Senin, 24 Maret 2014 07:40

Merdeka dulu, baru Feminis

Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Merdeka! Kata-kata inilah yang menggema di aula kantor Rifka Annisa selama dua hari, terhitung sejak 17 Maret 2014. Terdapat 20 peserta yang termasuk staff dan relawan Rifka Annisa mengikuti pelatihan feminisme gelombang II yang difasilitatori oleh Bu Nunuk. Pelatihan digelar dengan tujuan untuk memperkuat pondasi para staff dan relawan Rifka Annisa dalam menjalankan tugasnya memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Jiwa kita feminis itu kalau kita sudah merdeka terhadap diri sendiri,” kata Bu Nunuk. Beliau menjelaskan pula bahwa merdeka pada diri sendiri berarti manusia tidak bergantung pada orang lain. Terlebih, feminisme yang dimaksud adalah melihat segala suatu permasalahan tidak hanya dari akibat. Akan tetapi, melihat permasalahan sebagai akibat dan meneliti segala penyebab munculnya permasalahan. Hal inilah yang membedakan antara analisa feminisme dan gender. Analisa feminisme lebih mempertajam dan menggali segala sebab hingga ke akar. Keholistikan inilah yang menjadikan analisa feminisme lebih kuat daripada analisa gender.

Melalui pelatihan ini, peserta mulai merefleksikan kembali apakah jiwa feminisme sudah melekat pada diri mereka masing-masing. Pembelajaran melalui metode role play dan analisis personal yang diterapkan Bu Nunuk dalam pelatihan merupakan cara tepat untuk mengimplementasikan dan mengaplikasikan nilai-nilai feminisme.

“Saya jadi merasa seperti mendapat terapi shock, apakah saya sudah feminis atau belum”, tutur Nurma, peserta pelatihan feminisme. Walaupun sudah dilaksanakan selama 2 hari, pelatihan masih belum dapat mengakomodasi semua keingintahuan peserta akan feminisme. Oleh sebab itu, adanya follow-up menjadi titik kunci agar nilai-nilai yang sudah tertanam selama 2 hari tidak begitu saja hilang.

By : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Jumat (14/3), pukul 09.00 WIB, tujuh mahasiswa ACICIS (asosiasi mahasiswa Australia yang sedang menempuh pendidikan di berbagai universitas di Indonesia) bertandang ke Rifka Annisa. Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian seminar pada program DSIP (Development Studies Immersion Program). Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui tentang Rifka Annisa dan kegiatan-kegiatannya di masyarakat sebagai bekal untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah Bantul dan Gunung Kidul.

Ketertarikan ketujuh mahasiswa pada isu yang dibawa oleh Rifka Annisa pun sangat tinggi. “Saya merasa perempuan di daerah terpencil sangat kesusahan dalam mendapatkan informasi mengenai hukum khususnya yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, hal inilah yang terjadi di Australia”, ungkap Anya.

Teman-teman Rifka Annisa berpendapat bahwa hal yang diungkap oleh Anya, tidak hanya terjadi di Australia, di Indonesia juga masih terjadi. Akan tetapi, hal ini dapat dibantu dengan cara membentuk dan mendampingi komunitas-komunitas di daerah terpencil. Melalui komunitas itulah, masyarakat diberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Tidak hanya pengetahuan, tetapi juga konseling.

Pada akhir kunjungan, ketujuh mahasiswa diajak berkeliling Kantor Rifka Annisa. Dilanjutkan dengan sesi foto bersama dengan menggunakan alat-alat yang digunakan untuk kampanye yang terbuat dari kardus bertuliskan ‘Lelaki sejati anti kekerasan’, ‘Stop kekerasan terhadap perempuan’, dan ‘Ketika ada kekerasan bicaralah’. Terakhir, adanya penyerahan kenang-kenangan dari Rifka Annisa pada ACICIS dan juga dari ACICIS pada Rifka Annisa. Diharapkan melalui program kunjungan ini, apabila mahasiswa ACICIS mendapatkan kesulitan dalam melaksanakan KKN, Rifka Annisa dapat membantu sebagai pembicara atau pendamping dalam program mereka.

Oleh : Niken Anggrek Wulan
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Terdengar suara riuh di ruang D2 di SMK 1 Gedangsari, Gunungkidul. Pagi itu, Dewi Julianti, fasilitator Rifka Goes to School tengah bertanya pada murid, apakah ada yang mulai menyukai lawan jenis. Ada yang malu-malu, tetapi banyak yang kemudian tak sungkan menyampaikan pendapatnya. Rifka Goes to School (RGTS) merupakan acara sosialisasi ke sekolah yang diadakan oleh Rifka Annisa, terkait dengan isu-isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Fasilitator yang akrab disapa Ulie itu menjelaskan bahwa menyukai lawan jenis merupakan hal wajar ketika mereka beranjak remaja. “Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai ketika itu, termasuk ketika menjalin relasi dengan lawan jenis,” jelasnya. Murid-murid dari kelas X jurusan pemasaran itu kemudian diajak berdiskusi lebih lanjut tentang risiko menjalin pacaran yang tidak sehat. Ada berbagai tipe-tipe kekerasan dalam pacaran, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, sosial, dan ekonomi. Murid yang aktif menimpali apa yang dipaparkan oleh fasilitator membuat RGTS siang itu meriah.   

RGTS yang diadakan pada 7 Maret 2014 lalu itu juga lebih meriah karena ada tamu dari Jerman, Christiane Schulte dan Yuni Kurniyatiningsih, dari AWO Internasional. Seusai acara, para murid meminta Christiane untuk berfoto bersama. Seusai berkunjung ke SMK 1 Gedangsari, tim dari Rifka Annisa dan AWO Internasional bersilaturahmi ke Dukuh Ngalang, Kecamatan Gedangsari. Sesampainya di rumah Dukuh, Christiane yang menjabat koordinator kerjasama pembangunan dari AWO Internasional itu bertanya soal apa saja kegiatan yang dilakukan warga Dukuh Ngalang, termasuk kegiatan dengan Rifka Annisa.

Dukuh Ngalang, Siswanto, dengan ramah bercerita soal perubahan-perubahan yang terjadi     setelah Rifka Annisa mengadakan kelas ayah di dukuh-nya. “Kalau dulu (saya) nyuci malu, sekarang enggak lagi. Dulu tahunya ya itu pekerjaan perempuan saja,” ungkapnya. Ia bercerita bahwa cara pandang para peserta terhadap pembagian peran di dalam keluarga mulai berubah. Mereka lebih perhatian terhadap istri, terutama dalam menjalankan peran-peran dalam rumah tangga.

Jumat, 14 Maret 2014 15:20

Peduli bukan Mengasihani

Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.Mungkin kawan-kawan pernah melihat seseorang menaiki kursi rodanya. Mungkin juga pernah melihat gadis cantik bermata indah, ketika diajak bicara dia diam saja, namun ketika mulutnya terbuka yang terdengar adalah suara gagu yang tak jelas sambil kedua tangannya bergerak-gerak. Bisa jadi kawan pernah menemui seseorang dengan kaki palsu kemudian dibantu oleh tongkat untuk berjalan. Apa yang terlintas dibenak pikiran teman-teman?

Sebagian orang mengatakan kasihan hanya bisa menatap lewat tatapan iba. Sebagian lagi ada yang mengernyitkan alis melihat sesorang yang tuna wicara atau tuna rungu mati-matian menjelaskan maksud pikirannya lewat gerakan tangan dan bibir. Mereka bukan orang cacat seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat awam, bukan juga seseorang dengan penyakit berbahaya sehingga patut dihindari. Mereka adalah orang-orang difabel.

Different ability adalah sebutan untuk seseorang dengan keadaan fisik atau biologis berbeda dengan manusia pada umumnya. Penyebab seseorang menjadi difabel bermacam-macam, bisa karena faktor keturunan, kelahiran, psikologis atau kecelakaan. Memang orang-orang dengan difabel memiliki keterbatasan fisik dibanding orang biasa, namun bukan berarti mereka tidak mampu melakukan apa yang bisa dilakukan orang normal lainnya.

Kesalahpahaman masyarakat mengenai kaum difabel, memandang mereka sebagai orang-orang cacat yang patut dikasihani harus kita rekontruksi ulang. Pendidikan di Indonesia tidak sepenuhnya memihak orang dengan difabel, meski beberapa pemerhati pendidikan sudah mengebor-gebor pendidikan inklusi. Tetap saja lapangan berkata lain, para murid dengan difabel sering mengalami diskriminasi oleh orang-orang sekitarnya.  

UU 1945 pasal 28 C (1) menyebutkan “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan  kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Berdasarkan UU tersebut seharusnya orang dengan difabel juga bisa mendapatkan pemenuhan pendidikan yang sesuai untuknya. Tak ada korelasi antara kemampuan kognitif dengan keterbatasan fisik, banyak para difabel yang berhasil menunjukkan eksistensi kemampuannya yang tak kalah dibanding orang dengan fisik yang baik.

Gedung-gedung intansi pendidikan atau gedung-gedung umum kecuali rumah sakit, bandara memang tidak ramah untuk kaum difabel. Sebagai contoh, tidak semua gedung umum mempunyai tangga darurat atau lift khusus difabel. Tidak hanya gedung, jalanan di Indonesia memang didesain tidak ramah untuk pejalan kaki atau sepeda. Trotoar-trotoar jalanan kita sudah dipakai setengahnya untuk pedagang kaki lima mencari rezeki. Transportasi umum massal juga tidak memperhatikan kondisi tempat duduk kaum difabel.  

Siapapun tidak menginginkan dirinya mengalami perbedaan dengan individu lainnya, apalagi perbedaan itu membuatnya tidak memiliki kemampuan yang sama dengan individu seharusnya. Mulai sekarang ayo kita peduli dengan kaum difabel, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak, layanan kesehatan dan akses jalan yang baik. Mereka juga punya potensi untuk mengembangkan kemampuanya. Berhentilah mengkasihani dengan tatapan iba atau menertawakan kaum difabel, kita harus mulai peduli bukan mengasihani.    

Oleh : Ratnasari Nugraheni

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.Setelah sukses mengadakan pelatihan pendampingan teman sebaya November tahun lalu, Rifka Annisa kembali mengadakan Youth Camp pada 6-9 Maret, di Hotel Pop Yogyakarta. Program dibawah naungan United Nation Trust Fund (UNTF) masih mengusung tema serupa dengan tahun lalu, “Sebarkan Cinta, Jauhi Kekerasan”.

Peserta yang mengikuti Youth Camp sebanyak 21 remaja, adalah 10 remaja laki-laki dan 11 remaja perempuan. Mereka berasal dari berbagai kota besar di Indonesia, yakni Aceh, Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar. Masing-masing mewakili organisasi Mitra Rifka Annisa: KKTGA, LBH APIK, dan LBHP2I.

Para peserta remaja sangat antusias dalam mengikuti setiap sesi di Youth Camp. Dimulai dari pembahasan mengenai stereotype hingga gerakan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Tindakan nyata para aktivis muda ditunjukkan melalui keterlibatan mereka dalam aksi damai bersama dengan Link AP pada peringatan IWD yang jatuh pada tanggal 8 Maret di lingkar Tugu Yogyakarta.

“Saya sangat senang dengan adanya Youth Camp ini, saya berharap kegiatan ini tidak hanya berhenti sampai di sini, diperlukan adanya follow-up kembali”, komentar salah satu peserta Youth Camp asal Aceh. Peserta asal Yogyakarta pun ikut menambahkan, “Melalui Youth Camp, saya mengenal apa itu gender, dan saya berharap saya bisa menjadi membantu menyebarkan informasi dan ilmu di sini kepada teman-teman saya nanti.”

Jangkauan LSM dalam mengakomodasi para korban terkendala dengan sedikit sumber daya manusia yang ada. Dan hal ini berbanding terbalik dengan semakin merangkaknya kasus kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itulah, Youth Camp digunakan sebagai sarana untuk melibatkan remaja dalam memerangi kekerasan dalam lingkup generasinya.

46777963
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1285
12620
286330
343878
46777963