Gunungkidul- Selasa & Rabu, 25 & 26 Juli 2017, Rifka Annisa menjadi pelaksana sekaligus fasilitator workshop untuk diskusi terkait UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Cikaraya Gunungkidul ini dihadiri oleh 20 peserta perwakilan dari Desa Jetis, Desa Kepek, dan Desa Ngalang. Kegiatan ini bertujuan supaya peserta mendapatkan penguatan mengenai pemetaan desa secara partisipatif dan tehnik membangun data desa, sebagai basis perencanaan desa.

Sesi hari pertama dimulai dengan pemaparan terkait peraturan-peraturan yang menjadi turunan dari UU Desa oleh Farhad dari Dinas Perlindungan, Perempuan dan Anak Kabupaten Gunungkidul. Dalam hal ini, Farhad memaparkan beberapa peraturan sebagai turunan dari UU Desa, seperti misalnya PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah menjadi PP Nomor 47 Tahun 2015, kemudian PP Nomor 60 Tahun 2014 yang diubah menjadi PP Nomor 22 Tahun 2015 serta PP Nomor 8 Tahun 2016 terkait Dana Desa. Terkait banyaknya peraturan turunan ini, Farhad tetap menekankan lima pokok substansi UU Desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas, demokratisasi desa, modal sosial dan kreatifitas desa, keuangan desa, serta ekonomi kerakyatan.

Berbeda dengan hari pertama, tiga orang narasumber pada hari kedua menekankan pentingnya Sistem Informasi Desa untuk perencanaan desa partisipatif terutama terkait pentingnya kebutuhan kaum marjinal seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok difabel. Topik ini disampaikan oleh Muhammad dari Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), Agus Hermanto perakilan komunitas dari Desa Beji, dan Dina Mariana dari Institute for Research and Empowerment (IRE). Selanjutnya di akhir sesi, Direktur Rifka Annisa, Suharti, menyampaikan terkait cerita pengalaman Rifka Annisa dalam menjalanan berbagai program kegiatan yang diharapkan dapat membantu peningkatan partisipasi perempuan di level pemerintahan desa.

Dua hari berdiskusi mengenai UU Desa, para peserta tampak antusias, terutama ketika sesi materi terkait penerapan sistem informasi dan kesetaraan gender dalam pemerintahan tingkat terbawah. Diskusi yang cukup menarik di antara peserta dan faslitator telah mewarnai berlangsungnya kegiatan ini, meskipun masih terdapat beberapa perbedaan terkait pemahaman konseptual kesetaraan gender dengan pelaksanaannya terkait UU Desa yang seringkali terjadi di lapangan.

Penulis : Vina Anggraini relawan magang dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Editor : Khoirun Ni'mah

IMG-20170802-WA0018.jpg 

Gunungkidul- Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annsia bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk Pemerintah Desa. Salah satu desa di Gunungkidul yang menjadi mitra kerja Rifka Annisa adalah Desa Jetis, kecamatan Saptosari. Desa Jetis ini memiliki Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA) yang cukup aktif. FPK2PA tersebut sudah terbentuk sejak November 2015 lalu bersamaan dengan deklarasi pencegahan pernikahan usia Anak di Kecamatan Saptosari. Mereka melakukan kerja-kerja untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan melibatkan berbagai pihak di antaranya; pemerintah desa, PKK, Remaja, dan lain sebagainya.

 Senin, 24 Juli 2017 lalu, Rifka Annisa diundang untuk menjadi narasumber dalam acara koordinasi dan pembentukan pengurus baru FPK2PA Desa Jetis. Dalam hal ini Nurmawati narasumber dari Rifka Annisa memaparkan tugas pokok dan fungsi dari kepengurusan FPK2PA. Acara yang berlangsung dari pukul 13.00 s.d 16.00 WIB ini bertujuan untuk mengevaluasi bentuk keberhasilan dan berbagai tantangan yang dialami oleh forum tersebut. Selain itu, tujuan dari pertemuan ini adalah untuk membentuk kepengurusan baru dan mendiskusikan kembali terkait kerja-kerja dari FPK2PA. Hal ini dilakukan karena melihat pentingnya sebuah forum yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan kualitasnya, bidang pelayanannya, terlebih dalam penambahan personil-personilnya. Peserta yang hadir dalam pertemuan ini kurang lebih sekitar 41 orang, di antaranya Ibu Lurah, Ketua FPK2PA, Sekretaris desa, Kesra, perwakilan dari lembaga Rifka Annisa dan anggota-anggota lainnya.

 Pada awalnya, FPK2PA ini hanya terdiri dari dua bidang pelayanan saja, yaitu bidang pencegahan dan penanganan. Akan tetapi saat ini, bidang pelayanan FPK2PA bertambah, salah satunya bidang kesehatan dengan melibatkan warga desa yang berprofesi dalam bidang kesehatan, seperti bidan, perawat, apoteker dan sebagainya. Selain itu, pembentukan pengurus baru ini melibatkan tokoh agama dan para dukuh di Desa Jetis. Yatinah wakil ketua FPK2PA mengungkapkan bahwa selama ini kegiatan FPK2PA kurang semangat, tapi dengan adanya pengurus baru diharapkan forum menjadi lebih aktif dan juga Forum Anak Desa (FAD) bisa dihidupkan kembali. Yatinah juga menambahkan bahwa FAD dapat menjadi ruang-ruang berkegiatan positif bagi anak-anak dan remaja, sehingga mereka dapat menghindari kerentanan-kerentanan untuk menjadi korban maupun pelaku kekerasan. []

Penulis : Sarahtua Simanungkalit Relawan Magang dari Medan

Editor : Khoirun Ni'mah

Gunungkidul - Masalah pernikahan anak mungkin bukan lagi masalah yang baru dibicarakan, tetapi telah menjadi masalah yang belum mampu terselesaikan hingga sekarang ini. Banyak kalangan remaja yang sebenarnya belum memahami apa itu pernikahan dini, dan apa dampak-dampak buruk jika melakukan pernikahan dini, karena itulah perlu suatu tinjauan atau pendampingan khusus yang dilakukan untuk menambah pemahaman generasi muda.

Dalam hal ini, Rifka Annisa aktif melakukan diskusi dengan para remaja. Setiap sesi diskusi mereka mendiskusikan topic yang berbeda-beda. Rifka Annisa mengadakan diskusi dengan remaja di Desa Kepek, Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul mengenai pencegahan pernikahan anak, Minggu (23/7).

Dalam program diskusi remaja tersebut, Rifka Annisa menjelaskan kepada remaja tentang pencegahan pernikahan anak. Diskusi ini dipandu oleh Khoirun Ni’mah selaku staf Humas dan Media Rifka Annisa yang juga sering melakukan diskusi dengan para remaja dan pelajar dalam program Rifka Goes To School (RGTS). Dalam kegiatan tersebut, hadir juga Nurmawati selaku Manager Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa.

Selama dua jam diskusi, peserta tidak hanya mendapatkan materi tetapi juga melakukan diskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok laki-laki dan perempuan untuk membahas mengenai pernikahan dini dan dampak-dampak dari pernikahan dini, sekaligus melihat perbandingan antara pemikiran laki-laki dan perempuan dalam memahami pernikahan dini.

Hasil yang didapatkan dari diskusi kelompok tersebut ialah hampir 80% peserta bisa dikatakan telah memahami pernikahan dini dan dampak dari pernikahan dini. “Faktor yang menyebabkan pernikahan usia anak antara lain hamil di luar nikah. Kalau udah terlanjur hamil seringkali langsung dinikahkan meskipun masih anak-anak, tapi itulah paksaan dari orangtua. Ini terjadi ketika si anak punya pacar kaya, sehingga oranagtua mendesak anak untuk segera menikah karena faktor ekonomi. Kemudian dampak yang ditimbulkan ialah perempuan rentan terkena penyakit, Perempuan mengalami kekerasan, krisis ekonomi, dll” ujar Putri, salah satu peserta yang merupakan pelajar SMP.

“Biasanya karena orangtua pengen cepat punya cucu, juga desakan sosial. Bisa jadi karena pernikahan usia anak dianggap sudah umum di lingkungannya. Dampaknya ialah perceraian, mudah bertengkar karena pola pikir yang masih labil, merepotkan orangtua, dan ekonomi rendah”, tambah Mulyanto, peserta dari kelompok lelaki.

Meskipun peserta telah memahami dengan benar tentang pernikahan usia anak, tidak ada jaminan mereka terlepas dari kerentanan menjadi korban karena itu selalu dibutuhkan pengawasan dan bimbingan yang intens.

            Dengan menyadari dampak yang sangat merugikan itu, Rifka Annisa berupaya untuk mengajak para remaja dan masyarakat mengubah paradigma untuk tidak melakukan pernikahan dini. Program yang dilakukan oleh Rifka Annisa ini tentu berkontribusi sangat positif bagi Indonesia dan masyarakat sekitar karena Rifka Annisa berperan aktif untuk melindungi anak masyarakat dan generasi bangsa. (Lamtiar Tambunan)

Gunungkidul – Anggota Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA) seringkali menghadapi kesulitan selama pelaksanaan program kerja. Kesulitan yang utama adalah koordinasi. Anggota merasakan kurangnya koordinasi sehingga rencana pogram kerja terhambat dalam pelaksanaannya. Masalah seperti ini juga dihadapi juga oleh FPK2PA Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul.

            “Ini adalah kelemahan kita. Kita perlu meningkatkan kerjasama untuk pelaksanaan program,” ujar Ayuk, salah satu anggota FPK2PA Desa Ngalang pada pertemuan koordinasi perencanaan program kerja di Rumah Pintar, Sabtu (22/7). Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Kaderi selaku Kepala Desa Ngalang dan Eko Sutardi dari bagian Kesejahteraan Masyarakat.

            Ayuk menambahkan, seringkali anggota FPK2PA level desa dalam menjalankan program kerja harus selalu menunggu instruksi dari ketua. Ia pun mengajak anggota yang lain untuk berkomitmen dan bertanggung jawab atas rencana bersama yang sudah disusun.

            Selain itu, adanya miskomunikasi dan kurangnya koordinasi dengan ketua juga menjadi kendala tersendiri. Menanggapi pernyataan Ayuk, Heni selaku ketua FPK2PA Desa Ngalang menyebutkan bahwa sebenarnya para anggota bisa berinisiatif dan mengkomunikasikan kepada ketua jika memang ketua sibuk untuk mengkoordinasikan. Sehingga ketua bisa mendisposisikan kepada anggotanya agar program kerja tetap bisa berjalan.

            Sementara itu, Ani Rufaida sebagai fasilitator dari Rifka Annisa menyarankan penggunaan whatsapp bisa dioptimalkan ketika memang tidak memungkinkan untuk bertatap muka secara langsung. Jadi tidak harus menunggu ketua,” kata Rufed, panggilan akrab Ani Rufaida. Fasilitator menekankan agar ada upaya memaksimalkan koordinasi dengan saling berkomunikasi.

            Pertemuan yang dihadiri 10 anggota tersebut juga membahas perencanaan agenda terdekat seperti pelatihan kader dan lomba keluarga. Rencananya, pelatihan kader diselenggarakan pada 12 Agustus dan lomba keluarga pada 27 Agustus mendatang. (Ana Widiawati)

*Ana Widiawati adalah mahasiswa magang dari Hubungan Internasional Universitas Brawijay

Kamis, 27 Juli 2017 13:00

Ada Apa dengan Remaja

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kasus di sekolah saya. Begini ceritanya. Ini bukan masalah sepele tapi masalah yang sangat dipastikan dapat merugikan berbagai pihak. Anak muda jaman sekarang beda sekali dengan anak muda jaman dulu. Kata orangtua, anak jaman dulu selalu mempertimbangan resiko yang akan diterima ketika melakukan berbagai tindakan, sedangkan anak jaman sekarang sifatnya maunya muluk-muluk tanpa berikir panjang dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Itu menurut saya, mungkin dari kalian ada yang tidak sependapat.

Saya amati di berbagai berita, remaja masa kini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Didukung dengan kemajuan teknologi, justru banyak masalah yang ditimbulkan seperti pornografi, bullying, terjebak pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Mereka ini kan merupakan masa depan bangsa yang merupakan aset yang paling berharga. Namun mereka malah terjebak dalam suatu situasi yang menghilangkan potensi bahkan tidak ada kualitas untuk menjadi penerus bangsa.

Hamil di luar nikah adalah suatu hal yang mungkin banyak terjadi. Lebih parahnya lagi mereka masih pelajar di bawah umur yang masih jauh untuk memikirkan pernikahan atau berkeluarga. Remaja perempuan yang hamil di luar nikah biasanya selalu mengambil jalan pintas untuk aborsi. Ia tidak memikirkan bayi yang telah mereka ambil hidupnya. Perbuatan yang akan membebani hidupnya nanti. Namun, saya juga paham, bahwa si perempuan pasti berada dalam situasi yang sangat sulit, tidak ada yang mau mengerti atau membantu mencari solusi sehingga mengambil solusi yang beresiko.

Saya adalah seorang pelajar sebuah sekolah menengah di Gunungkidul. Awal mula kasus ini adalah ketika tahun ajaran baru 2016. Dua siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang baru masuk sekolah awal tahun lalu sudah lama menjalin hubungan dari kelas satu. Pada semester dua kelas dua ini ada sebuah kegiatan pembelajaran yang disebut PKL (Praktik Kerja Lapangan). Menurut saya, kegiatan ini adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh para pelajar SMK. Karena apa, dengan mengikuti kegiatan ini bisa menjadi ajang pamer.

Ya betul, pamer. Kegiatan ini adalah kegiatan untuk para siswa agar merasakan langsung kerja di sebuah industri. Pengawasan yang minim dan langsung percaya pada guru atau kepercayaan orang tua pada anaknya di luar sana menjadi salah satu faktor penyebab hal-hal yang sangat merugikan. Lagi pula didukung dengan uang saku yang diberikan orangtua umumnya sangat berlebihan sehingga disalahgunakan untuk hal-hal negatif.

Komunikasi antar kedua siswa ini tidak pernah henti. Suatu saat perempuan dan laki laki mengetahui tempat PKL masing-masing dan saling memberi tahu posisi tempat tersebut. Selanjutnya, perkembangan teknologi dan lemahnya pengawasan orangtua atas handphone anak menjadi faktor berikutnya. Handphone seperti menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan remaja masa kini.

Batas waktu PKL adalah tiga bulan. Dua bulan, hubungan mereka berjalan dengan komunikasi lewat handphone yang sangat lancar dan lemahnya pengawasan dari guru maupun orangtua. Suatu ketika mereka membuat janji untuk bertemu di tempat yang sudah mereka tentukan. Mula-mula mereka bersapa malu seperti orang yang baru kenal. Semakin lama semakin nyaman dan mulai ada keganjalan dan tangan usil mereka. Bukan pertemuan yang menyenangkan, tapi karena nafsu semua terasa menjerumuskan.

Kegiatan PKL telah selesai. Saatnya kembali ke sekolah, terasa seperti kembali lagi menjadi siswa baru di sekolahnya. Hari demi hari terus berjalan, mulai ada tanda-tanda dari siswi perempuan itu. Dia sering kali menyendiri atau murung, bahkan dia juga pernah bolos sekolah. Tak perlu waktu lama, guru menjenguknya. Setelah diselidiki secara detail dan juga hasil tes dokter akhirnya dikatakan bahwa si perempuan ini positif hamil.

Akhirnya guru berunding untuk mengembalikan anak ini kepada orang tuanya kembali. Sedangkan siswa laki laki juga dikeluarkan dari sekolahnya. Sekolah pun sedikit demi sedikit berbenah walaupun berjalan dengan lambat. Mulai mengadakan acara keagamaan, mengundang organisasi anti kekerasan dan lain-lain. Harapannya akan mengurangi kasus-kasus yang menjengkelkan seperti ini.

Masalah seperti ini sering terjadi berawal mula dari pacaran. Pacaran menurut saya hanyalah pengungkapan suatu gengsi atau pamor melalui hubungan antar lawan jenis. Tapi apa hasilnya? Mereka hanya membuang waktu yang seharusnya menjadi sebuah petaka yang mengincar secara pelan. Kadang orang terdekat malah menjadi salah satu bahaya yang mengintai. ‘Mendekap erat agar menancapkan pisau sedalam mungkin’. Buat apa pacaran jika pada akhirnya malah menyakitkan dan menimbulkan kerugian? Ini bukan hanya tentang mereka, tapi juga sebuah renungan bagi saya, kalian dan kita semua. Kita, anak muda harus bisa berpikir tentang baik buruknya.

Jadi pada dasarnya kita sebagai pemuda penurus bangsa harus selalu berpikiran positif, Jangan selalu mengutamakan gengsi dan meningkatkan pamor dengan hal-hal yang negatif. Katakan tidak pada kekerasan anak, kejahatan seksual dan narkoba dan lain-lainya. Sudah sepantasnya kita sebagai pemuda bangsa mengisi keseharian kita dengan hal hal yang bemanfaat dan meraih prestasi dengan baik dan memuaskan. Kita pasti bisa! []

Oleh Hima Beng2 (Pelajar di Gunungkidul)

 

*Hima Beng2 adalah nama inisial dari penulis yang disamarkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan karena menceritakan kasus yang sensitif.

**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya merupakan sudut pandang dan tanggung jawab penulis.

46411941
Today
This Week
This Month
Last Month
All
711
85749
264186
306641
46411941