Oleh: Ani Rufaida
email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Pernikahan dini, bukan cintanya yang terlarang
Hanya waktu saja belum tepat
Merasakan semua……..
Demikianlah salah satu penggalan bait lagu “pernikahan dini” yang pernah dipopulerkan oleh Agnes Monica beberapa tahun lalu. Lagu ini tepat menggambarkan situasi perkawinan yang dilakukan oleh kaum remaja yang kebanyakan masuk katagori anak-anak. Hal itu terjadi pada usia remaja SMP maupun SMK berkisar antara umur 14-19 tahun. Inilah sepenggal relitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini.
Berdasarkan data pengadilan agama (PA) Gunungkidul, angka pernikahan dini terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat sejak 2009 lalu, waktu itu kasus pengajuan dispensasi pernikahan 60 kasus, tapi diakhir 2013 meningkat dua kali lipat menjadi 161 kasus pernikahan dini.
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan), tetapi kategori usia tersebut masih terlalu belia. Banyaknya kasus dispensasi perkawinan menunjukan betapa tingginya angka perkawinan remaja.
UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak orangtua berkewajiban mengasuh, melihara, mendidik, tumbuh kembang anak, mencegah terjadinya perkawinan anak-anak sampai batas umur 21 Tahun.
Penyebab
Di beberapa kawasan pedesaan, pernikahan dini terjadi akibat kawin paksa atau himpitan ekonomi. Namun data terbesar dari alasan permohonan dispensasi nikah itu karena alasan kehamilan diluar nikah. Artinya kasus pernikahan remaja berkaitan erat dengan kehamilan pada usia anak.
Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan yang mulai permisif dan perkembangan teknologi yang nyaris tanpa batas. Pada akhirnya perkembangan anak pada usia remaja lebih cepat dan matang secara fisik, namun psiskis ekonomi, agama, sosial, budaya maupun bentuk kemandirian yang lainnya belum tentu mampu membangun komunitas baru bernama keluarga.
Bila dikaji lebih dalam lagi hal ini akan beruntut pada persoalan sosial yang lain. Sebut saja Kehamilan yang tidak diinginkan. Ketidaksiapan pasangan dalam membentuk keluarga baru berdampak pada berbagai hal baik secara psikis, kesehatan, ekonomi, sosial. Yang berujung pada akibat tindak criminal (aborsi), resiko penyakit menular seksual (PMS) dan perceraian.
Selain itu pernikahan dini juga terjadi karena factor budaya atau tradisi, yakni di beberapa wilayah di Indonesia missal Bugis : mahar atau somapa. Semakin anak cepat menikah semakin tinggi martabat orang tua karena dianggap mampu dan bisa mengontrol anaknya. Nilai virginitas masyarakat tinggi menyebabkan para orang tua menikahkan anak perempuannya di usia muda. Sebab anak yang masih muda dan perawan harganya tinggi. Dampak pendidikan seks yang keliru, anggapan masyarakat kalau perempuan yang lambat menikahnya ditakutkan akan menjadi perawan tua. Jika anak perempuan di lamar di usia muda orangtua akan merasa bangga sebab beban untuk menghidupi sang anak sudah tidak menjadi tanggungan orang tua lagi.
Dampak-Dampak
Pernikahan usia anak akan berdampak baik secara psikis, kesehatan, maupun sosial. Secara biologis atau kesehatan, alat-alat reproduksi masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seksual, apalagi jika sampai hamil dan dipaksakan akan membahayakan kesehatan reproduksinya.
Dampak bagi bayi, kemungkinannya adalah akan lahir prematur, berat badan kurang dari 2.500 gram, dan kemungkinan cacat bawaan akibat asupan gizi yang kurang karena ibu muda belum mengetahui kecukupan gizi bagi janin, disamping itu, ibu yang menikah muda juga cenderung mudah mengalami stress.
Dampak psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau dibawah 20 tahun, secara mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan. Terutama adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga yang baru menikah.
Dampak secara sosial, yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan pola pikir yang belum matang.
Sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncuk dari realitas sosial tersebut. Nikah diusia remaja? Mungkinakah? siapkah mental dan materinya? Apakah tidak menggangu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya?
Apa yang harus dilakukan? Pemahaman kesehetan reproduksi di sekolah maupun keluarga. Selama ini, anggapan penddidkan sex adalah mengajarkan persolan tentang sex atau hubungan seksual sehingga hal tersebut menjadi tabu. Padahal, pendidikan seks dilakukan agar seseorang mampu mengontrol tubuhnya secara biologis, sehingga dibutuhkan mengelola dorongan seksual yang dimilki. Pendidikan sex diberikan dengan menyesuaiakan jenjang usia anak.