Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Sebelas remaja laki-laki hadir di Balai Desa Ngalang, Gedang Sari, Gunung Kidul, pada Kamis (29/5) pukul 13.30 WIB  dalam diskusi dua jam di komunitas dengan tema, “Laki-laki dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Ani Rufaida (Rufet) yang sekaligus Organisator Komunitas menjadi fasilitator pada diskusi tersebut.

Di awal diskusi, Rufet meminta peserta diskusi untuk mengingat kembali peristiwa kekerasan yang pernah dilakukan atau dialami. Berdasarkan hasil sharing diskusi, terungkap bahwa kekerasan fisik dan verbal menjadi hal yang paling sering dilakukan atau dialami oleh mereka. Rufet juga menjelaskan bahwa selain kedua jenis kekerasan yang telah disebutkan di atas, kekerasan juga melingkupi kekerasan psikis, seksual, dan ekonomi.

“Kekerasan yang kalian alami bisa jadi ada hubungannya dengan apa yang kalian alami semasa kecil. Rasanya pasti sakit ketika menjadi korban”, ungkap Rufet. Dia juga menambahkan bahwa menjadi korban kekerasan semasa kecil tidak seharusnya membuat kita melampiaskannya ketika sudah beranjak dewasa, dalam konteks ini adalah dalam hubungan pacaran.

Hubungan pacaran adalah proses mengenal. Pacar bukanlah barang ataupun binatang peliharaan, sehingga patut kita hargai dan hormati. Di akhir diskusi, Rufet memberikan beberapa tips untuk hubungan pacaran yang sehat, yakni sehat seksual, fisik, dan komunikasi baik.

Diakui Rufet bahwa peserta yang hadir pada diskusi kali ini memang lebih sedikit dibandingkan dengan diskusi-diskusi awal karena banyak peserta yang sudah lulus dan pergi ke kota untuk bekerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak mematahkan semangat dan niatnya untuk terus berbagi pengetahuan dengan para remaja Desa Ngalang.

Kamis, 03 Juli 2014 09:54

Sekolah Yes, Nikah Dini No

Oleh: Ani Rufaida
email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

67 dukuh di tujuh desa se-Kecamatan Gedangsari melaksanakan pertemuan evaluasi dan monitoring deklarasi dukuh “Bebas Nikah Usia Dini tahun 2015” di Pendopo kantor kecamatan Gedangsari. Kamis (12/06/). Wakil Bupati Gunungkidul, Bapak Imawan Wahyudi, serta para kepala desa dan Muspika Gunungkidul turut menghadiri acara tersebut.

Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif program ini mampu menekan terjadinya pernikahan usia anak. Berdasarkan data pengadilan agama (PA) Gunungkidul angka pernikahan dini terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat sejak 2009 lalu, waktu itu kasus pengajuan dispensasi pernikahan 60 kasus, tapi di akhir 2013 meningkat dua kali lipat menjadi 161 kasus pernikahan dini.

Laporan dari  Bapak Yosep selaku Kepala KUA Gedangsari. Pada tahun 2013 ada 9 anak yang mengajukan dispensasi nikah di Gedangsari dan pada tahun 2014 sampai bulan Juni hanya 2 anak. “Harapannya pada setengah tahun berikutnya tidak ada lagi” Tuturnya.

Deklarasi ini sangat efektif untuk menekan terjadinya pernikahan usia anak, karena para dukuh terlibat langsung, dulunya para dukuh selalu memberi izin pernikahan meski batas usia umurnya belum terpenuhi, bahkan memaksa pihak KUA untuk meluluskan, namun kini berbeda para dukuh terlibat aktif menekan dan mengurangi pernikahan usia anak, dengan cara tidak langsung memberikan izin kepada calon pengantin, serta memberikan nasihat kepada calon pengantin untuk menunda usia nikah sampai batas umur ditentukan. Jelas sangat berpengaruh komitmen para dukuh ini. Jelas Yosep.

Kepala dukuh memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis baik dalam pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan. Hampir semua hal dalam kehidupan masyarakat kepala dukuh menerima aduan dan curahan dari masyarakat langsung terkait permasalahan-permasalahan kemasyarakatan di wilayahnya. Kedudukan yang strategis ini juga telah dibangun dalam komitmen dan tekad bersama menekan terjadinya pernikahan usia anak yang telah dilakukan pada kegaitan “Deklarasi Dukuh” awal tahun 2014. Dengan begitu persoalan-persoalan sosial yang lain juga ikut terpecahkan.

Hal ini telah dilakukan Dukuh Tegalrejo, ketika akan memberi izin calon pengantin di wilayahnya, karena belum mencapai batas usia minimal pernikahan. Usut punya usut yang menginginkan anak ini menikah adalah orang tuanya, organisasi PKK juga terlibat memberikan sosialisasi ke keluarga dan masyarakat. Akhirnya pernikahan ditunda tahun depannya. Jelas Dukuh Tegalrejo.

Kami sangat mendukung gerakan ini, karena ini penting terutama untuk memberikan pendidikan anak serta melakukan pernikahan setelah benar-benar matang dari sisi usia atau kesiapan,” Ungkap Suparjo Dukuh Desa Hargomulyo.

Camat Gedangsari, Muhammad Setyawan Indrianto berpendapat, selain pasangan tersebut hamil terlebih dahulu, ada beberapa faktor menyebabkan terjadinya perkawinan dini. Di antaranya, adanya pandangan keliru dimasyarakat, terutama untuk anak perempuan, bahwa saat dilamar, ada ketakutan dari orang tua, bila menolak lamaran itu, maka sang anak akan menjadi perawan tua atau akan sulit menikah.

“Faktor lainnya adalah keadaan ekonomi. Seperti yang terjadi di Dukuh Trembono, Desa Tegalrejo, orang tua memaksakan anak gadisnya untuk menikah. Padahal dari sisi usia, ia masih belia. Untung saja, Pak Dusunnya tanggap dan memberikan nasehat, akhirnya pernikahan itu diundur, hingga si anak gadis benar-benar matang. Sekolah yes, pernikahan dino no. Lebih baik sekolah dulu, baru memikirkan pernikahan saat sudah matang, baik dari sisi materi maupun usia,” katanya.

Rabu, 02 Juli 2014 13:12

Pernikahan Dini dan Dampaknya

Oleh: Ani Rufaida
email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Pernikahan dini, bukan cintanya yang terlarang
Hanya waktu saja belum tepat
Merasakan semua……..

Demikianlah salah satu penggalan bait lagu “pernikahan dini” yang pernah dipopulerkan oleh Agnes Monica beberapa tahun lalu. Lagu ini tepat menggambarkan situasi perkawinan yang dilakukan oleh kaum remaja yang kebanyakan masuk katagori anak-anak. Hal itu terjadi pada usia remaja SMP maupun SMK berkisar antara umur 14-19 tahun. Inilah sepenggal relitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini.

Berdasarkan data pengadilan agama (PA) Gunungkidul, angka pernikahan dini terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat sejak 2009 lalu, waktu itu kasus pengajuan dispensasi pernikahan 60 kasus, tapi diakhir 2013 meningkat dua kali lipat menjadi 161 kasus pernikahan dini.

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan), tetapi kategori usia tersebut masih terlalu belia. Banyaknya kasus dispensasi perkawinan menunjukan betapa tingginya angka perkawinan remaja.

UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak orangtua berkewajiban mengasuh, melihara, mendidik, tumbuh kembang anak, mencegah terjadinya perkawinan anak-anak sampai batas umur 21 Tahun.

Penyebab
Di beberapa kawasan pedesaan, pernikahan dini terjadi akibat kawin paksa atau himpitan ekonomi. Namun data terbesar dari alasan permohonan dispensasi nikah itu karena alasan kehamilan diluar nikah. Artinya kasus pernikahan remaja berkaitan erat dengan kehamilan pada usia anak.

Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan yang mulai permisif dan perkembangan teknologi yang nyaris tanpa batas. Pada akhirnya perkembangan anak pada usia remaja lebih cepat dan matang secara fisik, namun psiskis ekonomi, agama, sosial, budaya maupun bentuk kemandirian yang lainnya belum tentu mampu membangun komunitas baru bernama keluarga.

Bila dikaji lebih dalam lagi hal ini akan beruntut pada persoalan sosial yang lain. Sebut saja Kehamilan yang tidak diinginkan. Ketidaksiapan pasangan dalam membentuk keluarga baru berdampak pada berbagai hal baik secara psikis, kesehatan, ekonomi, sosial. Yang berujung pada akibat tindak criminal (aborsi), resiko penyakit menular seksual (PMS) dan perceraian.  

Selain itu pernikahan dini juga terjadi karena factor budaya atau tradisi, yakni di beberapa wilayah di Indonesia missal Bugis : mahar atau somapa. Semakin anak cepat menikah semakin tinggi martabat orang tua karena dianggap mampu dan bisa mengontrol anaknya. Nilai virginitas masyarakat tinggi menyebabkan para orang tua menikahkan anak perempuannya di usia muda. Sebab anak yang masih muda dan perawan harganya tinggi. Dampak pendidikan seks yang keliru, anggapan masyarakat kalau perempuan yang lambat menikahnya ditakutkan akan menjadi perawan tua. Jika anak perempuan di lamar di usia muda orangtua akan merasa bangga sebab beban untuk menghidupi sang anak sudah tidak menjadi tanggungan orang tua lagi.

Dampak-Dampak
Pernikahan usia anak akan berdampak baik secara psikis, kesehatan, maupun sosial. Secara biologis atau kesehatan, alat-alat reproduksi masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seksual, apalagi jika sampai hamil dan dipaksakan akan membahayakan kesehatan reproduksinya.

Dampak bagi bayi, kemungkinannya adalah akan lahir prematur, berat badan kurang dari 2.500 gram, dan kemungkinan cacat bawaan akibat asupan gizi yang kurang karena ibu muda belum mengetahui kecukupan gizi bagi janin, disamping itu, ibu yang menikah muda juga cenderung mudah mengalami stress.

Dampak psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau dibawah 20 tahun, secara mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan. Terutama adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga yang baru menikah.

Dampak secara sosial, yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan pola pikir yang belum matang.

Sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncuk dari realitas sosial tersebut. Nikah diusia remaja? Mungkinakah? siapkah mental dan materinya? Apakah tidak menggangu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya?

Apa yang harus dilakukan? Pemahaman kesehetan reproduksi di sekolah maupun keluarga. Selama ini, anggapan penddidkan sex adalah mengajarkan persolan tentang sex atau hubungan seksual sehingga hal tersebut menjadi tabu. Padahal, pendidikan seks dilakukan agar seseorang mampu mengontrol tubuhnya secara biologis, sehingga dibutuhkan mengelola dorongan seksual yang dimilki. Pendidikan sex diberikan dengan menyesuaiakan jenjang usia anak.

Oleh: Ratna Dwi Astuti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Kamis (26/6), Rifka Annisa kembali melakukan sosialisasi kekerasan seksual pada anak dan pencegahanya. Sosialisasi ini berlangsung di Balai Desa Tawangsari Kulon Progo Yogyakarta. Acara tersebut dihadiri oleh 30 peserta dari ibu-ibu PKK, dan kader posyandu.

Niken Anggrek Wulan selaku fasilitator dalam sosialisasi tersebut mengutip dari Kementrian Kesehatan bahwa kekerasan seksual anak adalah segala kegiatan seksual yang dilakukan dengan anak dimana anak tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, baik ada perlawanan atau tidak, ancaman atau tidak. Maksudnya adalah segala macam perilaku yang berkonotasi seksual.

Dalam sosialisasi itu Niken menayangkan dua video terkait kasus kekerasan seksual anak. Niken juga menjelaskan bahwa pelaku kekerasan sebagian besar merupakan orang terdekat anak. Baik orangtua, paman, kakek, tetangga sekitar rumah maupun guru.

Niken menambahkan bahwa cara pencegahan kekerasan seksual anak yang paling sederhana dengan menanamkan pendidikan seks sejak dini. Misalnya mengenalkan anak tentang tubuhnya, menanamkan keterampilan social, menanamkan nilai-nilai dalam keluarga, serta membangun konsep diri anak yang positif.

Sosialisasi ditutup dengan pertanyaan Retno Pratiwi Ningrum, salah satu peserta sosialisasi. Retno bertanya tentang usia ideal anak dalam menerima pendidikan seks? Lalu adakah perbedaan dan pengetahuan seks untuk anak laki-laki dan anak perempuan serta apakah pembagian peran ayah dan ibuk juga diperlukan?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Niken menjawab sebaiknya pendidikan usia anak dilakukan sejak dini. Tahap-tahapnya anak usia sekitar dua tahun sudah mampu membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, anak usia 2 sampai 4 tahun sudah bisa diajari untuk mengenali privasi tubuh mereka, dimana orang lain tidak boleh bebas menyentuh bagian tersebut. Anak usia ini sudah dapat mulai memahami dasar reproduksi, seorang bayi yang tumbuh dan berkembang dalam rahim perempuan. Selanjutnya pada usia 5 sampai 8 tahun pemahaman anak-anak atas reproduksi  terus berkembang. Lalu usia 9 sampai 12 tahun sudah dapat memahami dan memutuskan benar atau salah, tontonan atau media yang ia lihat yang berkaitan dengan hal-hal seksual. Terakhir umur 13-18 tahun sudah harus mengetahui pendidikan seks secara menyeluruh.

Secara umum, remaja merupakan pribadi yang sangat tertutup dan memilik banyak privasi. Jika orangtua sudah menjelaskan mengenai pendidikan seks sejak dini, anak akan cenderung lebih mudah dekat dan percaya untuk bercerita pada orangtua ketika ada hambatan atau masalah yang dihadapi. Selain itu peran kedua orangtua termasuk ayah sangat penting dalam pengasuhan anak.

Oleh: Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Pada Rabu pagi (18/6), tiga orang narasumber duduk di depan peserta Jogja Update dalam sebuah diskusi dan refleksi publik “Mencegah Kekerasan Seksual dengan Pemenuhan Hak Kespro dan Seksual di Yogyakarta”, yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Yogyakarta (PKBI DIY).

Tjatur Budiyanti, Ketua Forum Guru Peduli Kespro Bantul selaku salah satu narasumber memaparkan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah DIY sangatlah banyak. Namun terkait pencitraan, “Terkadang pihak sekolah tidak membuka informasi tersebut kepada publik”, ungkapnya. “Perilaku seksual remaja itu sudah sangat WOW dan itu terang-terangan dilakukan di dalam kelas” ucap Tjatur menambahkan.

Tjatur memaparkan bahwa pemerintah telah berinisiatif agar kurikulum Kesehatan Reproduksi (Kespro) masuk ke kelas satu SD. Masuknya kurikulum tersebut akan memberikan pemahaman kepada anak tentang bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dengan begitu, ia akan segera melapor ketika mengalami pelecehan seksual.

Tak hanya Tjatur, Rini Wedyastuti, Perwakilan Forum Orang Tua Peduli Kespro Kabupaten Kulon Progo, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab kekerasan seksual adalah kurangnya pendidikan nilai-nilai agama dan budi pekerti yang luhur. Menurut Rini, kurangnya pendidikan seksual di usia dini menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual.    

Dr. Anum dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY memaparkan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual yang telah dilakukan oleh dinas kesehatan adalah mengupayakan adanya layanan kespro di setiap puskesmas di DIY. Indikator upaya ini terlihat dengan adanya puskesmas yang peduli terhadap layanan kesehatan reproduksi remaja.   

Saat sesi tanya jawab, Retno sebagai salah satu peserta diskusi menanyakan perihal ketakutan para orangtua untuk menyekolahkan anaknya. Ketakutan yang dimaksud Retno adalah ketakutan pada sekolah-sekolah tertentu di mana siswinya pernah hamil atau siswi dan siswanya pernah terlibat narkoba. Menanggapi hal tersebut, Tjatur mengatakan bahwa pernah terjadi kehamilan siswi SMA yang sebenarnya telah hamil sejak SMP. Menurut Tjatur, sekolah bukan satu-satunya pihak yang disalahkan. “Keluarga, masyarakat, pemerintah dan media merupakan pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pendidikan kespro”, ungkap Tjatur.

46413007
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1777
86815
265252
306641
46413007