Selasa, 25 Oktober 2016 14:24

Marital Rape : Perkosaan Dalam Perkawinan

Oleh: M. Ryandaru Danisworo

 

“Loh Anda kan menikah? Masa’ diperkosa suami?”

“Itu maksudnya gimana, diperkosa? Tapi kan married?”

Kata-kata tersebut adalah respon dari beberapa orang terhadap kasus Marital Rape. Memang kerap kali kasus pemerkosaan terjadi antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan perkawinan, namun pada nyatanya pemaksaan untuk bersetubuh juga kerap kali terjadi di dalam sebuah perkawinan. Ini lah yang lalu disebut dengan Marital Rape.

Mungkin masyarakat akan menganggap Marital Rape sebagai hal yang aneh karena di dalam pernikahan, suami atau istri memiliki hak untuk bersetubuh dengan pasangannya. Namun tentunya dalam melaksanakan hak, ada batasan yang harus dipatuhi dan ini juga ada di dalam Sebuah perkawinan. Hubungan seksual antara suami dan istri harus disertai konsen dari kedua pihak. Tentunya jika tidak ada konsen dari salah satu pihak, pihak tersebut akan merasa disakiti.

Berdasarkan catatan Rifka Annisa dan lembaga layanan lainnya, pemerkosaan dalam perkawinan memang kerap kali terjadi dan dampaknya juga serupa dengan dampak pemerkosaan di luar perkawinan seperti gangguan psikologis dan kehamilan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, tentu tidak adil untuk membedakan pemerkosaan hanya karena satu kasus terjadi di luar perkawinan dan di dalam perkawinan.

Dengan pembacaan strict terhadap Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), pemerkosaan dapat dikenakan pasal 285-286 jika tindakan tersebut dilakukan terhadap wanita diluar perkawinan. Tapi perlu diingat bahwa KUHP adalah produk hukum yang dapat dikatakan sudah usang karena berasal dari era-kolonial sehingga pemahaman tradisional yang patriarkis masih teradopsi.

Pemerintah telah mengeluarkan UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah pemerkosaan, UU tersebut dalam pasal 8 mendefinisikan kekerasan seksual sebagai pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dari definisi tersebut, tindakan pemerkosaan tentu dapat dikategorikan menjadi kekerasan seksual menurut UU tersebut.

Marital Rape memang dikenal dan memang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya, kesadaran terhadap tindakan tersebut masih minim, ditunjukkan dari pernyataan yang dilontarkan beberapa orang ketika mendengar Marital Rape. Ketidaksadaran ini menyebabkan beberapa masalah, seperti enggannya korban untuk melaporkan tindakan tersebut karena adanya pemahaman bahwa memang tugas suami atau istri untuk melayani kebutuh fisik pasangannya, sehingga ketika tidak dapat melaksanakan “tugas” tersebut, maka akan ada rasa bersalah. Hal ini tentunya menghambat penegakan hukum dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, melihat hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tidak dapat ditemukan penetapan pengadilan yang mengharuskan pelaku untuk mengikut konseling. Padahal, pasal 50 UU PKDRT memberikan kuasa kepada hakim untuk menetapkan pelaku untuk mengikuti konseling. Menurut Penjelasan pasal 50, tambahan hukuman tersebut diperuntukan dimana telah terjadi percobaan kekerasan dalam rumah tangga. Penjelasan bukan merupakan sumber hukum yang mengikat, sehingga boleh saja seorang hakim, menetapkan wajib konseling terhadap pelaku walaupun kejahatan yang dilakukan bukan percobaan.

Konseling sangatlah penting dalam pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki permasalahan psikologis seperti ketidakdapatan mengatur emosi atau pemahaman tentang wanita yang salah. Sesuai dengan adagium hukum “actus reus mens rea”, jika seseorang berbuat jahat, bukan hanya tindakannya saja yang bersalah, tetapi pikirannya juga bersalah. Disinilah peran konseling dalam membantu penegakan hukum yang bertujuan bukan hanya untuk menghukum pelaku tetapi juga menjadi sarana rehabilitasi pelaku agar pelaku tersebut tidak mengulangi tindakan. Sayangnya, seperti yang telah disinggung diatas, penetapan konseling wajib oleh pengadilan masih jarang dilakukan.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Marital Rape. Marital Rape adalah hal yang nyata dan merupakan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Seluruh komponen masyarakat, mulai dari diri pembaca sendiri, dapat membantu menyebarkan dan menegakan hak-hak perempuan.

Jika pembaca mengetahui adanya Marital Rape, pembaca dapat meminta bantuan dari Rifka Annisa pada Nomor (0274) 553333 , kirim email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya., atau datang ke Rifka Annisa Women Crisis Center di Jalan Kambon IV, Kompleks Jatimulyo Indah. 

Oleh : Triantono, S.H., M.H1

 

A. Prolog

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan tenaga pendidik kembali mencuat dan cukup menjadi perhatian publik. Kali ini yang menjadi sorotan media adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh EH yang merupakan salah satu staff pendidik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM).

Peristiwa yang menyangkut EH tersebut dibenarkan oleh pihak FISIPOL UGM dengan berdasarkan surat resmi tertanggal 3 Juni 2016 yang menerangkan tentang proses internal yang dilakukan oleh FISIPOL UGM untuk merespon kejadian tersebut. Jika dicermati,  surat tertanggal 3 Juni 2016 pada intinya memiliki paling tidak 3 substansi:2

1. Posisi Etis FISIPOL yang tetap mengedepankan kepentingan penyintas (korban);

2. Ketika kasus tersebut pertama kali diketahui, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 

  1. Pertama, Fisipol melakukan rapat gabungan (Dekanat, Ketua Senat Fakultas, dan Pengurus departemen berkaitan dengan pelanggaran kode etik dosen untuk merespon laporan dari penyintas. Dalam rapat tersebut Fisipol melakukan pemanggilan terhadap EH untuk langsung melakukan klarifikasi, dan yang bersangkutan sudah mengakui perbuatannya;
  2. Kedua, berdasarkan klarifikasi dan pengakuan tersebut, Fisipol kemudian menjatuhkan sanksi: (a) membebastugaskan EH dari kewajiban mengajar serta membimbing skripsi dan tesis. (b) membatalkan usulan EH  sebagai kepala pusat studi. 
  3. Ketiga, Fisipol juga mewajibkan yang bersangkutan mengikuti program konseling dengan Rifka Annisa Women’s Crisis center untuk menangani perilaku negatif  khususnya yang terkait dengan pelecehan seksual.

Dari surat yang dikeluarkan oleh pihak FISIPOL UGM tertanggal 3 Juni 2016 tersebut ada paling tidak 3 fakta  yang terungkap ke publik, yaitu adanya laporan dari penyintas (korban) terkait dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh EH, adanya Pengakuan dari EH terkait dengan pelecehan seksual yang dilakukan kepada penyintas (korban), adanya sanksi etik dan konseling perubahan perilaku bagi EH. Fakta pertama dan kedua proses penanganan dilakukan secara internal FISIPOL UGM. Pada fakta yang ketiga khususnya berkaitan dengan konseling perubahan perilaku FISIPOL UGM melaksanakannya dengan bekerjasama dengan pihak ketiga yakni Rifka Annisa Women’s Crisis Center.

B. Persoalan Etik

Dalam kaitannya dengan persoalan etik maka ada dua pengertian yang relevan yaitu pengertian tentang kode-kode etik (codes of ethics) dan kode perilaku (code of conduct). Jadi pelanggaran terhadap etik dapat berarti pelanggaran terhadap nilai etika dan perilaku.3  Karena persoalan etik ini lazimnya juga diikuti dengan prosedur bagaimana mengungkap pelanggaran etika seseorang, maka persoalan etik juga sekaligus berkaitan dengan pengertian “pengadilan etika” (court of ethics).4  Ketiga konsep yang dikemukakan oleh Ashidiqie ini nampaknya relevan dengan kasus pelanggaran kode etik dan perilaku oleh EH. Namun apakah ukuran prosedur penegakkan etika yang dilaksanakan oleh internal FISIPOL UGM juga dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai sebuah lembaga penegak etika atau dalam hal ini “pengadilan etika” (court of ethics).

Kasus kekerasan sebagaimana diungkapkan dalam surat tertanggal 3 juni 2016 di atas yang juga diakui oleh EH tentu merupakan pelanggaran kode etik kepegawaian sekaligus pelanggaran terhadap pedoman perilaku yang dimiliki sebagai pendidik (dosen). Karena dalam hal ini selain EH berkapasitas sebagai pendidik (dosen), EH juga berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya dalam persoalan etik yang melibatkan EH maka selain ada pelanggaran terhadap kode etik (code of ethic) kepegawaian juga terjadi pelanggaran kode perilaku (code of conduct) atas kapasitasnya sebagai tenaga pendidik (dosen).

Selanjutnya, sebagaimana diutarakan diatas bahwa berbicara mengenai persoalan etik juga akan terkait dengan proses formal penegakkan etika. Proses penegakkan etika itu berkaitan dengan persoalan prosedur (acara) pengungkapan pelanggaran etik yang dilakukan sampai pada penjatuhan sanksi. Prosedur yang demikian layaknya “pengadilan etik” (court of ethic). Proses internal melalui dewan etik lembaga (FISIPOL UGM) merupakan bagian dari proses penyelesaian kasus. Sikap lembaga yang segera merespon laporan korban dan menjatuhkan sanksi etik kepada EH merupakan tindakan yang patut diapresiasi dan perlu dikembangkan.

Selain apresiasi yang tinggi atas sikap lembaga (FISIPOL UGM) untuk segera merespon kasus EH, nampaknya dalam proses tersebut juga terdapat catatan. Proses yang dilakukan oleh internal FISIPOL UGM diatas tak ubahnya seperti pengadilan etik (court of ethic) karena selain melakukan pemeriksaan dan klarifikasi juga diikuti oleh pemberian sanksi etik. Dalam pengertian pengadilan etik (court of ethic) tersebut maka ada prinsip pengadilan modern yang sepatutnya menjadi perhatian agar proses dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara publik. Prinsip-prinsip tersebut adalah peradilan modern yang bersifat objektif, imparsial, profesional, terbuka, transparan dan akuntabel.5

Mekanisme penegakan kode etik yang dilakukan oleh Dewan Etik FISIPOL telah dilakukan secara tertutup. Makna tertutup disini berkaitan dengan proses, pihak-pihak yang terlibat dalam dewan etik, sampai pada implementasi atas sanksi etik yang tidak bias dipertanggung jawabkan secara publik. Mekanisme ini mendasarkan pada paradigma lama tentang penegakkan etika bahwa sistem etika pada dasarnya menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau privat. Karena itu, proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik biasanya dilakukan secara tertutup. Sebagian pengertian lama tentang etika yang bersifat pribadi yang bersumber dari dorongan kesadaran internal tiap-tiap pribadi atau ‘imposed from within’, masih melekat dalam mekanisme pengelolaan kelembagaan penegak kode etik.6

Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, jaminan kendali mutu terhadap proses penegakan etika yang bersifat independen, jujur, dan adil tidak mungkin terpenuhi. Jika proses pemeriksaan dan peradilan dilakukan secara tertutup, derajat objektivitas, integritas, dan independensinya tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selama proses penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan objektifitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan kredibilitas. Pada gilirannya, siapa yang dapat diyakinkan bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh terpercaya. Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat (public). Proses dewan etik yang sangat tertutup dapat menimbulkan spekulasi bahwa patut diduga pertimbangan pertemanan ataupun dipengaruhi oleh pertimbangan ewuh-pekewuh dan politik nama baik institusi. Kemunculan spekulasi publik yang demikian menandakan proses dewan etik internal yang tertutup memiliki celah untuk tidak dipercaya (distrust) oleh publik.

C. Penegakan Hukum

Sampai dengan saat ini meskipun kabar tentang pelecehan seksual sudah tersebar luas di media dan menjadi sorotan publik namun kasus tersebut belum masuk pada proses hukum. Mekanisme penyelesaian kasus yang sudah dilakukan adalah melalui penegakkan etik secara internal dan melalui proses etik ini konon kabarnya EH telah mendapatkan sanksi berupa dibebaskannya EH dari kewajiban mengajar, membimbing mahasiswa serta dicopot dari jabatan struktural.

Jika kita melihat kasus yang dilakukan oleh EH yakni soal pelecehan seksual, maka persoalannya bukan saja pada persoalan etik namun juga dapat masuk dalam kualifikasi persoalan hukum (legal). Meskipun KUHP sampai dengan saat ini belum mengatur secara eksplisit mengenai “pelecehan seksual”, namun apa yang dilakukan oleh EH paling tidak dapat masuk dalam kualifikasi delik kesusilaan. Proses penyelesaian etik sepatutnya juga diikuti dengan mekanisme hukum. Agar proses dan hasil bisa lebih dipertanggung jawabkan secara publik. 

Dalam konstruksi hukum sebagaimana KUHP apa yang dilakukan oleh EH dapat masuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap kesusilaan dan dalam hal ini masuk dalam kualifikasi pada pasal 281 KUHP. Pasal 281 KUHP menjelaskan hal demikian:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan

2. Barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Menurut R. Soesilo Yang dimaksud dengan kesusilaan disini adalah kesusilaan dalam arti umum. Sehingga makna terbuka dalam ketentuan pasal 281 adalah di muka umum. Kriteria dapat dihukumnya perbuatan asusila adalah bahwa orang tersebut dengan sengaja merusak kesopanan/kesusilaan dimuka umum, artinya perbuatan tersebut merusak kesopanan/kesusilaan itu harus dilakukan ditempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak.7  Dengan demikian maka syarat dimuka umum itu ada dua hal yaitu tempat yang dapat dilihat orang secara pada umumnya atau secara peruntukannya memang tempat tersebut diperuntukan untuk kepentingan umum.

Penafsiran atas frase “dimuka umum” nampaknya juga terjadi pada putusan-putusan hogeraad antara tahun 1902-1931. Tafsiran-tafsiran sebagaimana pertimbangan hukum hogeraad itu bekisar antara perbuatan kesusliaan itu dilakukan ditempat umum dan dapat dilihat secara umum oleh khalayak; perbuatan itu dilakukan meskipun tidak ditempat umum namun dapat dilihat oleh umum; perbuatan tersebut meskipun tidak dilihat umum namun perbuatan tersebut dilakukan di tempat yang peruntukannya untuk kepentingan umum.

Berkaitan dengan unsur sengaja maka dalam melakukan kejahatan kesusilaan maka maknanya perbuatan tersebut harus diketahui dan dikehendaki oleh pelaku. Untuk membuktikan adanya kesengajaan ini putusan hogeraad tahun 1930 yang memberi pertimbangan bahwa kesengajaan tidak perlu ditunjukan kepada perbuatan-pebuatan asusila yang menimbulkan kecemasan. Adalah cukup bahwa perbuatan-perbuatan itu dilakukan ditempat yang terbuka untuk umum. Nampaknya putusan ini ingin menegaskan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan asusila ditempat umum secara nalar normal tidak mungkin jika hal itu dilakukan atas dasar ketidaksadaran. Tentulah pelaku mengerti betul akan perbuatan yang dilakukan dan dikehendaki.  Perbuatan asusila yang dilakukan oleh pelaku kejahatan paling tidak sudah disadari dan dikehendaki sebelumnya.

Meskipun penulis tidak memiliki kronologis peristiwa yang terjadi secara lengkap namun dapat dipastikan bahwa locus delicti masih berada sekurang-kurangnya masih masuk pada wilayah kampus UGM yang merupakan tempat yang terbuka untuk umum dan bukan kawasan tertutup/pribadi. Dengan melihat locus delicti yang ada dalam peristiwa tersebut dan mempetimbangkan terkait dengan unsur dimuka umum, nampaknya unsur tersebut dapat terpenuhi. Dan untuk membuktikan adanya kesengajaan berdasarkan kronologis cerita dari korban bahwa perbuatan asusila yang dilakukan oleh EH juga diawali dari rangkaian perbuatan yang secara sadar dan dikehendaki oleh pelaku untuk dilakukan (seperti pemilihan korban, tempat, waktu dan alasan pertemuan) sehingga memungkinkan pelaku melakukan perbuaan asusila tersebut.

Jika kita lihat kembali fakta dalam surat keterangan resmi dari FISIPOL UGM tertanggal 3 Juni 2016, maka selain fakta pelaporan dari penyintas, fakta kedua dari surat tersebut tersirat dengan jelas bahwa pelaku dalam sidang komisi etik telah mengakui akan perbuatan melakukan perbuatan pelecehan seksual. Kedua fakta dalam surat ketarangan resmi tersebut cukuplah memenuhi syarat sebagai bukti permulaan yang cukup.8  Dengan bukti permulaan tersebut maka sudah memenuhi syarat bahwa patut diduga telah terjadi perbuatan pidana, dan dalam hal ini aparat penegak hukum dapat memulai proses pro justisia. Kepolisian dapat memulai proses penyelidikan dan penyidikan dengan mengumpulkan informasi termasuk keterangan-keterangan berbagai pihak yang terlibat termasuk pihak-pihak dalam sidang etik di FISIPOL UGM.

D. Perubahan Perilaku

Barangkali penulis tidak akan terlampau jauh dalam membincangkan soal perubahan perilaku dalam pengertian psikologis. Yang menurut penulis relevan diungkap disini adalah apa yang menjadi dasar proses perubahan perilaku dari pelaku yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Proses tindakan berupa konseling perubahan perilaku memiliki tempat yang penting dalam penyelesaian kasus seperti halnya pemberian hukuman yang memberikan efek jera (deterent effect).

Pada dasarnya menurut penulis dengan menggunakan pendekatan etik dan hukum, maka proses perubahan perilaku senantiasa bersifat acessoir. Artinya perubahan perilaku melalui konseling perubahan perilaku merupakan tindakan yang tidak dapat berdiri sendiri. Tindakan tersebut harus didahului dengan pernyataan atau putusan tentang kejahatan dan sanksi pokok atas kejahatan yang dilakukan.

Dengan parameter diatas maka tindakan konseling perubaan perilaku dapat diberlakukan pasca proses etik. Apalagi proses penegakkan etika yang sudah selayaknya memiliki makna pengadilan etik (court of ethic). Jika melihat proses etik yang sudah selayaknya dilihat sebagai pengadilan etik (court of ethic) seperti diungkap diatas, maka putusan atas dewan etik harus tetap dihormati dan dijalankan. Dengan demikian tindakan konseling perubahan perilaku yang didasarkan atas putusan dewan etik memiliki dasar meskipun dewan etik tidak memberikan kriteria atau batasan perubahan perilaku yang dimaksud. Tinggal sekarang bagaimana melakukan pengawasan dan memastikan proses konseling perubahan perilaku itu dijalankan dan menjamin bahwa dengan tindakan tersebut pelaku tidak melakukan kejahatan lagi.

Dikaitkan dengan penegakkan hukum maka perubahan perilaku bagi pelaku kejahatan sudah memiliki konsepnya sejak abad ke 19. Berangkat dari pendekatan Herbert L Parker yang memperkenalkan pendekatan  medical model selain crime control model maupun due proses model, maka sudah sejak lama diperkenalkan bahwa memperlakukan pelaku kejahatan tidak cukup hanya sekedar melakukan penghukuman, namun yang lebih penting adalah melakukan perbaikan perilaku sehingga pelaku tidak mengulangi kejahatannya. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia ketiga pendekatan tersebut dipakai meskipun tidak bersifat strik.

Etika dan hukum dapat difungsikan secara sinergis dan saling menopang dalam rangka membina, mengarahkan, dan mengendalikan kualitas dan integritas perilaku manusia tak terkecuali pelaku kejahatan.***

 

------------------------------------

1 Penulis adalah Research Officer di Rifka Annisa Annisa, Yogyakarta. 

2 Surat dari FISIPOL ini merupakan respon dari berita yang mencuat di media yaitu The Jakarta Post tertanggal 2 Juni 2016 dengan judul berita “Sexually harassed and Abused on Campus” yang memaparkan terjadinya pelecehan seksual khususnya di FISIPOL UGM.

3 Jimly Ashidiqie, 2015, Dinamika Sistem Norma dan Peradilan Etika, Makalah, Disampaikan dalam Penataan Hakim Agung di Jakarta,hlm. 21

4 Ibid 

Ashidiqie..., Op.Cit., hlm. 30

JimlyAshidiqie, Op. Cit., hlm. 32

7 R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, hlm. 205

8 Berdasarkan Putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 terkait bukti permulaan yang cukup maka harus dimaknai minimal dua alat bukti.

Oleh: R. Andadari Raya Hanantari

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan ketidakadilan yang kerap terjadi pada Perempuan. Hal tersebut berdampak negatif secara mental, fisik, dan seksual terhadap Perempuan. Kasus-kasus KDRT yang selama ini muncul hanya merupakan sebagian sedikit dari banyaknya kasus yang ada. Di Indonesia, KDRT dianggap sebagai aib yang tidak boleh diketahui orang lain. Sehingga banyaknya korban yang tidak mengetahui dan tidak memahami tentang isu hukum mengenai KDRT. Hal ini berdampak pada sulitnya korban untuk menghentikan siklus konflik yang memicu KDRT.

Buku Saku Informasi Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berhasil menjelaskan kepada pembaca mengenai berbagai bentuk KDRT, hak-hak korban, serta proses pengadilan atau litigasi untuk mengatasi masalah KDRT.

Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis, dan kekerasan seksual, dan penelantaran. Buku ini juga menjelaskan pembaca mengenai hukum di Indonesia yang melindungi hak-hak dari korban KDRT yang dipertegas dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU P-KDRT). Peraturan tersebut meregulasi hak dasar dari korban, hak untuk mendapatkan perlindungan, dan hak dalam upaya pelayanan dan pemulihan korban secara fisik maupun psikis.

Untuk menyelesaikan permasalahan KDRT, yang merupakan tindakan kriminal, korban dapat menuntut pasangan atau pelaku melalui jalur peradilan atau litigasi. Litigasi sendiri terbagi menjadi dua ranah hukum, yaitu hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata mengatur tentang hak dan kewajiban antara satu orang dengan yang lain. Sehingga melalui litigasi, korban dari KDRT dapat menuntut pemenuhan hak-hanya yang telah dilanggar atau tidak dipenuhi oleh pelaku dan dapat mengajukan perceraian. Sementara hukum pidana mengatur tindakan yang dianggap mengancam dan merugikan orang lain dan masyarakat, serta mengatur hukuman yang dihadapi oleh pelaku yang melanggar hukum tersebut. Di Indonesia, KDRT merupakan bentuk tindakan criminal yang diatur pada pasal 44-46 UU P-KDRT. Sehingga dengan tuntutan pidana, pelaku dapat menghadapi hukuman penjara.

Buku ini secara mendalam menjelaskan tentang proses litigasi untuk membantu korban.

Buku ini juga menjelaskan tentang perkara permohonan, perkara gugatan, kelengkapan gugatan, barang bukti, dokumen yang harus disiapkan, saksi-saksi, Bantuan hukum secara gratis, banding, investigasi, dan proses hukum lainnya secara detail. Hal tersebut memberikan informasi kepada korban yang sebelumnya tidak dimengerti oleh banyak orang atau tidak dibicarakan oleh orang lain. Buku ini sangat membantu korban untuk mengakhiri KDRT dan merebut kembali hak-hak korban yang sebelumnya dilanggar oleh pelaku.[]

Jumat, 10 Jun 2016 14:36

MEMBANGUN KELUARGA BAHAGIA

Oleh: R. Andadari Raya Hanantari

Buku yang berjudul, ‘Membangun Keluarga Bahagia memberikan bimbingan kepada pasangan untuk membangun keluarga yang sehat dan bahagia melalui kerjasama dan tanggung jawab yang setara baik antara suami dan istri maupun calon suami dan calon istri. Bimbingan yang diberikan buku tersebut juga merupakan upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan membantu pasangan untuk mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapi keluarganya.

Salah satu poin penting dalam buku ini, untuk membangun keluarga bahagia, setiap anggota keluarga harus memahami hak atas kesehatan seksual dan reproduksinya. Contohnya adalah, hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi, hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehiduan berkeluarga dan kehidupan reproduksi, hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan, hak untuk bebas dari penganiyaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pemerkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual. Dengan memahami hak-hak tersebut, setiap individu akan memiliki aktivitas reproduksi yang sehat dan keluarga yang sehat.

Keluarga dibangun oleh dua individu yang berbeda, yang memiliki latar belakang budaya, pendidikan, status sosial dan ekonomi yang berbeda. Perbedaan tersebut membuat konflik tidak dapat dihindari. Konflik berakar dari berbagai aspek, contohnya perekonomian keluarga, pengasuhan anak, dan miskomunikasi antara suami dan istri. Sehingga, untuk membangun keluarga bahagia, pasangan harus harus mampu menghadapi konflik dalam keluarga. Di sisi lainnya, konflik yang berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan kerap menyebabkan KDRT, yang pada umumnya terjadi pada wanita. Buku ini juga menjelaskan siklus konflik yang menyebabkan KDRT: Fase bulan madu – pertengkaran kecil – pertengkaran besar – KDRT – saling memaafkan – fase bulan madu – pertengakaran yang lebih besar – KDRT – saling memaafkan – berulang.

Konflik antar pasangan tidak dapat dihindari, baik sumi dan istri harus menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu metode mendasar untuk menyelesaikan masalah keluarga adalah dengan komunikasi yang efektif. Hal ini dapat tercapai dengan menerapkan beberapa prinsipnya, antara lain adalah, saling menghormati, saling mengerti satu sama lain, dan fokus kepada tujuan utama. Selain itu, komunikasi juga penting untuk menyelesaikan masalah perekonomian keluarga, yang membutuhkan kejujuran, pengertian, kesepakatan dan keadilan.

Buku ini juga menekankan kewajiban yang setara antara suami dan istri. Contohnya adalah, suami dan istri sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengatur kewajiban rumah tangga bersama. Suami dan istri juga harus memiliki peran dan kewajiban yang setara yang didasari oleh keahlian, kemampuan, dan kekurangan masing-masing. Hal tersebut dapat dikaitkan dalam aspek mengasuh anak. Peran yang seimbang dan setara antara suami istri dalam mengasuh anak memberikan perhatian yang lebih besar terhadap anak, kasih sayang yang lebih besar kepada anak, dan rasa aman.

Apabila konflik tidak dapat dihadapi dengan komunikasi, saling menghormati, dan saling mengerti satu sama lain, pasangan tersebut dapat meminta bantuan pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan konflik dalam keluarga.

Buku ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun keluarga yang sehat dan bahagia. Buku ini sangat ringan dibaca dengan pilihan kata yang familiar, sehingga pembaca dapat memahami secara mendalam. Buku ini juga menggunakan pendekatan agama yang membuat setiap poin dan ide yang disampaikan berhubungan dan nyata bagi pembaca. Panduan yang diberikan juga sangat membantu untuk mengurangi eskalasi konflik di dalam keluarga, mengatur permasalahan keluarga, dan menghindari KDRT.[]

pengaduan.jpg

Merespon banyaknya dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka dibutuhkan upaya yang serius untuk menangani kasus-kasus tersebut.

Korban atau orang yang mengetahui akan adanya kekerasan seksual hendaknya tidak diam dengan kondisi tersebut. Kemauan dan keberanian untuk memberikan informasi akan sangat membantu dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual yang mengedepankan kepentingan, perlindungan dan keadilan bagi korban serta pencegahan keberulangan kasus serupa. Rifka Annisa membuka ruang pengaduan atas kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan khususnya pendidikan tinggi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Rifka Annisa akan menjaga kerahasiaan identitas korban dan/atau pelapor.
  2. Rifka Annisa menyediakan pendampingan psikologis, hukum dan layanan rujukan yang diperlukan bagi korban dan/atau pelapor.
  3. Laporan-laporan yang diterima oleh Rifka Annisa akan digunakan untuk melakukan advokasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan khususnya institusi pendidikan tinggi.

Pengaduan dapat dilakukan melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. dan hotline RIFKA ANNISA di 085100431298 dan 085799057765, atau datang langsung ke kantor Rifka Annisa Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah, Tegalrejo, Yogyakarta.

46412931
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1701
86739
265176
306641
46412931