Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Meskipun legislasi yang berkaitan dengan hal ini sudah diluncurkan bertahun-tahun yang lalu akan tetapi sampai saat ini keberadaannya belum mampu menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam kerangka kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kekerasan ini sering mengakibatkan kerugian secara fisik, seksual, dan psikologis terhadap perempuan yang mengalaminya dan kekerasan ini termasuk tindakan, paksaan atau pengekangan sewenang-wenang terhadap kebebasan perempuan yang dapat terjadi di ranah publik maupun privat. Kekerasan yang dilakukan pun tidak hanya sebatas kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan seksual, finansial, dan emosional.
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 perempuan lebih rentan menderita gangguan jiwa ringan dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti siklus hormonal, persalinan, menopause, dan kondisi sosial yang kerap menempatkan perempuan pada posisi yang merugikannya. Kekerasan terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh orang yang dikenalnya (seperti suami ataupun pacar) maupun orang asing akan semakin meningkatkan risiko perempuan untuk terkena gangguan jiwa seperti stress,depresi, kecemasan yang berlebihan, dan juga fobia. Bahkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hal ini akan menimbulkan trauma kejiwaan berkepanjangan atau yang lebih dikenal sebagai gangguan stress paska trauma.
Dampaknya pun acap kali tidak hanya berhenti pada perempuan tersebut saja, tetapi juga berdampak pula pada orang-orang di sekelilingnya termasuk anak-anaknya. Menurut sebuah penelitian, seorang ibu yang mengalami KDRT akan cenderung untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya di rumah dan cenderung untuk menelantarkan anak-anaknya. Dalam hal ini, anak-anak dijadikan sebagai pelampiasan beban psikologis ibu mereka.
Namun hal yang patut disayangkan pula adalah seringkali perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya dan hal ini berdampak pada lambatnya upaya konseling dan pertolongan psikiatri terhadap gangguan kejiwaan yang akan timbul. Mereka pun cenderung membiarkan kekerasan berulang kali terjadi dalam kehidupannya. Semua ini terjadi karena beberapa faktor seperti merasa takut dan malu pada pandangan negatif dari orang-orang disekitarnya, adanya ketergantungan secara ekonomi dengan pasangan hidupnya, merasa pesimis dengan proses hukum yang berbelit,takut akan adanya balas dendam dari orang yang melakukan kekerasan,dan sering tidak ada saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut sehingga perempuan akan sangat mudah dituduh untuk memberikan pengakuan palsu. Semua ini mendorong perempuan untuk tetap diam dan cenderung memilih untuk tidak menuntut orang yang melakukan kekerasan secara hukum.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka kemungkinan besar akan timbul dampak buruk seperti bunuh diri oleh perempuan yang merasa bersalah karena terus dilecehkan maupun pembunuhan oleh pelaku kekerasan terhadap perempuan. Seringkali kita mendengar dan membaca berita bahwa ada banyak perempuan yang dibunuh oleh suami atau pacarnya sendiri bahkan jika ketika mereka sudah berpisah dan hal ini dibenarkan oleh sebuah studi yang mengatakan bahwa kasus pembunuhan terhadap perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dibandingkan dengan orang asing.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika perempuan yang mengalami kekerasan segera melapor kepada pihak yang berwajib dan segera mencari pertolongan medis serta kejiwaan agar trauma yang terjadi segera terobati. Sudah bukan saatnya lagi menganggap kekerasan terhadap perempuan berada pada ranah privat yang kebal terhadap hukum, negara harus bertanggung jawab dalam melindungi hak-hak perempuan.