Oleh : Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Siang itu (8/6), di tengah ruangan berukuran lima kali sepuluh meter, Nurmawati, salah satu staf divisi pengorganisasian masyarakat dan advokasi Rifka Annisa, berbagi ilmu dengan kelompok ibu di komunitas Bendung, Kecamatan Semin, Gunungkidul. Nurma memberikan materi tentang berbagi peran dalam rumah tangga. Pada diskusi tersebut, peserta dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok membahas tipe-tipe keluarga yang sering ditemui pada masyarakat khususnya Indonesia.

Ada empat tipe keluarga yang dibahas dalam diskusi tersebut. Tipe keluarga suami bekerja istri dirumah, suami dirumah istri bekerja, suami istri bekerja, dan suami istri tidak bekerja. Dalam hal ini, “bekerja” yang dimaksud adalah aktivitas yang menghasilkan uang, sedangkan “dirumah” dimaksudkan untuk pekerjaan yang tidak menghasilkan uang (pekerjaan rumah tangga).

Peserta diberi waktu 15 menit untuk menuliskan daftar aktivitas pembagian peran masing-masing tipe keluarga tersebut. Dari presentasi masing-masing kelompok, terlihat bahwa aktivitas rumah tangga lebih dominan dikerjakan oleh istri, meskipun pada tipe keluarga istri bekerja dan suami di rumah.
Menanggapi hal tersebut, Nurma memaparkan bahwa telah terjadi beban ganda bagi istri (perempuan) yang bekerja dan suami dirumah. Istri yang bekerja diluar rumah, tetap melakukan pekerjaan rumah ketika ia pulang. Padahal, pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang tidak ringan dan tiada habisnya, papar Nurma.

Nurma juga mengeksplorasi penyebab terjadinya beban ganda tersebut. Para ibu dalam diskusi menyebutkan alasan-alasan sehingga istri (perempuan) lebih banyak melakukan pekerjaan rumah. Menurut mereka, pekerjaan rumah lebih banyak dilakukan istri karenakan perempuan telah terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sejak mereka kecil. Berbeda dengan laki-laki yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga.

Salah satu peserta diskusi mengatakan bahwa selain tidak terbiasa, laki-laki juga tidak mendetail seperti perempuan dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Sehingga pekerjaan rumah tangga yang dilakukan tidak selesai dan tidak sesuai harapan. “Malah kalau nyuci itu saya takut bajunya rusak”, ungkap peserta dalam diskusi tersebut.

Merespon pernyataan peserta diskusi, Nurma mengatakan bahwa berbagi peran dalam rumah tangga harus dilandasi dengan saling percaya. “Artinya, kita sebagai istri juga harus percaya kepada bapak-bapak yang melakukan pekerjaan rumah tangga”, ucap Nurma. Ia juga mengatakan bahwa terkadang bapak sudah mulai berusaha mengerjakan pekerjaan rumah tangga untuk meringankan beban istri, tetapi karena istri tidak percaya dan tidak mengapresiasi, maka usaha dan niat tersebut akhirnya diurungkan.

Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

“Pendamping sebaya YES, Kekerasan dan Pernikahan Dini, NO. Remaja Gunung Kidul, bertaqwa, berprestasi, bermanfaat”, seru semua siswa-siswi sekolah menengah pertama dan atas wilayah Wonosari di Aula Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunung Kidul, Yogyakarta pada hari Kamis lalu (19/6). Kalimat-kalimat tersebut menjadi slogan yang mengiringi acara pengukuhan 85 siswa-siswi perwakilan setiap sekolah di wilayah Wonosari. Mereka dikukuhkan sebagai pendamping sebaya sekaligus perwakilan kader tiap sekolah untuk memerangi kekerasan dan pernikahan dini.

Acara tersebut merupakan puncak rangkaian acara saresehan pemuda bertajuk “Akibat Pergaulan Bebas dan Maraknya Pernikahan Dini” yang diselenggarakan oleh Disdikpora Gunung Kidul. Pada acara tersebut, Disdikpora mengundang Rifka Annisa yang diwakili oleh Defirentia One dan Pengadilan Agama Wonosari yang diwakili oleh Dr. Endang Hartati.

Siswa-siswi peserta sangat antusias mengikuti seluruh rangkaian acara, termasuk dalam sesi diskusi tanya-jawab. Muhammad, salah satu siswa asal SMK 3 Wonosari, mengajukan pertanyaan yang sangat menarik kepada narasumber, “Pada saat terjadi pelecehan seksual, apakah pihak laki-laki yang paling bersalah? Padahal terkadang wanita yang memancing nafsu laki-laki, seperti membuka auratnya.”

One pun memberikan tanggapan bahwa nafsu apapun, seperti marah dan seksual dapat dikontrol oleh manusia. “Kita punya pikiran, ya kita yang mengontrol. Kalau memang kalian tahu kalian tergoda karena ada yang memakai rok mini, ya jangan kalian lihat”, ungkap One. Berdasarkan data kasus yang ditangani Rifka Annisa, korban pelecehan seksual tidak hanya yang menggunakan pakaian mini tetapi juga perempuan yang menggunakan pakaian tertutup.

Banyak sekali peserta yang ingin mengajukan pertanyaan, hanya saja waktu tersedia terbatas sehingga ada yang merasa kecewa. Akan tetapi, acara saresehan tersebut telah memberikan dampak dan manfaat positif pada peserta yang hadir, termasuk pengetahuan dan informasi baru terkait kekerasan dalam pacaran dan pernikahan dini. Terlebih, cara dan kiat menjadi pendamping sebaya di kalangan remaja. Diharapkan, acara serupa dapat terselenggara kembali dengan tema yang lebih spesifik terkait gender dan kekerasan di kalangan remaja. Dengan demikian, para remaja mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang sangat berguna.

Kamis, 26 Jun 2014 06:45

Ikhlas, Melepas, dan Menerima

Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Rabu (28/5), 80 peserta hadir dalam acara preview “Psychospiritual Integrated Healing and Self Development” bertempat di Ruang G100, fakultas psikologi UGM. Acara berlangsung sejak pukul 18.30 WIB hingga 22.30 WIB dan difasilitatori oleh Kwartini Yuniarti, Prof.Ph.D.

Seluruh peserta diajak untuk membuka hati dengan cara ikhlas, melepas, dan menerima. “Sesuatu yang ringan jika tidak dilepaskan akan terasa berat”, kata Kwartini. Dia mengandaikan beban itu dengan meminta salah satu peserta untuk mengangkat sebuah gelas aqua, tas ransel, dan berbagai macam barang dalam waktu bersamaaan. Ini sama halnya ketika manusia harus memikirkan segala sesuatu dalam waktu yang bersamaan.

Dari sinilah, Kwartini mengajak peserta untuk mulai melepas segala sesuatu yang menjadi beban pikirannya. Kwartini juga menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan setengah hati, artinya ketika menyelesaikan suatu pekerjaan, manusia cenderung tidak fokus dan berpikir mengenai suatu hal yang lain. Pekerjaan tersebut tidak akan terselesaikan dengan baik.“Jika mengerjakan sesuatu tidak dengan seluruh hati, seluruh tubuh atau energi terkurangi karena berbeda arah,” ungkapnya.

Dalam acara tersebut, Kwartini juga mengajarkan salah satu cara untuk menghilangkan stress dengan teknis pernapasan perut. Peserta diajak untuk mencari zona ternyaman dalam pikirannya sambil terus bernapas melalui teknik pernapasan perut. Meskipun acara tersebut hanya preview, tetapi para peserta mendapatkan pemahaman dan pengetahuan bahwa solusi untuk menghilangkan stress ada pada diri setiap individu.

Oleh: Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

“Adakah disini yang tidak pernah marah?”, begitu tanya fasilitator Rifka Annisa, Muhammad Thonthowy saat membuka diskusi komunitas ayah di Desa Kemejing, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Diskusi tersebut dilaksanakan pada Jumat, 6 Juni 2014 dengan jumlah peserta 12 orang. Saat menjawab pertayaan Thonthowy diawal diskusi, peserta serentak mengatakan bahwa semua orang pasti pernah merasakan marah.

“Setiap orang pernah merasakan marah, dan itu adalah hal yang wajar. Yang perlu diperhatikan bagaimana membedakan marah sebagai perasaan dan marah sebagai tindakan”, ungkap Thonthowy. Marah sebagai perasaan adalah sesuatu yang wajar, namun menjadi tidak wajar ketika ekspresi marah tersebut diwujudkan dalam tindakan yang tidak tepat seperti memukul, berkata kasar atau memaki, lanjut Thonthowy.

Tak hanya Thonthowy yang berbicara. Ipan, salah satu peserta dalam diskusi tersebut terlibat aktif memberikan komentar dan tanggapan. Ia mengatakan bahwa marah mempunyai ekspresi berbeda bagi setiap orang. Ia pribadi seringkali memilih untuk pergi ketika sedang merasa marah, terutama marah kepada pasangan (istri) ungkapnya.

Thonthowy juga memaparkan bahwa sebisa mungkin perasaan marah diluapkan dalam bentuk tindakan yang positif atau tidak merugikan orang lain. Thonthowy menjelaskan bahwa perasaan marah yang diekspresikan dengan cara negatif akan berdampak pada hal lain seperti tidak harmonisnya keluarga.        
 

Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Minggu (4/5), Rifka Annisa mengadakan outbound keluarga bersama kelompok ayah dan ibu komunitas Mertelu dan Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul. Sebanyak 70 peserta mengikuti kelas outdoor keluarga di Pantai Sundak. Acara berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 14.00 WIB.

“Acara ini merupakan bagian dari diskusi rutin yang diadakan setiap bulan, alasan diadakan outbound ini supaya mereka tidak bosan”, ujar Ani Rufaida, selaku Organisator Komunitas Kecamatan Gedangsari. Selain itu, Rufaida menambahkan bahwa tujuan diadakan acara outbound ini untuk memperdalam materi disesi berbagi peran yang dilakukan melalui permainan bersama dengan pasangan.

Tidak hanya para ayah dan ibu yang merasakan kegembiraan, anak-anak mereka pun merasa senang. Pada acara tersebut anak-anak mengikuti lomba mewarnai dan juga berbagai permainan untuk anak-anak. 

Diakhir acara outbound, setiap keluarga diberikan kesempatan selama dua jam untuk menikmati kebersamaan bersama keluarga di pantai Sundak. Peserta merasa senang karena mereka jarang berlibur bersama keluarga. Acara ini menjadi ajang untuk meluapkan kegembiraan mereka. Outbound ini juga merupakan salah satu cara monitoring untuk melihat dinamika peserta dalam keluarga. Seberapa jauh mereka mengaplikasikan materi yang sudah pernah didiskusikan dalam kehidupan keluarga masing-masing.

46409707
Today
This Week
This Month
Last Month
All
15193
83515
261952
306641
46409707