Refleksi Kritis Gerakan Perempuan

Written by  Senin, 25 November 2013 14:15

Intervensi negara terhadap isu-isu perempuan dalam aneka regulasi  ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi intervensi negara amat positif dalam menjamin hak-hak perempuan dalam kehidupan bernegara. Namun, di lain sisi hadirnya negara juga tak lebih hanyalah kamuflase demi pencitraan suatu rezim politik. Faktanya, masalah yang dihadapi perempuan justru semakin kompleks.   
Sementara ada kecendrungan dunia gerakan perempuan pasca rezim otoritarian justru melemah dan terkesan project oriented. Sehingga, yang timbul kemudian ialah isu dan strategi antar-gerakan perempuan yang kurang membumi, tidak solid, dan semakin terfragmentasi. Gerakan perempuan pun bisa dibilang jalan di tempat.       
Pada titik itulah strategi gerakan perempuan perlu direstorasi. Poin inilah yang coba diurai dan dicarikan jalan keluarnya dalam Convening for Change: From Reflection to Movement yang diselenggarakan Rifka Annisa bekerja sama dengan Global Fund for Woman selama 3 hari (30 November-2 Desember) di hotel Sri Wedari, Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri perwakilan LSM/NGO perempuan yang tersebar di Indonesia.
Hambatan
Gerakan perempuan menghadapi hambatan struktur sosial, politik, dan kekuasaan yang berwatak patriarki. Pada konteks ini, gerakan perempuan kerap bergerak penuh dinamika―naik turun―bahkan dihancurkan. Gerakan perempuan sejak kongres perempuan I tahun 1928 dan memuncak pada tahun 1990-an memberikan sejumlah rekaman pengalaman tersebut. Tak ayal isu, strategi, dan orientasi gerakannya juga terus termodifikasi dan kerap berubah-ubah ketika bersinggungan dengan realitas kekuasaan. Di sinilah letak kesulitan mendefinisihkan gerakan perempuan. Sehingga, terlebih dahulu gerakan perempuan harus mengurai hambatan internal maupun eksternal guna menemukan jalan keluar menuju perubahan sosial yang berkeadilan gender.
Disty Murdiyana, aktivis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memaparkan gerakan perempuan harus berhadapan dengan kultur yang meminggirkan perempuan. Bagi Disty, ide-ide kesetaraan perempuan dan laki-laki tidak mudah diperjuangkan karena harus berhadapan dengan budaya patriarki yang mengental di setiap sendi kehidupan. Disty menyinggung fenomena “militerisasi”. Saat ini, katanya, banyak organisasi-organisasi fundamental yang sering bertindak sewenang-wenang.
Pernyataan Disty bukan tanpa dasar. Kini di era otonomi daerah, meski di satu sisi mengimplikasikan kemajuan demokratisasi dimana akses dan keterbukaan dalam menyuarakan aspirasi semakin terbuka lebar. Namun disisi lain, otonomi daerah juga kerap memproduksi wajah kekuasaan yang bias gender. Kebangkitan organisasi-organisasi fundamental dan lahirnya perda-perda yang mendiskriminasi perempuan membuat gerakan perempuan kian menemui tantangan maha-berat.
Kamel, aktivis perempuan yang mengusung isu-isu kontemporer ―menyangkut isu seksualitas khususnya kelompok-kelompok lesbian, gay, biseksual dan trans-gender (LGBT)―yang terpinggirkan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang dari budaya dominan, mengaku sering mendapat kekerasan dari kelompok-kelompok fundamental. “Kami sering diuber-uber”, cerita Kamel.
Para aktivis yang mengadvokasi para pekerja seks komersil (PSK) kerap mendapat teror bahkan tak jarang berujung kekerasan dari kelompok-kelompok fundamental. Sehingga, jaminan keamanan aktivis perempuan kian tak pasti. Apalagi organisasi-organisasi fundamental kerap berkolaborasi dengan pemegang kekuasaan.
Permasalahan lain yang muncul dari diskusi ini berkaitan dengan regenerasi. Devi Leiper, yang menjabat program Associate for Asia and Oceania di Global Fund for Women, mengingatkan bahwa regenerasi adalah permasalahan krusial. Karena keberlanjutan organisasi, kata Devi, bergantung pada proses regenerasi yang baik. Regenerasi yang dimaksud Devi tak hanya menyangkut keanggotaan secara kuantitas, melainkan yang lebih signifikan ialah regenerasi ideologi untuk menjamin perjuangan perempuan tetap eksis.
Dalam permasalahan regenerasi, Mida, aktivis Sada Ahmo Association, PESADA Sumatra Utara, bercerita, kebanyakan aktivis muda saat ini terlalu selektif dalam mengerjakan sesuatu. Misalkan, banyak aktivis muda yang enggan diterjunkan di daerah yang jauh dan terpencil (terisolasi). “Mereka itu banyak yang tidak mau kalau ditempatkan di desa-desa terpencil dan seolah ada ketakutan dari mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat desa”, katanya.
Persoalan lain yang tak kalah menarik ialah pendanaan. Harus diakui bahwa selama ini gerakan perempuan masih bergantung secara finansial pada donor. Sementara ada kesan bahwa donor dari luar negeri seolah mulai “menjauhi” Indonesia dalam membiayai gerakan perempuan. Hal ini dipicu karena kentalnya pencitraan rezim kekuasaan saat ini sebagai negara “kelas menengah” yang sudah mengadopsi isu-isu kesetaraan gender dalam pelbagai kebijakan. Seperti lahirnya regulasi perlindungan perempuan, semisal Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Padahal, implementasinya masih jauh panggang dari api.  
Di samping itu, menurut Disty, pemerintah saat ini menerapkan kebijakan atau sistem satu pintu dalam menerima bantuan dari donor di bawah kendali Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Kebijakan ini, menurut Disty, sangat menyulitkan LSM/NGO untuk mendapatkan dukungan finansial dalam gerakannya. Karena BAPPENAS biasanya mengutamakan share finansial ke pos-pos kementerian dan lembaga-lembaga departemen lainnya demi keselarasan pencapaian pembangunan dan kemudahan kontrol serta pertanggungjawaban aliran dana.
Toh, jika LSM/NGO mendapat akses dana jumlahnya tak seberapa karena hanyalah “sisa-sisa”. Tak hanya itu, guna mendapat sokongan, LSM/NGO harus mengintegrasikan program internalnya dengan program-program pemerintah. Di sinilah problemnya, karena gerakan perempuan tak serta-merta melupakan pengalaman-pengalaman buruk akibat represi negara. Sehingga gerakan perempuan pun kerap dicap “eksklusif”. Disty juga melihat organisasi perempuan saat ini banyak terjebak pada urusan administratif semata, yakni memenuhi target-target laporan kepada donor yang kerap njlimet dan mengabaikan permasalahan substansial perempuan. “Habis waktu kita untuk berurusan dengan hal-hal administratif”, ujarnya.
Jalan Keluar
Mencari jalan keluar dari benang ruwet permasalahan yang menghinggapi gerakan perempuan memang bukanlah perkara mudah. Tiap gerakan perempuan memiliki isu dan strategi yang khas dan unik dalam membela kepentingan perempuan. Bertolak dari argumen ini, kemudian wajar jika gerakan perempuan amat beragam, berubah-ubah, dan orientasinya sulit diprediksi.
Namun, sebenarnya ada yang menyatukan keberagaman gerakan perempuan. “Bangunan pengetahuan,” ungkap Disty. Bangunan pengetahuan yang dimaksud Disty ialah rekaman pengalaman-pengalaman kehidupan perempuan dalam berhadapan dengan dominasi kekuasaan. Dari sini problem kemacetan regenerasi bisa diurai, jika bangunan pengetahuan tersebut terdokumentasi rapi.
“Selama ini pengalaman-pengalaman perempuan masih terdokumentasi secara tercecer,” kata Disty. Sehingga, persoalan ini tak hanya memengaruhi langkah advokasi gerakan perempuan yang sering mentok berhadapan dengan kekuasaan yang pongah karena minus argumentasi data. Pun,tak adanya dokumentasi yang rapi membuat regenerasi dan transformasi pengetahuan dalam gerakan perempuan turut mandek. Karena, lanjut Disty, tak ada yang bisa diwariskan secara “tertulis” kepada generasi muda. Upaya melakukan refleksi dan membangun kesadaran gender dari generasi ke generasi pun hanya berputar-putar, karena tanpa pegangan dan ukuran-ukuran keberhasilan dan kegagalan secara jelas dan rinci.  
Di sinilah pentingnya perjuangan gerakan perempuan melirik media sebagai basis dokumentasi dan perjuangan yang relevan. Menerbitkan buletin, buku, atau memanfaatkan jejaring sosial dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan serta isu-isu kesetaraan gender bisa dijadikan pilihan untuk keluar dari stagnasi gerakan. Hal itu juga bermanfaat untuk merawat gerakan perempuan agar tetap awet.
Ketergantungan pada donor pun harus perlahan dikurangi. Kemandirian organisasi perempuan dalam perihal finansial adalah strategi awal yang harus dicarikan jalan keluarnya. Dari hasil diskusi, organisasi perempuan perlu mengembangkan usaha atau pemasukan alternatif sebagai suport finansial demi merawat roda keberlanjutan organisasi. Selain itu, guna keluar dari benturan masalah keuangan yang biasa dialami aktivis perlu membuat “kas umum” dari iuran kolektif yang bisa difasilitasi Komnas Perempuan. Nantinya, kas ini bisa dicairkan untuk biaya-biaya tak terduga semisal untuk biaya pengobatan akibat sakit atau karena mengalami kekerasan.
Usul lainnya ialah membangun shelter-shelter yang difasilitasi Komnas Perempuan.  Karena aktivis sering berhadapan dengan kekuatan-kekuatan fundamental yang kerap melakukan kekerasan atau karena pengalaman selama pendampingan korban kekerasan, disadari atau tidak pengalaman itu amat menguras emosi dan energi para aktivis. Oleh karena itu perlu ruang rehat guna menemukan energi baru.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang membelit, gerakan perempuan punya ciri khas sama: bertumpu pada pengalaman bersama sebagai perempuan. Dari kelemahan itu pulalah titik tolak refleksi kritis didiskursuskan. Agar heterogenitas, pluralitas, dan kompleksitas gerakan perempuan bisa bersatu dalam satu bahasa perlawanan yang dilukiskan seorang feminis yang juga antropolog, Saskia Wieringa: melawan sistem dominan. Ayo berjuang terus! [Oleh:Dhita Selfia Linggasari]

Read 3073 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:26
46773460
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8117
8117
281827
343878
46773460