Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
 
Judul Buku  : The Athena Doctrine: How Women (And The Men Who Think Like  Them) Will Rule The Future
Penulis       : John Gerzema dan Michael D'Antonio
Penerbit     : Jossey-Bass
Terbit        :  Cetakan 1, 2013
Tebal         : 289 halaman

Athena, sosok dewi kebijaksanaan dalam mitologi Yunani, menginspirasi John Gerzema dan Michael D'Antonio untuk melakukan survei terhadap 64.000 orang dari 13 negara mengenai sifat-sifat manusia manakah yang berkaitan dengan nilai-nilai feminin dan maskulin. Survei tersebut dilakukan selama satu tahun di lima benua. Hasil survei yang dilanjutkan dengan wawancara dengan perempuan pemimpin maupun laki-laki yang mengadopsi  nilai-nilai feminin ke dalam gaya kepemimpinan mereka, dinarasikan oleh Gerzema dan D’ Antonio dalam buku yang berjudul “The Athena Doctrine: How Women (And The Men Who Think Like  Them) Will Rule The Future”.

Dari hasil survei tersebut didapatkan beberapa sifat yang secara tradisional memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai feminin  yaitu kerentanan, empati, dan kerjasama. Selain ketiga sifat tradisional yang disebutkan diatas, loyalitas, kreativititas, dan orisinalitas juga merupakan perwujudan dari nilai-nilai feminin yang kerap diasosiasikan dengan perempuan. Gerzema dan D’ Antonio membagi bab-bab dalam buku ini berdasarkan negara yang mereka kunjungi untuk keperluan penulisan buku ini diantaranya adalah Inggris, Islandia, Jepang, Kenya, dan lain-lain. Benang merah dari cerita yang diperoleh dari beberapa negara tersebut adalah bagaimana laki-laki maupun perempuan yang jika dalam berbagai aktivitasnya mulai dari membangun perusahaan sampai memerintah sebuah negara akan mencapai kepemimpinan yang jauh lebih efektif, efisien, dan memberikan lebih banyak manfaat kepada masyarakat apabila menerapkan nilai-nilai feminin.

Cerita bermula dari kunjungan Gerzema dan D’ Antonio ke Inggris dan melihat beberapa perusahaan dan organisasi non profit yang bekerja untuk memberdayakan masyarakat dengan menerapkan prinsip kepercayaan, kreativitas  dan orisinalitas serta mencerminkan nilai-nilai feminin. Diantara beberapa perusahaan tersebut adalah Grannies.Inc yang memberdayakan hampir 300 perempuan lansia di Inggris untuk memproduksi berbagai produk rajutan dan memasarkannya secara on-line. Perusahaan ini bukan hanya mengolah kepercayaan para pelanggannya dengan hasil rajutan berkualitas tinggi dari para produsen yang rata-rata merupakan perempuan berusia lebih dari 65 tahun dan menjanda, tetapi juga mendekatkan pemesan dengan produsen secara personal dimana pelanggan dapat menghubungi produsen secara pribadi dan memesan desain eksklusif sesuai dengan kebutuhan pemesan.

Jika di Inggris, nilai-nilai feminin banyak diterapkan dalam mengelola perusahaan, Islandia menerapkan nilai-nilai feminin dalam mengelola negara yang sempat bangkrut akibat krisis ekonomi tahun 2008. Banyak pihak mengatakan bahwa krisis ekonomi tahun 2008 yang berdampak pada jatuhnya nilai krona, mata uang Islandia, dan bangkrutnya dunia perbankan Islandia diakibatkan oleh nilai maskulinitas negatif yang diterapkan oleh para pemimpin Islandia yang mayoritas laki-laki. Salah satu bentuk nilai maskulinitas negatif yang dilakukan oleh banyak pemimpin dan eksekutif laki-laki di Islandia adalah kebiasaan mereka untuk menghambur-hamburkan uang dan membeli mobil-mobil mewah serta berkompetisi untuk menjadi yang paling kaya agar dapat membuktikan kekuasaan dan kekuatan mereka sebagai laki-laki. Mereka juga secara rakus berinvestasi di pasar modal tanpa berpikir lebih jauh mengenai risiko dan kredibilitas perusahaan investasi dimana mereka menanamkan sahamnya. Akhirnya pada tahun 2008, perekonomian Islandia goyah karena banyaknya kredit macet di bank dan investasi yang gagal.

Paska krisis 2008, Johanna Sigurdardottir, terpilih menjadi perdana menteri perempuan pertama di Islandia. Johanna membentuk kabinet dengan mayoritas anggotanya adalah perempuan dan menempatkan banyak perempuan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin perusahaan negera salah satunya Rio Tinto Alcan, perusahaan produsen aluminium yang identik dengan citra sebagai perusahaan tambang yang sangat maskulin. Selain itu dengan dukungan anggota parlemen yang 40% kursinya diduduki oleh perempuan, Johanna membentuk konstitusi baru Islandia yang dalam proses penyusunannya melibatkan kerjasama banyak pihak yang menginginkan kondisi Islandia menjadi lebih baik.

Di Israel, beberapa perempuan menempati jabatan penting di lembaga militer seperti  di Israeli Defense Forces (IDF). Banyak perempuan pula yang ditugaskan di daerah perbatasan yang rawan akan konflik bersenjata. Kemampuan perempuan untuk berkomunikasi secara efektif, menghargai lawan bicara, dan melakukan negosiasi dipercaya mampu menghindarkan kekerasan yang sering terjadi di daerah perbatasan Israel dengan negara-negara tetangganya. Dalam kaitannya dengan kehadiran perempuan sebagai pembawa perdamaian, Shimon Peres, presiden Israel mengatakan:

“Men will not stop warring. Women will not stop pacifying. They know that wars are unhealthy.” (The Athena Doctrine, halaman 102).

Sifat terbuka yang ditunjukkan oleh banyak perempuan dengan sering curhat tentang permasalahan yang dihadapi ternyata merupakan sifat yang menguntungkan bagi kesehatan mental. Banyak laki-laki Jepang, terutama mereka yang gagal dalam pekerjaannya dan gagal memenuhi stereotipe laki-laki Jepang sukses dan kaya yang dikenal dengan sebutan salary man, kemudian mengalami depresi yang berujung pada keputusan untuk bunuh diri. Laki-laki yang gagal cenderung menyembunyikan perasaannya karena dalam budaya Jepang seorang laki-laki tabu untuk curhat dan lebih baik menutupi kegagalannya untuk menjaga wibawanya sebagai laki-laki.

Namun, Yasuhiro Toudou, seorang laki-laki pekerja di Jepang yang merasa frustasi dengan  pekerjaanya di sebuah perusahaan telepon genggam dan mengalami depresi mencoba membicarakan kegagalan dan perasaan yang dialaminya dengan orang lain.  Toudou melawan tradisi yang menganjurkan laki-laki Jepang untuk bungkam dengan permasalahan yang dihadapi demi menjaga harga diri mereka sebagai laki-laki dengan mendirikan U2Plus.jp yang menyediakan informasi dan tempat berinteraksi bagi mereka yang mengalami depresi agar mereka mau membicarakannya dan melawan keinginan untuk bunuh diri.

Di bagian akhir buku ini, Gerzema dan D’ Antonio merangkum nilai-nilai feminin yang dapat diterapkan dalam berbagai hal yang berguna bagi kesuksesan pribadi maupun profesional. Berkaitan dengan manajemen karir, Gerzema dan D’ Antonio menggarisbawahi bahwa keterbukaan terhadap kegagalan yang dialami justru baik untuk kesehatan mental dan membuka kesempatan untuk bereksperimen dan mencoba pengalaman baru. Hal ini sangat berbeda dengan nilai-nilai maskulin tradisional yang selalu mendorong laki-laki untuk menutupi kegagalan demi menjaga kewibaan sebagai laki-laki. Selain manajemen karir, nilai-nilai feminin dapat pula diterapkan dalam bidang kepemimpinan, menciptakan inovasi, dan manajemen perubahan. Akhirnya, lewat buku ini Gerzema dan D’ Antonio berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai feminin menjadi kunci sukses bagi kepemimpinan dunia modern. (Laksmi Amalia)

Oleh: Niken Anggrek Wulan
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

“Dukuh Gedangsari?” | “Yes!”
“Nikah Dini?” | “No!”
“Tanam Pohon Pisang?” | “Nggiiiih....”

Itulah pekik yang dilontarkan oleh Dukuh se-kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, dalam deklarasi yang bertujuan menekan angka pernikahan usia anak di Balai Desa Gedangsari, 4 Maret 2014 lalu. Selain mendeklarasikan Gedangsari Bebas Kasus Nikah Usia Anak tahun 2015, mereka juga berkomitmen mendorong pengantin baru untuk wajib menanam lima pohon pisang. Pisang atau ‘Gedang’ adalah buah yang menjadi ikon Kecamatan Gedangsari.

Penanaman pohon pisang merupakan salah satu terobosan untuk turut menekan angka pernikahan usia anak. Sebab, pernikahan usia anak tidak hanya disebabkan faktor individu, tetapi juga didorong keadaan ekonomi yang kurang mencukupi. Masih saja ada anggapan bahwa menikahkan anak adalah salah satu solusi untuk melepaskan anak dari ketergantungan ekonomi orangtua. Diharapkan dengan menanam pisang, sebuah keluarga mendapatkan tambahan makanan dan pendapatan. Apalagi, ketika pisang diolah menjadi berbagai macam makanan.

“Di Gedangsari terdapat 200 pernikahan tiap tahun,” jelas Camat Gedangsari, M Setyawan Indriyanto SH MSi. Artinya, apabila pengantin menanam 5 pohon pisang, setiap tahunnya terdapat 1.000 pohon pisang baru. “Setelah hasilnya dipetik, pohon pisang akan menumbuhkan tunas baru, sehingga rantai ekonomi untuk menghasilkan pisang terus berjalan,” tambahnya.

Di Kecamatan Gedangsari, kasus pernikahan usia anak mencapai 9 kasus pada 2012; 8 kasus pada 2013; dan sampai dengan Maret 2013 terdapat satu kasus. Menurut Setyawan, sebenarnya tahun ini ada satu warga lagi yang berniat untuk melakukan pernikahan usia anak. “Tapi itu bisa dicegah oleh KUA, (dengan) dinasehati, jangan buru-buru, dan sebagainya,” ujarnya. Cerita itu membuktikan bahwa mekanisme KUA sebagai salah satu elemen yang dapat berperan dalam pencegahan pernikahan usia anak berjalan baik.

Ditanya soal tantangan, menurut Setyawan adalah bagaimana mempertahankan semangat deklarasi. “Ini justru tantangan kita. Jangan hanya gebyarnya saja, tetapi bagaimana pasca-nya,” tutur Camat Gedangsari itu. Diharapkan, semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti KUA, Puskesmas, UPT TK/SD, Penyuluh Pertanian, Kapolsek Gedangsari terus bekerjasama untuk mewujudkan tujuan dari deklarasi tersebut.

Pendapat juga dikemukakan oleh drg Dyah Mayun, Kepala UPT Puskesmas II Gedangsari tentang pentingnya kerjasama semua SKPD untuk mendukung upaya pencegahan pernikahan usia dini. “Kalau ada event, kita bisa bersama-sama. Contohnya, ke sekolah dengan kepolisian, kesehatan, dan pendidikan, bersama-sama memberikan materi pergaulan yang sehat, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Ketika diwawancara, Hj Badingah S.Sos, Bupati Gunung Kidul, sangat mengapresiasi acara ini. “Pemerintah daerah sangat mendukung, memberikan apresiasi, dengan adanya deklarasi bersama ini, yang mana ini akan saya jadikan percontohan untuk kecamatan yang lain,” jelas perempuan kelahiran Gunung Kidul itu. Menurutnya, program ini juga sangat membantu program pemerintah daerah dalam rangka untuk menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan Kabupaten Gunung Kidul.  “Jangan sampai ada anak drop out lagi gara-gara pernikahan anak usia dini,” tambahnya.

Upaya dukuh-dukuh Gedangsari memang patut diapresiasi. Dari inisiatif mereka bukan mimpi visi Gedangsari dapat terwujud, yakni terwujudnya masyarakat Gedangsari semakin taat beragama, rukun, cerdas, sehat, mandiri, dan sejahtera lahir batin, menuju desa makmur, Gunung Kidul makmur.

Foto atas: Setelah deklarasi, para Dukuh Gedangsari mengikuti lomba 'Pecahkan' Masalah Pernikahan Usia Dini. Foto oleh Cahyo Pramono.

Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Meskipun legislasi yang berkaitan dengan hal ini sudah diluncurkan bertahun-tahun yang lalu akan tetapi sampai saat ini keberadaannya belum mampu menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam kerangka kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kekerasan ini sering mengakibatkan kerugian secara fisik, seksual, dan psikologis terhadap perempuan yang mengalaminya dan  kekerasan ini termasuk tindakan, paksaan atau pengekangan sewenang-wenang terhadap kebebasan perempuan yang dapat terjadi di ranah publik maupun privat. Kekerasan yang dilakukan pun tidak hanya sebatas kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan seksual, finansial,  dan emosional.

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 perempuan lebih rentan menderita gangguan jiwa ringan dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti siklus hormonal, persalinan, menopause, dan kondisi sosial yang kerap menempatkan perempuan pada posisi yang merugikannya. Kekerasan terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh orang yang dikenalnya (seperti suami ataupun pacar) maupun orang  asing akan semakin meningkatkan risiko perempuan untuk terkena gangguan jiwa seperti stress,depresi, kecemasan yang berlebihan, dan juga fobia. Bahkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hal ini akan menimbulkan trauma kejiwaan berkepanjangan atau yang lebih dikenal sebagai gangguan stress paska trauma.

Dampaknya pun acap kali tidak hanya berhenti pada perempuan tersebut saja, tetapi juga berdampak pula pada orang-orang di sekelilingnya termasuk anak-anaknya. Menurut sebuah penelitian, seorang ibu yang mengalami KDRT akan cenderung untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya di rumah dan cenderung untuk menelantarkan anak-anaknya. Dalam hal ini, anak-anak dijadikan sebagai pelampiasan beban psikologis ibu mereka.

Namun hal yang patut disayangkan pula adalah seringkali perempuan enggan melaporkan kekerasan yang  dialaminya dan hal ini berdampak pada lambatnya upaya konseling dan pertolongan psikiatri terhadap gangguan kejiwaan yang akan timbul. Mereka pun cenderung membiarkan kekerasan berulang kali terjadi dalam kehidupannya. Semua ini terjadi karena beberapa faktor seperti merasa takut dan malu pada pandangan negatif dari orang-orang disekitarnya, adanya ketergantungan secara ekonomi dengan pasangan hidupnya, merasa pesimis dengan proses hukum yang berbelit,takut akan adanya balas dendam dari orang yang melakukan kekerasan,dan sering tidak ada saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut sehingga perempuan akan sangat mudah dituduh untuk memberikan pengakuan palsu. Semua ini mendorong perempuan untuk tetap diam dan cenderung memilih untuk tidak menuntut orang yang melakukan kekerasan secara hukum.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka kemungkinan besar akan timbul dampak buruk seperti bunuh diri oleh perempuan yang merasa bersalah karena terus dilecehkan maupun pembunuhan oleh pelaku kekerasan terhadap perempuan. Seringkali kita mendengar dan membaca berita bahwa ada banyak perempuan yang dibunuh oleh suami atau pacarnya sendiri bahkan jika  ketika mereka sudah berpisah dan hal ini dibenarkan oleh sebuah studi yang mengatakan bahwa kasus pembunuhan terhadap perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dibandingkan dengan orang asing.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika perempuan yang mengalami kekerasan segera melapor kepada pihak yang berwajib dan segera mencari pertolongan medis serta kejiwaan agar trauma yang terjadi segera terobati. Sudah bukan saatnya lagi menganggap kekerasan terhadap perempuan  berada pada ranah privat yang kebal terhadap hukum, negara harus bertanggung jawab dalam melindungi hak-hak perempuan.

Selasa, 04 Maret 2014 07:10

Siaran Pers

DEKLARASI DUKUH DAN LOMBA PECAHKAN MASALAH NIKAH USIA DINI
Tema “Gedangsari 2015 Bebas Kasus Pernikahan Usia Dini”
 
Pembangunan dan perbaikan masalah-masalah kemasyrakatan menjadi tanggung jawab semua pihak. Dalam hal ini, dukuh memiliki peran dan fungsi strategis baik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan, lebih-lebih kemasyarakatan. Dukuh menjadi wadah curahan masalah pertama bagi masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Salah satu masalah yang kecenderungannya terus membesar dan kompleks adalah kasus pernikahan usia dini yang dapat memicu masalah-masalah kemasyrakatan lainnya di kemudian hari. Hal ini harus dicarikan upaya-upaya pemecahannya dan dilakukan dengan kesungguhan serta kerjasama semua pihak. Mengingat begitu strategisnya kedudukan dukuh dalam hal kemasyarakatan ini, maka perlu ditempuh tekad bersama semua dukuh di Kecamatan Gedangsari untuk upaya memecahkan masalah tersebut, diawali dengan deklarasi bersama “Gedangsari 2015 Bebas Kasus Pernikahan Usia Dini”.

Salah satu masalah yang muncul akibat pernikahan usia dini adalah masalah kesulitan ekonomi. Oleh karena itu pada tahun 2013, di Gedangsari telah dilaksanakan kampanye gemar menanam pohon yang kemudian hasilnya bermanfaat terutama dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Hal tersebut telah tertuang dalam MoU tingkat kecamatan Gedangsari tahun 2013, bahwa setiap pengantin yang menikah di Gedangsari harus menanam pohon. Melalui kegiatan Deklarasi Dukuh ini, hendak mengajak masyarakat berkomitmen bahwa setiap pernikahan di Kecamatan Gedangsari diwajibkan menanam 5 pohon pisang.

Kegiatan deklarasi dukuh yang dilanjutkan dengan lomba pemecahan masalah nikah dini ini akan dilaksanakan pada,
Hari, tanggal : Selasa, 4 Maret 2014
Pukul           : 08.00 - selesai
Tempat       : Pendopo dan halaman Kantor Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul

Acara deklarasi dukuh ini akan dihadiri oleh Bupati Gunungkidul.
Sehubungan dengan acara ini, kami mengundang rekan-rekan wartawan untuk turut hadir serta meliput kegiatan tersebut. Atas perhatian serta kerjasamanya kami sampaikan terima kasih

Susunan Acara:
08.00-09.00   Persiapan dan penerimaan tamu undangan
09.00-09.05   Pembukaan
09.05-09.15   Pembacaan kalam Ilahi
09.15-09.25   Laporan kegiatan dari panitia
09.25-09.35   Ucapan selamat datang camat gedangsari
09.35-09.50   Sambutan Kan Kemenag Kab.Gunungkidul
09.50-10.05   Sambutan Bupati Gunungkidul
10.05-10.20   pembacaan dan penandatanganan Deklarasi
10.20-10.35   Doa dan penutup
10.35-selesai  Lomba Pecahkan Masalah Pernikahan Usia Dini

Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Rifka Annisa mengikuti NGO fair yang diselenggarakan oleh ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies), pada hari Jumat, 28 Februari 2014, bertempat di Gedung Inculs, Ruang D-114, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Acara ini seharusnya berlangsung pada tanggal 14 Februari 2014 lalu, tepat di hari pertama Yogyakarta menaikkan level situasi provinsi menjadi status tanggap darurat hujan abu Kelud.

Meskipun sempat tertunda, hal ini tidak menyurutkan semangat para  anggota LSM untuk turut ambil bagian dalam acara yang bertajuk ”Informasi LSM dan Sukarelawan di Yogyakarta” yang dimulai pukul 10.00 – 12.00 WIB. Hal ini terbukti dengan banyaknya perwakilan LSM yang hadir sejak pukul 09.00 WIB.

Tak hanya itu, antuasiasme peserta yang hadir juga sangat tinggi. Meskipun acara hanya berlangsung selama 2 jam, jumlah peserta yang hadir diperkirakan mencapai 30 orang. Stand Rifka Annisa sendiri disambangi sebanyak 21 pengunjung. Rata-rata dari mereka adalah mahasiswa yang tertarik untuk magang di Rifka Annisa.

”Saya sangat tertarik pada isu di Rifka Annisa ini karena saya akan melakukan penelitian tentang skripsi saya yang berkaitan dengan hal ini”, ujar Tamasin Young, salah satu mahasiswa jurusan hukum di Australia. Sebelumnya, di bulan Februari, Rifka Annisa juga menerima mahasiswa magang asal Australia, Yula Bardo yang sudah melakukan magang selama 1 bulan.

Terselenggaranya NGO Fair ini bertujuan untuk mendorong peserta ACICIS, mahasiswa yang berasal dari 24 perguruan tinggi di Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Belanda, untuk bergabung dan turut berkontribusi di LSM. Sehingga mereka memiliki kegiatan lain di Indonesia selain aktifitas akademik formalnya. Berbagai bantuan yang dapat mereka berikan adalah menerjemahkan, melakukan riset, pengumpulan data, serta mengajar bahasa inggris.

Rifka Annisa pun merasa sangat terbantu dengan adanya NGO Fair ini. Tidak hanya dapat menebarkan berbagai informasi terkait isu-isu gender dan kekerasan kepada para peserta, Rifka Annisa juga mendapat informasi bahwa banyak mahasiswa non Indonesia yang tertarik akan isu-isu tersebut. Sehingga, diharapkan makin banyak mahasiswa ACICIS yang dapat bergabung bersama Rifka Annisa dalam proses magang ataupun kerelawanan.

46773460
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8117
8117
281827
343878
46773460