Oleh: Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
“Adakah disini yang tidak pernah marah?”, begitu tanya fasilitator Rifka Annisa, Muhammad Thonthowy saat membuka diskusi komunitas ayah di Desa Kemejing, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Diskusi tersebut dilaksanakan pada Jumat, 6 Juni 2014 dengan jumlah peserta 12 orang. Saat menjawab pertayaan Thonthowy diawal diskusi, peserta serentak mengatakan bahwa semua orang pasti pernah merasakan marah.
“Setiap orang pernah merasakan marah, dan itu adalah hal yang wajar. Yang perlu diperhatikan bagaimana membedakan marah sebagai perasaan dan marah sebagai tindakan”, ungkap Thonthowy. Marah sebagai perasaan adalah sesuatu yang wajar, namun menjadi tidak wajar ketika ekspresi marah tersebut diwujudkan dalam tindakan yang tidak tepat seperti memukul, berkata kasar atau memaki, lanjut Thonthowy.
Tak hanya Thonthowy yang berbicara. Ipan, salah satu peserta dalam diskusi tersebut terlibat aktif memberikan komentar dan tanggapan. Ia mengatakan bahwa marah mempunyai ekspresi berbeda bagi setiap orang. Ia pribadi seringkali memilih untuk pergi ketika sedang merasa marah, terutama marah kepada pasangan (istri) ungkapnya.
Thonthowy juga memaparkan bahwa sebisa mungkin perasaan marah diluapkan dalam bentuk tindakan yang positif atau tidak merugikan orang lain. Thonthowy menjelaskan bahwa perasaan marah yang diekspresikan dengan cara negatif akan berdampak pada hal lain seperti tidak harmonisnya keluarga.