalah kritikan dari sebagian kaum laki-laki yang menganggap perjuangan Kartini telah membuat perempuan semakin melampaui batas. Wajah laki-laki yang mewacanakan kontra terhadap perjuangan perempuan pernah didapatkan penulis saat mendapatkan sinisme dengan‘keberaaan Kartono’ sebagai logika terbalik untuk kaum laki-laki.
Kartono bisa jadi adalah sebutan Plesetan dari “Kartini” yang penulis tafsirkan sebagai bentuk ungkapan dari laki-laki atas hari jadi Kartini. Menurut laki-laki yang tersebut, perempuan sudah tidak saatnya memperjuangkan emansipasi karena perempuan sudah banyak yang berdaya. Benarkah demikian? Database Rifka mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan sampai penghujung tahun 2009 yang lalu mencapai 289 kasus. Sedangkan di awal Tahun 2010 (Januari-31 Maret 2010), kasus kekerasan sudah mencapai 84 kasus, 59 diantaranya adalah kasus kekerasan tehadap istri (KTI), 9 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP), lalu disusul dengan 8 kasus perkosaan, 3 pelecehan seksual dan 1 kasus trafficking
Kekerasan yang dialami oleh perempuan ini bisa mengakibatkan hal yang fatal untuk perempuan. Selain bisa mengakibatkan luka secara fisik, bahkan hilangnya nyawa, korban perempuan juga bisa mengalami gangguan psikologis diantaranya adalah trauma, kecemasan, tidak percaya diri, stress, minder, psikosomatis, halusinasi, dll.
Tingginya insiden kasus kekerasan dan mengingat bahaya yang bisa ditimbulkan telah menjadi fenomena yang memprihatinkan tersendiri ditengah gencarnya upaya pemberdayaan perempuan. Tentu saja hal ini membutuhkan penanganan dari berbagai pihak, termasuk dari kaum laki-laki. Mungkin akan muncul kritikan mengingat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi mayoritas pelaku adalah laki-laki. Tantangan ini diharapkan mampu menjawab cita-cita besar agenda perjuangan perempuan dimana laki-laki bisa berubah predikat dari ‘pelaku’ kekerasan menjadi ‘pencegah’ kekerasan.
Keterlibatan laki-laki dalam upaya mewujudkan kesetaraan ini dilakukan untuk menumbangkan stigma bahwasanya Pemberdayaan Perempunan hanya urusan perempuan saja. Sesungguhnya kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan permasalahan sosial yang membutuhkan keterlibatan dari semua pihak, termasuk dalam hal ini laki-laki dan perempuan.
Upaya pelibatan laki-laki dalam pemberdayaan perempuan berarti bergerak berbarengan dengan perempuan untuk membongkar budaya patriarkhis yang menghegemoni untuk selanjutnya membangun budaya baru yang lebih adil. Mengapa Budaya patriarkhis ini perlu dibongkar, karena selain mengakibatkan diskriminasi bagi perempuan sebenarnya membawa kerugian bagi laki-laki. Maskulinitas yang dibangun budaya patriarkhi selama ini mengarahkan laki-laki menjadi sosok ‘sempurna’ yang tidak mentolelir kekurangan maupun kelemahan yang bersifat manusiawi seperti rasa takut, cemas, lemah, bisa menangis, karena kualitas-kualitas tersebut diasosiasikan hanya milik perempuan. Sebagai akibatnya laki-laki selalu berada dalam situasi ketakutan untuk tidak dapat memenuhi kualifikasi sebagaimana diidealkan, karena jika tidak dapat memenuhi citra ideal laki-laki, mereka akan dihantui ketakutan selanjutnya yakni ketakutan akan kehilangan kontrol atas perempuan.
Ketakutan-ketakuan itu pada giliran dapat mewujud menjadi agresi yang mewujud dalam bentuk kekerasan, karena kekerasan adalah cara terakhir untuk mewujudkan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Pentingnya peran laki-laki dalam upaya pemberdayaan perempuan diharapkan menjadi kesadaran ideologis sehingga upaya mewujudkan kehidupan perempuan tanpa kekerasan pun bisa teralisasi.
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan kesadaran laki-laki untuk terlibat dalam menciptakan sistem yang lebih adil tanpa kekerasan terhadap perempuan, sudah saatnya jika laki-laki mulai belajar dengan memanfaatkan momentum peringatan Kartini. Hari Kartini hendaknya tidak lagi dimaknai sebagai momentum perayaan atau peneguhan kembali supremasi laki-laki atas perempuan akan tetapi harus dimaknai sebagai momentum perenungan atau refleksi. Kartono yang sering diplesetkan sebagai bahasa emansipasi untuk laki-laki bisa jadi memang ada, dia terlahir sebagai hasil dari gerakan laki-laki baru yang berkontribusi penting dalam pemberdayaan perempuan.
Hormat saya,
Nisa Khoerunisa
Humas Rifka Annisa Women Crisis Centre