Peduli bukan Mengasihani

Written by  Jumat, 14 Maret 2014 15:20

Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.Mungkin kawan-kawan pernah melihat seseorang menaiki kursi rodanya. Mungkin juga pernah melihat gadis cantik bermata indah, ketika diajak bicara dia diam saja, namun ketika mulutnya terbuka yang terdengar adalah suara gagu yang tak jelas sambil kedua tangannya bergerak-gerak. Bisa jadi kawan pernah menemui seseorang dengan kaki palsu kemudian dibantu oleh tongkat untuk berjalan. Apa yang terlintas dibenak pikiran teman-teman?

Sebagian orang mengatakan kasihan hanya bisa menatap lewat tatapan iba. Sebagian lagi ada yang mengernyitkan alis melihat sesorang yang tuna wicara atau tuna rungu mati-matian menjelaskan maksud pikirannya lewat gerakan tangan dan bibir. Mereka bukan orang cacat seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat awam, bukan juga seseorang dengan penyakit berbahaya sehingga patut dihindari. Mereka adalah orang-orang difabel.

Different ability adalah sebutan untuk seseorang dengan keadaan fisik atau biologis berbeda dengan manusia pada umumnya. Penyebab seseorang menjadi difabel bermacam-macam, bisa karena faktor keturunan, kelahiran, psikologis atau kecelakaan. Memang orang-orang dengan difabel memiliki keterbatasan fisik dibanding orang biasa, namun bukan berarti mereka tidak mampu melakukan apa yang bisa dilakukan orang normal lainnya.

Kesalahpahaman masyarakat mengenai kaum difabel, memandang mereka sebagai orang-orang cacat yang patut dikasihani harus kita rekontruksi ulang. Pendidikan di Indonesia tidak sepenuhnya memihak orang dengan difabel, meski beberapa pemerhati pendidikan sudah mengebor-gebor pendidikan inklusi. Tetap saja lapangan berkata lain, para murid dengan difabel sering mengalami diskriminasi oleh orang-orang sekitarnya.  

UU 1945 pasal 28 C (1) menyebutkan “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan  kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Berdasarkan UU tersebut seharusnya orang dengan difabel juga bisa mendapatkan pemenuhan pendidikan yang sesuai untuknya. Tak ada korelasi antara kemampuan kognitif dengan keterbatasan fisik, banyak para difabel yang berhasil menunjukkan eksistensi kemampuannya yang tak kalah dibanding orang dengan fisik yang baik.

Gedung-gedung intansi pendidikan atau gedung-gedung umum kecuali rumah sakit, bandara memang tidak ramah untuk kaum difabel. Sebagai contoh, tidak semua gedung umum mempunyai tangga darurat atau lift khusus difabel. Tidak hanya gedung, jalanan di Indonesia memang didesain tidak ramah untuk pejalan kaki atau sepeda. Trotoar-trotoar jalanan kita sudah dipakai setengahnya untuk pedagang kaki lima mencari rezeki. Transportasi umum massal juga tidak memperhatikan kondisi tempat duduk kaum difabel.  

Siapapun tidak menginginkan dirinya mengalami perbedaan dengan individu lainnya, apalagi perbedaan itu membuatnya tidak memiliki kemampuan yang sama dengan individu seharusnya. Mulai sekarang ayo kita peduli dengan kaum difabel, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak, layanan kesehatan dan akses jalan yang baik. Mereka juga punya potensi untuk mengembangkan kemampuanya. Berhentilah mengkasihani dengan tatapan iba atau menertawakan kaum difabel, kita harus mulai peduli bukan mengasihani.    

Read 1986 times
44076277
Today
This Week
This Month
Last Month
All
232
37558
140398
276576
44076277