Studi Banding Delegasi Kementrian Kehakiman Timor Leste ke Rifka Annisa

Written by  Jumat, 29 November 2013 06:02

*Oleh:Ratnasari Nugraheni

Kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak setiap tahun semakin meningkat. Terlebih lagi munculnya fenomena pernikahan dini di kalangan masyarakat. Tak ayal, kondisi tersebut menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di negara tetangga yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, Timor Leste. Sudah lebih dari 11 tahun merdeka, Timor Leste semakin berbenah dengan banyak melakukan studi banding ke beberapa instansi-instansi di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan kunjungan ke Rifka Annisa pada hari Selasa, 26 November 2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda resmi tahunan yang telah dicanangkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik (Komisi Perlindungan Hak Anak) yang berada di bawah naungan Ministeriu Justisa Timor Leste (Kementrian Kehakiman Timor Leste).
Kegiatan kunjungan empat delegasi Timor Leste diisi dengan sharing dan diskusi di aula Rifka Annisa yang terbagi dalam 3 sesi. Sesi pertama berkaitan dengan informasi pengantar mengenai latar belakang Rifka Annisa sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dibawakan oleh Any Sundari selaku Manajer Divisi Media dan Humas Rifka Annisa.
Antusiasme para delegasi terlihat jelas, terutama saat salah seorang dari mereka, Paskuela, menanyakan isu kekerasan. “Sejauh mana Rifka Annisa menangani kasus kekerasan dan mengapa korban akhirnya kembali ke pasangan?” tanya perempuan paruh baya tersebut. Any menanggapi hal tersebut dengan memaparkan beberapa kasus di mana perempuan merasa tak berdaya. Tak sedikit kasus perempuan mengalami kekerasan pra-menikah dan pasca-menikah. Adanya pelabelan gender yang diskriminatif membuat perempuan tergantung pada pasangannya. Dalam kondisi inilah perempuan merasa bimbang dan bingung mengenai keputusan akan dirinya sendiri. Banyak pandangan-pandangan di mana perempuan merasa tidak mampu menjalani hidup soliter setelah perceraian, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Kecenderungan dependensi inilah yang memicu perempuan memilih untuk kembali ke pasangan. Di sinilah Rifka Annisa berperan dalam mendampingi perempuan korban kekerasan sampai pada saat mereka sudah kembali ke pasangan ataupun bila memutuskan bercerai.
Kemudian diskusi berlanjut ke sesi kedua bersama Lisa Oktavia, Konselor Hukum Rifka Annisa. Di sesi ini, para delegasi banyak mendapatkan informasi mengenai sistematika dan birokrasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Sistem kerjasama yang terintegrasi ke instansi-instansi terkait, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah, menjadi kunci kesuksesan dalam penanganan kasus kekerasan. Pemerintah Timor Leste sampai saat ini belum mengesahkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik sebagai komisi pemerintahan mengingat belum ada nota kesepahaman (MOU) yang mengikat. Hal inilah yang menjadi hambatan untuk membuat rujukan-rujukan seperti sistematika kerjasama yang telah ditempuh Rifka Annisa baik dengan pihak rumah sakit, aparat kepolisian, maupun instansi terkait lainnya. Lebih jauh, Lisa memaparkan bahwa sistem rujukan yang terintegrasi tersebut berawal dari insiatif kerjasama antara Rifka Annisa, departemen kesehatan, dan kepolisian. Setali tiga uang, dinas-dinas lain mulai tertarik, sehingga kerjasama pun terbentuk secara otomatis.
Usai makan siang, rangkaian acara dilanjutkan dengan sesi ketiga bersama Any Sundari yang mengangkat topik isu, dampak, dan tindakan preventif kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai akibat adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, yaitu perbedaan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sampai saat ini, upaya penghapusan kekerasan berbasis gender masih stagnan mengingat eskalasi kekerasan yang terus  menerus terjadi. Tindakan preventif untuk mengurangi kasus kekerasan tersebut adalah melalui upaya perlindungan hukum dan sosialisasi sedini mungkin kepada masyarakat.
Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik di Timor Leste sudah mencoba mensosialisasikan upaya penghapusan kekerasan di beberapa daerah. Upaya penghapusan kekerasan melalui hukum pun tak luput menjadi sorotan. Melalui konstitusi, pelaku kekerasan di Timor Leste mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal yaitu 20-25 tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan berdasar bahwa seorang pelaku kekerasan itu telah mencoba mengambil hak hidup seseorang. Walaupun demikian, kasus kekerasan masih saja bertambah. Rifka Annisa pun memberikan saran bahwa tindakan preventif yang dapat ditempuh dengan menanamkan pengetahuan untuk orang-orang di pemerintahan atau kementerian melalui data-data di lapangan ataupun riset. Data-data tersebut dapat digunakan sebagai proses pembelajaran untuk memprediksi apa yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang apabila tindakan kekerasan tidak dicegah. Dengan demikian, pemerintah terdorong untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang dapat digunakan untuk mencegah semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan atau anak.
Kegiatan kunjungan pun berlanjut dengan touring para delegasi di kantor Rifka Annisa ke ruang pendampingan konseling, guest house, dan perpustakaan Rifka Annisa. Acara berakhir dengan pemberian cenderamata dari Rifka Annisa berupa buku-buku dan majalah terbitan Rifka. Pihak delegasi pun memberikan cenderamata berupa kain tenun khas Timor Leste, Tais. Diharapkan melalui kegiatan kunjungan ini terjalin sebuah kerjasama antara Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik Timor Leste dengan Rifka Annisa dalam upaya penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak. Dengan demikian, angka kekerasan dapat ditekan dan berkurang secara berangsur-angsur.

Read 1587 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:25
46395130
Today
This Week
This Month
Last Month
All
616
68938
247375
306641
46395130