Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Sebuah cerita, YS adalah seorang perempuan berusia 19 tahun yang sedang gundah gulana setelah melihat hasil positif di tes kehamilannya. Dia sudah menyadari ada keanehan tubuhnya, menduga dirinya hamil dan hal itu terbukti. Akhirnya, YS melapor ke pacarnya jika dia sedang mengandung , AB pacarnya, terkejut tak percaya. AB berkata dia tidak siap menjadi ayah lantaran mereka masih kuliah, kebutuhan finansial saja masih ditanggung orangtua, lagipula dia masih terlalu muda untuk menjadi ayah. YS menjadi ragu, dia juga takut dan malu, takut membayangkan reaksi orangtuanya dan orang lain jika tahu dia hamil. Orang-orang akan menganggapnya bukan perempuan baik-baik.
AB kemudian berjanji bertanggung jawab, YS mempercayainya, namun selama seminggu AB menghilang. YS panik dan stress, dia berusaha menghilangkan janin di perutnya dengan cara meminum teh pelangsing, soda dan nanas muda yang dipercaya dapat mengugurkan kandungan. Seminggu kemudian AB datang, dia memberikan tawaran untuk melakukan aborsi, awalnya YS menolak namun bujukan AB membuatnya luluh. Lewat iklan telat haid yang ditempel di lampu merah, dia mengetahui praktek aborsi. YS dan AB mengira masalah sudah selesai, meski YS harus merasakan sakit luar biasa setelah aborsi. Waktu semakin berlalu tak terasa sudah 6 bulan dan YS tetap tak bisa melupakan kejadian aborsi itu. Semenjak aborsi yang dia lakukan, sifatnya menjadi berubah, dia mendadak pendiam, tertutup dan menjauhkan diri dari orang lain. YS mengalami insomnia, dia sulit tidur meski tubuhnya membutuhkan istirahat. Setiap malam dia selalu bermimpi tentang bayi yang mengejarnya, mimpi itu berlanjut setiap dia tertidur.
Mimpi buruk bertema bayi yang dialami YS merupakan salah satu dari Post Abortion Syndrom (PAS) atau sindrom paska aborsi,. PAS juga merupakan bagian dari post traumatic syndrom disorder. Psychological Reaction Reported After Abortion pada (1994) mencatat gejala-gejala sindrom paska aborsi sebagai berikut :
1. Kehilangan harga diri (82%)
2. Berteriak-teriak histeris (51%)
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
4. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
5. Mencoba menggunakan obat-obatan terlarang (41%)
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)
Kenapa mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi bisa terjadi? Berdasarkan teori psikoanalisa, mimpi adalah pesan alam bawah sadar yang abstrak berisi keinginan, ketakutan, dorongan dan berbagai aktivitas emosi baik disadari ataupun tidak disadari. Psikoanalisa mempercayai bahwa manusia sebenarnya dikendalikan oleh alam bawah sadar mereka. Konsep kepribadian manusia bagaikan gunung es, alam bawah sadar mengendalikan manusia sebanyak 88%, sedangkan kesadaran kita sendiri hanya bisa mengendalikan sebanyak 12%. Mimpi dapat dikatakan sebagai pesan dari alam bawah sadar atau permasalahn terpendam baik berupa hasrat, ketakutan dan kekhawatiran yang belum terselesaikan. Semakin seseorang berusaha untuk menekan dorongan alam bawah sadarnya semakin kuat dorongan itu muncul di kesadaran.
Aborsi atau abortus provocatus yang berasal dari bahasa Latin, didefiniskan sebagai mengugurkan kandungan; penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dalam rahim. Budaya dan agama serta norma masyarakat melarang kehamilan di luar nikah, alasan melakukan aborsi tidak terlepas dari rasa malu dan ketakutan karena melanggar moral dan norma. Melakukan aborsi sebagai solusi terhadap kehamilan diluar nikah bukan solusi yang tepat. Selain risiko psikologis kedepannya, risiko fisik dan kematian juga mengikuti. Hukum Indonesia melarang adanya aborsi terkecuali ketika berhubungan dengan kesehatan dan kehamilan disebabkan perkosaan.
Dalam budaya dan norma di Indonesia, kehamilan di luar nikah memang hal yang memalukan. Tidak sedikit orang-orang yang hamil di luar nikah terpaksa menikah dini akibat kehamilan tersebut, sebagian lagi melakukan aborsi. Konsep diri seseorang yang telah melakukan aborsi akan berubah, hal inilah yang menyebabkan dia merasa kehilangan harga diri. Menurut Thresa Burke, konselor Racher Vicbeyard Ministries menyebutkan aborsi telah menyentuh tiga isu utama dalam konsep diri wanita yaitu: seksualitas; moralitas; identitas keibuan.
UU no. 36 tahun 2009 pasal 346 menyebutkan “ Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Sementara Pasal 347 pasal 1 dan 2 menyebutkan : Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun; jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Hukum menjatuhkan pidana pada pelaku aborsi yaitu perempuan yang sengaja mengugurkan dan orang yang melakukan aborsi, jika pelaksana aborsi itu adalah dokter, bidan, atau juru obat, hukumannya akan ditambahkan. Hukum tersebut tidak menyentuh hukuman pada orang yang memberikan keputusan aborsi pada si perempuan atau lelaki (ayah biologis) yang memaksakan aborsi . Padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan Elliot Institutes tahun 2005 menyebutkan bahwa 95% laki-laki memegang peran utama dalam keputusan aborsi, 80% wanita ingin melahirkan jika didukung. Hukum UU aborsi memang tidak melihat faktor psikologis wanita yang melakukan aborsi.
Pengetahuan akan risiko aborsi dan pendidikan seks di Indonesia masih tergolong rendah, hal tersebut dikarenakan masalah mengenai seks adalah hal tabu. Padahal pendidikan seks tidak membicarakan seks sesempit itu. Sarlito (2011) menjelaskan pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan, sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan. Sosialisasi pendidikan seks terhadap remaja dan anak-anak haruslah dilakukan sesuai dengan kebudayaan dan norma masyarakat Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencegah kehamilan dini dan aborsi.
Refrensi:
Edmonson, S. 1990. American Association of Pro-Life Pediatricians. California: Summer
Sarlito, S. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press
Walgito, B. 2006. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Press