Mendukung atau Menelikung
(Keterlibatan Laki-laki dalam Isu Perempuan dalam Pandangan Feminisme)
Siti Ruhaini Dzuhayatin1
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Isu Perempuan: Isu Kesadaran atau Isu Kebijakan?
Isu perempuan adalah isu yang setua isu kemanusiaan itu sendiri. Para pemimpin agama seperti Yesus dalam tradisi Kristen dan Nabi Muhammadi SAW dala Islam telah menyuarakan isu perempuan sebagai bagian dari misi kebangkitan agamanya. Isu perempuan menjadi semakin kuat dan masif bersamaan dengan isu demokratisasi dan tuntutan persamaan hak sipil dan politik pada awal abad ke 19, utamanya di Eropa. Pada awalnya, isu perempuan dimunculkan dalam apa yang disebut dengan emansipasi perempuan dengan tuntutan pendidikan, hak politik dan perlakuan yang lebih manusiawi dari kungkungan norma keluarga yang feudal yang bersifat male property owner. Isu perempuan berkelindan dengan perjuangan kelompok marginal seperti buruh dalam kebangkitan kapilatisme Eropa. Itulah sebabnya Engels sempat mendedikasikan suatu tulisan tentang the origin of the the family, Private, Property and the State pada tahun 1844 Demikian pula Jhon Stuart Mill yang menulis buku tentang the Subjugation of women pada awal abad 19. Masih sangat jarang ditemukan tulisan dari kaum perempuan yang pada waktu itu masih disibukkan dengan penajaman kesadaran terhadap pendidikan, hak sipil dan hak politik yang disebut dengan emansipasi perempuan. Di Indonesia, misalnya, kesadaran tersebut dimanifestasikan Kartini dalam tulisan-tulisannya yang kini mulai diakui sebagai tokoh feminisme Asia.
Disisi lain, kesadaran kaum perempuan tersebut mendapatkan respon positif dari kalangan laki-laki yang mendominasi birokrasi. Dari tulisan Kartini dapat dilacak beberapa tokoh-tokoh etis-humanis seperti Abendanon, van Deventer, van Kol yang sangat mendukung emansipasi perempuan di Eropa maupun di Hindia Belanda, termasuk gagasan Kartini. Pertanyaannya adalah apakah dukungan mereka merupakan bagian dari komitmen politis terhadap perbaikan sosial pada kelompok marginal , termasuk perempuan ataukah memang didasarkan pada kesadaran terhadap keterpurukan perempuan yang kemudian disebut kesadaran feminis. Jose Cote (1992), misalnya, menegaskan bahwa disamping sebagai pejabat birokrasi, para pejabat laki-laki pendukung Kartini adalah para pelopor gerakan etis-humanis yang sangat perduli terhadap kelompok marginal seperti nasib para buruh pribumi dan juga perempuan.
Terlepas dari perdebatan diatas, isu perempuan tetap berada diantara isu kesadaran yang ideologis dan kebijakan yang pragmatis sebagai mekanisme pemenuhan hak-hak dasar. Isu perempuan sebagai bentuk kesadaran mendapatkan keabsahan intelektual akademis yang mapan dengan munculnya gerakan perempuan gelombang kedua pada awal 1940an dan mencapai puncaknya pada tahun 1970an dimana istilah feminisme mulai digunakan. Pada perjalan selanjutnya, gerakan akademis ini memunculkan suatu studi baru yang disebut dengan pusat studi wanita atau center for wome’s studies. Feminisme sebagai disiplin ilmu membutuhkan landasan epistimologis yang absah yang dibangun melalui sistem pengetahuan. Menurut Meinnhem, sistem pengetahuan lahir dari suatu kesadaran yang dibentuk dari pengalaman-pengalaman yang khas. Feminisme sebagai suatu disiplin ilmu diasumsikan bersandar pada sistem pengetahuan perempuan dari pengalaman-pengalam hidup yang hanya dialami perempuan karena ia lahir dan dibesarkan sebagai perempuan. Oleh sebab itu, muncul gagasan intelectual inquiry yang eksklusif seperti women’s way of knowing, feminsit research inquiry, dan termasuk bagaimana perempuan memaknai struktur relasi gender dan struksur patriarkhi dari sudut pandang perempuan.
Gagasan-gagasan akademik tersebut juga memberi kerangka gerakan perempuan yang lebih ekslusif terhadap isu perempuan seperti isu tentang diskriminasi perempuan abadi yang secara makro-struktur membentuk merefleksikan bias patriarkhi dalam struktur negara, politik dan pasar serta secara mikro-struktur membentuk relasi yang asimetris yang menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan, perkosaan dan pelecehan seksual. Diantara varian gerakan feminis yang memberikan kontribusi besar adalah feminis radikal yang secara mendasar melakukan dekonstruksi kultural dengan membongkar asumsi-asumsi kultural yang melanggengkan budaya patriarkhi. Karena intensitas dekonstruksinya, maka muncul sub-varian yang sangat ekstrim yaitu gerakan lesbianisme. Namun feminis radikal bukan semata-mata gerakan lebianisme seperti yang banyak distigmatisasi secara gegabah. Sub-varian feminis radikal yang lebih moderate disebut feminis kultural telah memberikan kontribusi terhadap kajian-kajian kritis terhadap budaya patriarkhi melalui sebagai penyangga macro-structure, termasuk yang mengilhami lahirnya feminis teologis yang secara kritis membongkar bias-bias patriarkhi dalam penafsiran keagamaan. Mereka juga mmengintrodusir istilah gender yang secara kritis membongkar ‘asumsi kodrati’ hakekat alaki-laki dan perempuan yang direduksi sebatas aspek-aspek reprodukstif dan,sekaligus, mengklaim keabsahan ‘perlakuan khusus’ terhadap aspek-aspek tersebut seperti hak cuti terhadap menstruasi, melahirkan dan laktasi.
Dari kajian inilah muncul istilah kekerasan terhadap perempuan dan hak reproduksi perempuan beserta mekanisme-mekanisme penanganannya seperti pendirian women’s crisis center sebagai upaya untuk memberikan perlindungan sesama perempuan dari kekejaman individu lain yang berjenis kelamin laki-laki. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa keberdaan women’s acrisis center merupakan manifestasi dari kesadaran perempuan untuk mengatasi isu perempuan pada dataran micro-structure dengan suatu pendekatan yang tegas bahwa perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku dan tidak mungkin terjadi kebalikannya (not a vice versa). Secara macro-structure, feminisme melakukan lobby politis untuk dapat membakukan pengalaman-pengalaman dari relasi micro-structure dalam kerangka yang lebih luas dengan mendesakkan peraturan atau undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang prosesnya sangat rumit dan membutuhkan waktu yang panjang sampai dapat diterima oleh negara. Diberbagai negara, termasuk Indonesia, perjuangan mendesakkan undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan waktu sepuluh tahun dengan proses advokasi kebijakan yang melelahkan.
Kiprah lobbi politis terhadap negara sebenarnya telah membuka ekslusifitas ideologi feminisme dan mereduksi isu perempuan secara pragmatis sebagai isu kebijakan. Kolaborasi dengan negara yang oleh kalangan feminis radikal sebagai representasi ‘adi kuasa’ patriarkhi telah dilakukan oleh kalangan kalangan feminis liberal masih setia mengawal hak perempuan dalam politik, parlemen serta lembaga pengambil keputusan lainnya. Kuota 30% dan pengarusutmaan gender merupakan langkah strategis pada pengarusutamakan prinsip kesetaraan gender secara sistematis. Reduksi isu perempuan sebagai masalah kebijakan tnetu membawa konsekuensi tersendiri, terutama masalah yang selama ini dipandang sebagai ideologi sekaligus epistimologi feminisme karena pelaku kebijakan tidak selalu berjenis kelamin perempuan. Kait kelindan antara kebijakan dan ideologi feminis pun menjadi semakin kabur dan sulit untuk dipetakan dalam dataran praksis. Misalnya, apakah seorang polisi laki-laki yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga memang memiliki ideologi atau perspektif feminis atau sekedar melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh negara? Apakah program untuk laki-laki (men’sprogram) yang ada diberbagai negara seperti Australia berakar dari ideologi feminis atau sebagai perangkat penegakan hukum dari suatu kebijakan?
Keterlibatan laki-laki: Mendukung atau Menelikung?
Pertanyaan ini merupakan kelanjutan kegamangan dalam melihat isu perempuan sebagai isu ideologis feminis atau isu kebijakan pragmatis? Apa dampaknya terhadap ideologi feminis itu sendiri. Diberbagai negara, meski tidak selalu menamakan feminis radikal, beberapa kelompok perempuan masih setia pada ideologi feminis yang meyakini bahwa hanya perempuan yang ‘paling tahu’ tentang isu perempuan dan hanya mereka yang dapat memberikan solusi, konseling dan pendampingan. Oleh sebab itu, women’s crisis center sangat steril terhadap segala bentuk keterlibatan laki-laki yang dipandang tidak memiliki kesadaran otentik terhadap apa yang dimistifikasikan sebagai ‘women’s sufferage’. Bahkan dalam suatu kunjungan, laki-laki hanya diperbolehkan masuk sampai di ruang tamu dengan ‘penuh kecurigaan’. Ide tentang shelter sesungguhnya adalah suatu demarkasi yang secara imajiner merupakan ‘wowmen’s ghetto’ yang haram bagi lelaki untuk menginjakkan kaki. Women’s crisis center adalah markas dan sekaligus benteng bagi solideritas perempuan untuk menghadapi agresor yang disebut laki-laki, baik pada dataran macro-struktur maupun mikro-structure. Tak khayal jika women’s crisis center memiliki kecenderungan mengakhiri ‘perseteruan’, baik perkosaan ataupun masalah rumah tangga dengan cara yang bersifat ‘memisahkan’ dan tanpa komproni. Dalam mendekatan ini, keterlibatan laki-laki boleh dikatakan tidak dimungkinkan.
Lantas dari mana asal muasal men’s program yang tidak secara logis dimaknai ‘keterlibatan laki-laki’? di banyak negara seperti Australia dan Amerika, mens’ program tidak berakar dari pendekatan ideologi feminis tetapi dari pendekatan kriminologi yang diterapkan dalam kebijakan publik. Oleh sebab itu, program ini tidak menjadi satu atap dengan women’s crisis center tetapi menajdi bagian dari lembaga pelayanan publik berbasis komunitas. Men’s program merupakan bentuk layanan rehabilitasi yang dimandatkan oleh lembaga litigasi dalam penanganan kekerasan dalam rumha tangga yang, terkadang tidak sejalan dengan standpoint ideologis feminis.
Bukan hanya men’s program pragmatis yang ‘masih menyisakan’ pergumulan ideologis di kalangan feminis tetapi juga istilah ‘keterlibatan laki-laki dalam isu perempuan’ juga masih memunculkan dilema. Munculnya beberapa laki-laki yang mengintrodusir isu perempuan atau yang sering disebut ‘male feminist’ tidak selalu menggembirakan kalangan feminis ideologis. Setidaknya ada dua alasan yang ‘menggusarkan’ terhadap keterlibatan laki-laki. Pertama, keterlibatan laki-laki membuktikan bahwa perempuan memang tidak becus mempertahankan hak nya sendiri dalam dunia maskulin kecuali atas uluran tangan laki-laki. Kedua, keterlibatan laki-laki dapat dimaknai telikung pragmatis terhadap ‘ruang’ gerak perempuan beserta kepentingan finansial, termasuk projek-peojek strategis yang diperjuangkan kalangan feminis. Kekecewaan kalangan feminis terhadap keterlibatan laki-laki adalah keasadaran artifisial yang ‘terhenti di depan pintu rumah’nya. Ketika ia masuk rumahnya, ia menampakkan peringai aslinya sebagai seorang patriach yang menuntut ketundukan dan pelayan dari istrinya. Tragisnya, para lelaki feminist artifisial ini mudah lekang oleh zaman dan oleh ketersediaan ‘proyek’ sehingga tanpa beban menelikung isu perempuand engan poliganmi dengan dalih bodoh ‘melindungi perempuan yang tidak laku’ kawin karena jumlah perempuan yang semakin banyak. Beberapa dari mereka justru berperilaku ‘womenizing’ dan perselingkuhan yang menyakiti istri dan keluarganya. Demikian pula surut bersuara jika proyek sudah usai dan berganti menjadi ‘broker’ isu lain yang lebih menjanjikan.
Keterlibatan laki-laki dan Gerakan ‘Lelaki Baru’: Another Ideological Battle?
Rifka Annnisa merupakan lembaga yang relatif lebih awal melakukan ‘trial dan error’ terhadap konsep ‘keterlibatan laki-laki’ yang secara intensif dan sistematis yang pernah mengundang kritik, tidak hanya di Indonesia tetapi di beberapa seminar di luar negeri. Memang tidak mudah mengukur stamina para lelaki untuk ber ‘istiqomah’ pada isu perempuan yang di prakarsai Rifka Annisa yang sesungguhnya dibangun atas landasan feminsi ideologis. Ada beberapa prasyarat yang tidak mudah diterima boleh ‘laki-laki biasa’ seperti tidak boleh menjadi konselor, tidak boleh menjadi pimpinan proyek strategis, tidak boleh masuk shelter, hanya menjadi supporting system dan apalagi bermimpi menajdi direktur, Never! Keterlibatan mereka sudah banyak mengercitkan dahi para feminis menyaksikan laki-laki berleluasa ‘blusukan’ dalam ‘ghetto perempuan’ Rifka Annisa. Pada saat keterlibatan laki-laki menajdi lebih instensif dan memuncual suatu program mandiri maka perlu dilakukan suatu kajian ulang terhadap standpoint dan positioning terhadap pada yang disebut ‘women’s crisis center’. Apakah akan bertahan ? atau mengubah Rifka Annisa dari lembaga feminis ideologis menajdi lembaga layanan publik yang pragmatis?
Belum sempat memikirkan dengan seksama segala konsekuensi ideologis diatas, saat ini muncul agenda baru tentang ‘gerakan lelaki baru’. Jika ini sebagai suatu gerakan tentu didasarkan pada anggitan epistimologis dan ideologis tertentu. Menerima keterlibatan laki-laki masih boleh ditawar sebagai suatu complement tetapi gerakan laki-laki baru boleh jadi menjadi semacam another ideological battle pada arena macro-structure patriarchy. Kecurigaan terhadap gerakan ini lebih diarahkan ‘modus operandi’ yang mengakar pada male chounivisme diantara sesama lelaki yang secara substantif tidak terlalu memberi ‘nilai tambah’ terhadap ideologi ‘women sufferage’.
Tentu ini merupakan tantangan bagi para penggagas ‘gerakan lelaki baru’ apakah mereka mampu menghindari jebakan ideologis diatas atau berhikmat menciptakan ‘proxy’ ideologis dengan kalangan feminis. Jika tidak ‘another ideological battle ‘ akan segera terjadi dan, dapat dipastikan, perempuan akan menjadi ‘the looser’ ditengah keterpurukan yang tidak kunjung usai. Sekian.
Janturan, 11 April 2011