Oleh: Niken Anggrek Wulan
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

“Dukuh Gedangsari?” | “Yes!”
“Nikah Dini?” | “No!”
“Tanam Pohon Pisang?” | “Nggiiiih....”

Itulah pekik yang dilontarkan oleh Dukuh se-kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, dalam deklarasi yang bertujuan menekan angka pernikahan usia anak di Balai Desa Gedangsari, 4 Maret 2014 lalu. Selain mendeklarasikan Gedangsari Bebas Kasus Nikah Usia Anak tahun 2015, mereka juga berkomitmen mendorong pengantin baru untuk wajib menanam lima pohon pisang. Pisang atau ‘Gedang’ adalah buah yang menjadi ikon Kecamatan Gedangsari.

Penanaman pohon pisang merupakan salah satu terobosan untuk turut menekan angka pernikahan usia anak. Sebab, pernikahan usia anak tidak hanya disebabkan faktor individu, tetapi juga didorong keadaan ekonomi yang kurang mencukupi. Masih saja ada anggapan bahwa menikahkan anak adalah salah satu solusi untuk melepaskan anak dari ketergantungan ekonomi orangtua. Diharapkan dengan menanam pisang, sebuah keluarga mendapatkan tambahan makanan dan pendapatan. Apalagi, ketika pisang diolah menjadi berbagai macam makanan.

“Di Gedangsari terdapat 200 pernikahan tiap tahun,” jelas Camat Gedangsari, M Setyawan Indriyanto SH MSi. Artinya, apabila pengantin menanam 5 pohon pisang, setiap tahunnya terdapat 1.000 pohon pisang baru. “Setelah hasilnya dipetik, pohon pisang akan menumbuhkan tunas baru, sehingga rantai ekonomi untuk menghasilkan pisang terus berjalan,” tambahnya.

Di Kecamatan Gedangsari, kasus pernikahan usia anak mencapai 9 kasus pada 2012; 8 kasus pada 2013; dan sampai dengan Maret 2013 terdapat satu kasus. Menurut Setyawan, sebenarnya tahun ini ada satu warga lagi yang berniat untuk melakukan pernikahan usia anak. “Tapi itu bisa dicegah oleh KUA, (dengan) dinasehati, jangan buru-buru, dan sebagainya,” ujarnya. Cerita itu membuktikan bahwa mekanisme KUA sebagai salah satu elemen yang dapat berperan dalam pencegahan pernikahan usia anak berjalan baik.

Ditanya soal tantangan, menurut Setyawan adalah bagaimana mempertahankan semangat deklarasi. “Ini justru tantangan kita. Jangan hanya gebyarnya saja, tetapi bagaimana pasca-nya,” tutur Camat Gedangsari itu. Diharapkan, semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti KUA, Puskesmas, UPT TK/SD, Penyuluh Pertanian, Kapolsek Gedangsari terus bekerjasama untuk mewujudkan tujuan dari deklarasi tersebut.

Pendapat juga dikemukakan oleh drg Dyah Mayun, Kepala UPT Puskesmas II Gedangsari tentang pentingnya kerjasama semua SKPD untuk mendukung upaya pencegahan pernikahan usia dini. “Kalau ada event, kita bisa bersama-sama. Contohnya, ke sekolah dengan kepolisian, kesehatan, dan pendidikan, bersama-sama memberikan materi pergaulan yang sehat, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Ketika diwawancara, Hj Badingah S.Sos, Bupati Gunung Kidul, sangat mengapresiasi acara ini. “Pemerintah daerah sangat mendukung, memberikan apresiasi, dengan adanya deklarasi bersama ini, yang mana ini akan saya jadikan percontohan untuk kecamatan yang lain,” jelas perempuan kelahiran Gunung Kidul itu. Menurutnya, program ini juga sangat membantu program pemerintah daerah dalam rangka untuk menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan Kabupaten Gunung Kidul.  “Jangan sampai ada anak drop out lagi gara-gara pernikahan anak usia dini,” tambahnya.

Upaya dukuh-dukuh Gedangsari memang patut diapresiasi. Dari inisiatif mereka bukan mimpi visi Gedangsari dapat terwujud, yakni terwujudnya masyarakat Gedangsari semakin taat beragama, rukun, cerdas, sehat, mandiri, dan sejahtera lahir batin, menuju desa makmur, Gunung Kidul makmur.

Foto atas: Setelah deklarasi, para Dukuh Gedangsari mengikuti lomba 'Pecahkan' Masalah Pernikahan Usia Dini. Foto oleh Cahyo Pramono.

Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Meskipun legislasi yang berkaitan dengan hal ini sudah diluncurkan bertahun-tahun yang lalu akan tetapi sampai saat ini keberadaannya belum mampu menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam kerangka kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kekerasan ini sering mengakibatkan kerugian secara fisik, seksual, dan psikologis terhadap perempuan yang mengalaminya dan  kekerasan ini termasuk tindakan, paksaan atau pengekangan sewenang-wenang terhadap kebebasan perempuan yang dapat terjadi di ranah publik maupun privat. Kekerasan yang dilakukan pun tidak hanya sebatas kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan seksual, finansial,  dan emosional.

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 perempuan lebih rentan menderita gangguan jiwa ringan dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti siklus hormonal, persalinan, menopause, dan kondisi sosial yang kerap menempatkan perempuan pada posisi yang merugikannya. Kekerasan terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh orang yang dikenalnya (seperti suami ataupun pacar) maupun orang  asing akan semakin meningkatkan risiko perempuan untuk terkena gangguan jiwa seperti stress,depresi, kecemasan yang berlebihan, dan juga fobia. Bahkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hal ini akan menimbulkan trauma kejiwaan berkepanjangan atau yang lebih dikenal sebagai gangguan stress paska trauma.

Dampaknya pun acap kali tidak hanya berhenti pada perempuan tersebut saja, tetapi juga berdampak pula pada orang-orang di sekelilingnya termasuk anak-anaknya. Menurut sebuah penelitian, seorang ibu yang mengalami KDRT akan cenderung untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya di rumah dan cenderung untuk menelantarkan anak-anaknya. Dalam hal ini, anak-anak dijadikan sebagai pelampiasan beban psikologis ibu mereka.

Namun hal yang patut disayangkan pula adalah seringkali perempuan enggan melaporkan kekerasan yang  dialaminya dan hal ini berdampak pada lambatnya upaya konseling dan pertolongan psikiatri terhadap gangguan kejiwaan yang akan timbul. Mereka pun cenderung membiarkan kekerasan berulang kali terjadi dalam kehidupannya. Semua ini terjadi karena beberapa faktor seperti merasa takut dan malu pada pandangan negatif dari orang-orang disekitarnya, adanya ketergantungan secara ekonomi dengan pasangan hidupnya, merasa pesimis dengan proses hukum yang berbelit,takut akan adanya balas dendam dari orang yang melakukan kekerasan,dan sering tidak ada saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut sehingga perempuan akan sangat mudah dituduh untuk memberikan pengakuan palsu. Semua ini mendorong perempuan untuk tetap diam dan cenderung memilih untuk tidak menuntut orang yang melakukan kekerasan secara hukum.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka kemungkinan besar akan timbul dampak buruk seperti bunuh diri oleh perempuan yang merasa bersalah karena terus dilecehkan maupun pembunuhan oleh pelaku kekerasan terhadap perempuan. Seringkali kita mendengar dan membaca berita bahwa ada banyak perempuan yang dibunuh oleh suami atau pacarnya sendiri bahkan jika  ketika mereka sudah berpisah dan hal ini dibenarkan oleh sebuah studi yang mengatakan bahwa kasus pembunuhan terhadap perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dibandingkan dengan orang asing.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika perempuan yang mengalami kekerasan segera melapor kepada pihak yang berwajib dan segera mencari pertolongan medis serta kejiwaan agar trauma yang terjadi segera terobati. Sudah bukan saatnya lagi menganggap kekerasan terhadap perempuan  berada pada ranah privat yang kebal terhadap hukum, negara harus bertanggung jawab dalam melindungi hak-hak perempuan.

Selasa, 04 Maret 2014 07:10

Siaran Pers

DEKLARASI DUKUH DAN LOMBA PECAHKAN MASALAH NIKAH USIA DINI
Tema “Gedangsari 2015 Bebas Kasus Pernikahan Usia Dini”
 
Pembangunan dan perbaikan masalah-masalah kemasyrakatan menjadi tanggung jawab semua pihak. Dalam hal ini, dukuh memiliki peran dan fungsi strategis baik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan, lebih-lebih kemasyarakatan. Dukuh menjadi wadah curahan masalah pertama bagi masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Salah satu masalah yang kecenderungannya terus membesar dan kompleks adalah kasus pernikahan usia dini yang dapat memicu masalah-masalah kemasyrakatan lainnya di kemudian hari. Hal ini harus dicarikan upaya-upaya pemecahannya dan dilakukan dengan kesungguhan serta kerjasama semua pihak. Mengingat begitu strategisnya kedudukan dukuh dalam hal kemasyarakatan ini, maka perlu ditempuh tekad bersama semua dukuh di Kecamatan Gedangsari untuk upaya memecahkan masalah tersebut, diawali dengan deklarasi bersama “Gedangsari 2015 Bebas Kasus Pernikahan Usia Dini”.

Salah satu masalah yang muncul akibat pernikahan usia dini adalah masalah kesulitan ekonomi. Oleh karena itu pada tahun 2013, di Gedangsari telah dilaksanakan kampanye gemar menanam pohon yang kemudian hasilnya bermanfaat terutama dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Hal tersebut telah tertuang dalam MoU tingkat kecamatan Gedangsari tahun 2013, bahwa setiap pengantin yang menikah di Gedangsari harus menanam pohon. Melalui kegiatan Deklarasi Dukuh ini, hendak mengajak masyarakat berkomitmen bahwa setiap pernikahan di Kecamatan Gedangsari diwajibkan menanam 5 pohon pisang.

Kegiatan deklarasi dukuh yang dilanjutkan dengan lomba pemecahan masalah nikah dini ini akan dilaksanakan pada,
Hari, tanggal : Selasa, 4 Maret 2014
Pukul           : 08.00 - selesai
Tempat       : Pendopo dan halaman Kantor Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul

Acara deklarasi dukuh ini akan dihadiri oleh Bupati Gunungkidul.
Sehubungan dengan acara ini, kami mengundang rekan-rekan wartawan untuk turut hadir serta meliput kegiatan tersebut. Atas perhatian serta kerjasamanya kami sampaikan terima kasih

Susunan Acara:
08.00-09.00   Persiapan dan penerimaan tamu undangan
09.00-09.05   Pembukaan
09.05-09.15   Pembacaan kalam Ilahi
09.15-09.25   Laporan kegiatan dari panitia
09.25-09.35   Ucapan selamat datang camat gedangsari
09.35-09.50   Sambutan Kan Kemenag Kab.Gunungkidul
09.50-10.05   Sambutan Bupati Gunungkidul
10.05-10.20   pembacaan dan penandatanganan Deklarasi
10.20-10.35   Doa dan penutup
10.35-selesai  Lomba Pecahkan Masalah Pernikahan Usia Dini

Oleh : Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Rifka Annisa mengikuti NGO fair yang diselenggarakan oleh ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies), pada hari Jumat, 28 Februari 2014, bertempat di Gedung Inculs, Ruang D-114, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Acara ini seharusnya berlangsung pada tanggal 14 Februari 2014 lalu, tepat di hari pertama Yogyakarta menaikkan level situasi provinsi menjadi status tanggap darurat hujan abu Kelud.

Meskipun sempat tertunda, hal ini tidak menyurutkan semangat para  anggota LSM untuk turut ambil bagian dalam acara yang bertajuk ”Informasi LSM dan Sukarelawan di Yogyakarta” yang dimulai pukul 10.00 – 12.00 WIB. Hal ini terbukti dengan banyaknya perwakilan LSM yang hadir sejak pukul 09.00 WIB.

Tak hanya itu, antuasiasme peserta yang hadir juga sangat tinggi. Meskipun acara hanya berlangsung selama 2 jam, jumlah peserta yang hadir diperkirakan mencapai 30 orang. Stand Rifka Annisa sendiri disambangi sebanyak 21 pengunjung. Rata-rata dari mereka adalah mahasiswa yang tertarik untuk magang di Rifka Annisa.

”Saya sangat tertarik pada isu di Rifka Annisa ini karena saya akan melakukan penelitian tentang skripsi saya yang berkaitan dengan hal ini”, ujar Tamasin Young, salah satu mahasiswa jurusan hukum di Australia. Sebelumnya, di bulan Februari, Rifka Annisa juga menerima mahasiswa magang asal Australia, Yula Bardo yang sudah melakukan magang selama 1 bulan.

Terselenggaranya NGO Fair ini bertujuan untuk mendorong peserta ACICIS, mahasiswa yang berasal dari 24 perguruan tinggi di Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Belanda, untuk bergabung dan turut berkontribusi di LSM. Sehingga mereka memiliki kegiatan lain di Indonesia selain aktifitas akademik formalnya. Berbagai bantuan yang dapat mereka berikan adalah menerjemahkan, melakukan riset, pengumpulan data, serta mengajar bahasa inggris.

Rifka Annisa pun merasa sangat terbantu dengan adanya NGO Fair ini. Tidak hanya dapat menebarkan berbagai informasi terkait isu-isu gender dan kekerasan kepada para peserta, Rifka Annisa juga mendapat informasi bahwa banyak mahasiswa non Indonesia yang tertarik akan isu-isu tersebut. Sehingga, diharapkan makin banyak mahasiswa ACICIS yang dapat bergabung bersama Rifka Annisa dalam proses magang ataupun kerelawanan.

Senin, 03 Maret 2014 15:47

Menjadi Laki-laki

Oleh : Ani Rufaida

Minggu, 23 Februari 2014, Rifka Annisa melakukan kegiatan diskusi komunitas dengan kelompok remaja, acara yang berlangsung di Balaidesa Ngalang Gedangsari dihadiri oleh kelompok pemuda baik yang aktif di organisasi desa maupun sekolah.

Indiah Wahyu Andari selaku konselor psikologi Rifka Annisa menanyakan kepada peserta kapan merasa menjadi laki-laki?” sejak dipanggil laki-laki, sejak mengenal jenis kelamin laki-laki” jawab Inug salah satu peserta diskusi.

Dalam diskusi yang berlangsung peserta banyak membincangkan tentang proses menjadi laki-laki, hal ini seperti yang dituturkan Yopi bahwa menjadi laki-laki banyak kebanggaannya,  diantaranya bisa pulang malam, bisa pergi kemana-mana, memiliki kebebasan, menjadi imam, tuturnya.
Tambahnya dengan hal-hal tersebut kebanyakan laki-laki lebih gampang keluar rumah, laki-laki lebih bisa berprilaku semaunya bahkan “nakal juga gak papa” Ungkapnya.

Inug juga mengatakan, hal itu yang membuat banyak laki-laki lebih mudah terjerumus dengan hal-hal buruk seperti laki-laki identik dengan “rokok” demikian laki-laki identik dengan “minum-minuman keras” kalau tidak minum atau merokok ya akan diejek temannya, “lanang kok”. Jelasnya.  

Indiah menjelaskan ternyata diantara keistemewaan itu kadang laki-laki juga ada batasan, sejak kecil laki-laki tidak dibiasakan mengungkapkan perasaanya, misal ketika ia jatuh tidak boleh menangis karena dia laki-laki, atau kalau ia mau curhat ke temannya ia akan dikatakan cengeng atau “cemen”.

Pembatasan yang lain seperti laki-laki harus bertanggung jawab, harus melindungi, mencari nafkah, dan mengambil keputusan sendiri membuat ia punya beban berat dalam kehidupannya, yang terjadi adalah ia selalu berusaha memenuhi standar-standar yang diberikan masyarakat tersebut.

Sebenarnya standar kelaki-lakian sebuah pilihan, setiap orang boleh mempertahankan standar itu, namun ada alternative yang lain yang bisa membuat seseorang bisa lebih cair terhadap kriteria yang dimiliki. Misal jika kemudian ada laki-laki yang ingin memenuhi kebutuhan dia untuk menangis, ya silahkan. Ungkap Indi

Kenapa kita mau membatasi teman kita dalam berproses dan belajar, kita boleh memilih menjadi laki-laki dengan standar kita sendiri tidak harus dengan standar orang lain. Membangun konsep diri  untuk menjadi laki-laki adalah proses belajar, jelas Indi

42480118
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2151
10226
173648
156663
42480118