Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Seratus tiga puluh lima tahun silam di Jepara, Jawa Tengah, lahirlah seorang perempuan yang diberi nama Raden Ajeng Kartini. Tanggal kelahirannya, yakni 21 April menjadi momentum emansipasi terhadap kaum perempuan. Pendidikan menjadi poros utama yang diperjuangkan Kartini di eranya, di mana waktu itu perempuan tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku pendidikan. Lalu bagaimana dengan perjuangan perempuan masa kini, terlebih para remaja?
Kini, peringatan hari perjuangan perempuan Indonesia dirayakan dalam balutan berbagai kegiatan dan perlombaan. Secara umum, hal-hal tersebut selalu saja sama dari tahun ke tahun, yakni dengan penggunaan kebaya dan lomba memasak di sekolah-sekolah. Keidentikan peringatan Kartini tersebut patut dicermati kembali, di mana kegiatan-kegiatan tersebut masih mencerminkan penggambaran perempuan dalam budaya partriarkal.
Perempuan masih diidentikkan dengan pakaiannya (penggunaan kebaya) dan tugasnya di dapur (lomba memasak). Sejak dini melalui sekolah dan lingkungan, perempuan masih ditanamkan pada kodratnya yang hanya memiliki batas bekerja di sumur dan dapur. Surat-surat indah Kartini yang ditujukan pada koleganya di Eropa yang dibukukan dan diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” atau dalam bahasa Indonesia, “Habis Gelap Terbitlah Terang” pun sudah mulai terlupakan.
Menelaah kembali perjuangan Kartini yang berporos pada pendidikan, lomba membaca surat Kartini dan menulis dapat menjadi kegiatan yang sejalan dengan makna perjuangan Kartini, terlebih melalui pelibatan remaja. Di tengah budaya membaca dan menulis yang kepopuleran dan minat di lingkup remaja yang semakin menurun, kegiatan ini dapat menjadi ajang implementasi perjuangan Kartini muda masa kini.