Oleh : Megafirmawanti
“Semakin laki-laki peduli, semakin bertanggung jawablah ia”. Begitu ungkap Bupati Kulonprogo, dr H Hasto Wardoyo, SpOG (K) sebagai salah satu narasumber dalam talkshow pada Selasa (31/12). Talkshow yang bertempat di Gedung Kaca Kulon Progo ini terselenggara atas kerjasama Rifka Annisa, Pemerintah Daerah Kulon Progo dan Tim Penggerak PKK Kulon Progo.
Dalam sambutannya, Suharti, Direktur Rifka Annisa menjelaskan bahwa talkshow dalam rangka memperingati hari ibu ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi laki-laki pada pencegahan kekerasan perempuan dan anak di Kulon Progo. Suharti juga memaparkan bahwa 40% perempuan didunia telah bekerja diranah publik sehingga perlu dukungan laki-laki untuk mendukung kerja-kerja yang dilakukan perempuan.
“Survey secara global membuktikan bahwa anak yang dekat dengan ayah mempunyai kemampuan kognitif yang tinggi”, ungkap Suharti. Tak hanya itu, Ia juga memaparkan hasil survey Rifka Annisa di Papua, Purworejo dan Jakarta yang menunjukkan bahwa laki-laki yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap perempuan tidak begitu banyak. Artinya, tidak semua laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Talkshow yang berlangsung mulai pukul 10.00-12.00WIB tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Bupati Kulon Progo dr. H. Hasto Wardoyo, SpOG (K), Akademisi dari UGM Dr. Indria Laksmi Gamayanti, dan Moh. Tantowy sebagai perwakilan dari Rifka Annisa. Tema “Semakin Anda Peduli, Semakin Anda Laki-Laki” menjadi pembahasan menarik dalam talkshow yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari berbagai kecamatan dan desa di kulon Progo.
Dalam bincang-bincang tersebut, Hasto banyak mengulas kepedulian laki-laki dalam rumah tangga. Ia menyebutkan salah satu indikator kehangatan keluarga adalah anak yang dekat dengan ayahnya. “Jika anak cuek saat ayah pulang kerja, maka instrospeksilah”, ungkap Hasto. Ia juga mengatakan bahwa menjadi laki-laki yang peduli akan menambah kehangatan keluarga.
Dari perspektif psikologi, Dr Indria banyak mengulas tentang cara menjadi laki-laki yang peduli. Menurutnya, menjadi laki-laki peduli tidak harus dimulai dari tong kosong. “Keberanian untuk berproses adalah yang terpenting”, ungkapnya saat menjawab pertanyaan dari moderator Anisa Widayati Sastrowilogo. Menurut Indria, generasi laki-laki peduli harus dibentuk sejak dini, dimulai dari ayah-ayah yang sadar dan peduli saat ini.
Pandangan Rifka Annisa diwakili oleh Moh.Tantowi yang menjelaskan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Melalui talkshow tersebut Tantowy menegaskan tentang program laki-laki peduli yang dilakukan oleh Rifka Annisa. “Kami mendorong kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra”, ungkapnya.
Talkshow yang ikut dimeriahkan Jogja Akustik tersebut mendapat antusias yang tinggi. Hal itu terlihat dari banyaknya partisipasi saat acara berlangsung. Murjio salah satu peserta dari desa Srikayana memberikan terstimoni bahwa acara tersebut sangat bagus untuk masyarakat pedesaan yang notabene pemahaman soal kesetaraannya masih kurang. “Apa yang kami dapat hari ini akan kami sebarkan pada warga desa karena masih banyak perilaku dimana suami merasa lebih tinggi dibanding istri” ungkapnya.
Bupati Kulon Progo, dr Hasto juga memberikan komentar positif terhadap acara yang diselenggarakan. “Wah bagus dan sukses, terbukti dengan banyaknya kades yang datang. Kami biasanya ngundang kades susah, tapi anda berhasil” ujarnya. Ia juga berujar bahwa salah satu implementasi kebijakan di Kulon Progo pada tahun 2014 ini adalah dibidang pendidikan yang berkaitan dengan kepedulian terhadap perempuan adalah kegiatan ekstrakurikuler dan penerbitan modul kesehatan reproduksi.
Talk Show
“SEMAKIN ANDA PEDULI SEMAKIN ANDA LAKI-LAKI”
Di penghujung tahun 2013, Rifka Annisa mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan tidak juga mengalami penurunan yang berarti. Sepanjang bulan Januari-November 2013, Rifka Annisa mencatat telah terjadi 308 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara dari sekian banyak kasus tersebut, 239 kasus adalah kasus kekerasan terhadap istri. Kasus Kekerasan dalam rumah tangga sedikit banyak berpengaruh pada persoalan kesehatan perempuan.
Demikian pula dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan, setiap harinya terjadi 44 kasus ibu meninggal. Merujuk pada data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah kematian ibu hamil, melahirkan dan semasa nifas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2012 mencapaI 359 orang per 100.000 kelahiran hidup per tahun. Di Indonesia 4,5 juta bayi lahir setiap tahun, artinya lebih dari 16000 ibu meninggal tiap tahun.
Dua persoalan tersebut hanya merupakan puncak gunung es karena masih jauh lebih banyak kasus yang tidak tercatat dan terlapor. Perihal kesehatan ibu dan anak masih dianggap bukan merupakan prioritas laki-laki. Selain itu, masih sedikit laki-laki yang mau peduli untuk menghapuskan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pemahaman laki-laki tentang keterlibatannya dalam kesetaraan gender serta pengasuhan anak pun masih minim. Akibatnya, masalah KDRT serta angka kematian ibu masih terkait satu sama lain dan saling berkelindan.
Upaya untuk melindungi perempuan dari kekerasan serta mendorong peningkatan kesehatan ibu dan anak memerlukan partisipasi bersama baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu melalui program Laki-Laki Peduli (Men Care) diharapakan ada penurunan angka kasus kekerasan terhadap perempuan serta peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Program laki-laki peduli sendiri adalah bagian dari kampanye global Men care+ yang mempromosikan keterlibatan laki-laki sebagai mitra perempuan yang anti kekerasan, sebagai ayah yang peduli dan pengasuh yang berbagi tanggung jawab untuk mencapai kualitas hidup keluarga yang lebih sehat dan setara.
Tujuan:
•Mendorong partisipasi laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, KB dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
•Mengkampanyekan Laki-Laki Peduli
•Mendorong keterlibatan laki-laki terlibat dalam pengasuhan anak
Narasumber
•Bupati Kulonprogo “Kebijakan Kulonprogo Terkait Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, KB dan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan”
•Rifka Annisa“Laki-Laki Peduli”
•DR. Indria Laksmi Gamayanti, MSi (Psikolog Anak) “Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Dampaknya terhadap Tumbuh Kembang Anak
Peserta
Peserta sebanyak 260 orang, peserta perwakilan desa, kecamatan, ormas, SKPD terkait se-Kab.kulonprogo
PROSEDUR MAGANG
PROSEDUR PENELITIAN
Rifka Annisa melalui Divisi Penelitian dan Pelatihan atau Research and Training Centre (RTC) mendampingi penelitian yang akan dilakukan baik oleh mahasiswa maupun masyarakat umum. Hasil penelitian akan ditempatkan di Perpustakaan Rifka Annisa sehingga bisa diakses oleh siapapun yang memerlukannya sebagai referensi. Jika tema penelitian sinergis dengan apa yang sedang diangkat oleh Rifka Annisa, peneliti bisa diundang untuk mempresentasikan dan mendiskusikan penelitiannya di forum diskusi internal Rifka Annisa.
Adapun prasyarat yang harus dipenuhi oleh peneliti untuk bisa melakukan penelitian di Rifka Annisa adalah sebagai berikut:
Kasus kekerasan yang kian marak terjadi layaknya fenomena gunung es membuat segenap kalangan dari berbagai lapisan masyarakat khawatir. Terlebih, kasus-kasus tersebut mulai terjadi di lingkup kehidupan remaja. Tak jarang remaja menjadi pelaku ataupun korban kekerasan. Adanya lembaga-lembaga yang berperan dalam penanganan kasus kekerasan tersebut, dirasa masih belum dapat mengurangi tindakan kekerasan yang semakin merajalela.
Oleh sebab itu, Rifka Annisa bekerjasama dengan mitra Rifka Annisa di Banda Aceh (KKTGA), Makassar (LBHP2I), dan Jakarta (LBH APIK Jakarta), atas dukungan dari UN Trust Fund mengadakan pelatihan pendampingan teman sebaya atau biasa disebut Youth Camp yang betemakan “Sebarkan Cinta, Jauhi Kekerasan”. Acara pelatihan berlangsung selama 4 hari (5 – 8 Desember 2013) dan bertempat di Hotel UNY.
Terdapat 24 peserta yang mengikuti Youth Camp tersebut, masing-masing 11 peserta remaja laki-laki dan 13 peserta remaja perempuan. Mereka berasal dari berbagai daerah, yaitu Aceh, Jakarta, Gunung Kidul, dan Makassar. Pelatihan ini ditujukan agar para peserta mengetahui isu gender dan pelabelan (stereotyping), memahami terjadinya kekerasan terhadap perempuan (KTP), mengenali konstruksi sosial perempuan dan laki-laki, memahami karakteristik korban dan pelaku, mengetahui teknik-teknik dan keterampilan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan (KTP), dan memahami dasar-dasar melakukan pendampingan.
Banyak pengalaman yang didapat para peserta selama pelatihan. “Kami bisa belajar mengenai gender, isu-isu apa yang terjadi di daerah masing-masing, lalu mendapatkan banyak teman. Ada pun ekspektasi ke depan setelah mengikuti acara ini adalah kami bisa mengubah pola pikir masyarakat, terlebih di Makassar, daerah saya, masih banyak pernikahan dini yang kerap terjadi”, ungkap Risna, salah satu peserta pendampingan teman sebaya dari Makassar. Lain Risna lain Rita, peserta asal Gunung Kidul Yogyakarta. “Nantinya, saya ingin membuat pendampingan seperti ini juga untuk lingkup teman-teman saya, sehingga mereka mengetahui apa itu gender”, ujarnya.
Pengalaman pun juga tak hanya dirasakan para peserta, akan tetapi juga dirasakan oleh fasilitator dan panitia Youth Camp. Haryo, seorang fasilitator, mengungkapkan bahwa pengalaman menarik dialami pada saat dia berbagi kisah dengan para peserta mengenai kesetaraan gender. Pada intinya, kita belajar menjadi lebih baik juga bercermin pada pengalaman para peserta yang terdokumentasi melalui sharing. Begitu pun panitia Youth Camp Rifka Annisa, Fitri mengungkapkan bahwa, “Dengan diadakannya Youth Camp ini, kami mengharapkan tumbuhnya konselor-konselor muda dengan kisaran umur 17 – 24 tahun atau belum menikah, yang nantinya akan menjadi peer educator atau peer konselor untuk teman-temannya.”
Diharapkan dengan adanya Youth Camp ini, para generasi muda akan semakin lebih baik. Mereka mampu menghindari segala bentuk kekerasan baik seksual, psikis, maupun fisik. Dengan demikian, terciptalah generasi yang melek gender dan akhirnya kekerasan pun kian berkurang.[Oleh: Ratnasari Nugraheni, Relawan Rifka Annisa Wcc]
Budaya patriaki yang menempatkan kaum laki-laki sebagai prioritas utama dan dominan menjadi faktor penyebab sering munculnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Ditambah lagi, upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan seringkali terganjal minimnya sumber daya manusia (SDM) di lapangan yang tersedia. Akses informasi mengenai kasus kekerasan pun sulit terdeteksi dengan sistem budaya timur yang menganggap pengaduan atas tindak kekerasan sebagai pembongkaran aib keluarga di masyarakat. Keterlibatan kaum laki-laki dan juga leader perempuan dalam mengatasi akar permasalahan tersebut dirasa sangat penting. Hal inilah yang melatarbelakangi Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Solok, Sumatra Barat melakukan kunjungan ke berbagai instansi-instansi di Yogyakarta guna menggali informasi lebih mendalam. Memiliki visi dan misi yang tak jauh berbeda dengan P2TP2A, Rifka Annisa menjadi salah satu tujuan kunjungan perjalanan P2TP2A kota Solok di Yogyakarta.
Tepat pukul 10.00 WIB, pada hari Kamis, 28 November 2013, di aula Rifka Annisa, Any Sundary, manajer Divisi Humas dan Media berdialog bersama anggota P2TP2A kota Solok di antaranya Zulmiyetti Zul Elfian (Ketua pelaksana P2TP2A), Ansimar (Wakil Ketua), Suhermi (Bendahara), dan Nelli Haryanti (Sekertaris). Tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan minimnya SDM yang tersedia menjadi topik utama dalam dialog tersebut.
Berdasarkan hasil data yang dihimpun oleh Rifka Annisa, kasus korban kekerasan yang melapor ke Rifka per-trimester ketiga tahun 2013 sudah mencapai 255 kasus. Bukan tidak mungkin angka tersebut akan terus merangkak naik di penghujung tahun 2013. Hal ini menjadi refleksi tersendiri, mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan terus bertambah?
Layaknya penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pepatah inilah yang menjadikan tindakan preventif sebagai kebutuhan utama. Sama halnya dalam upaya penghapusan tindak kekekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan tindakan preventif yang efektif. Sosialisasi dan survei langsung ke lapangan adalah dua contoh konkret dalam pencegahan kekerasan. Pada prakteknya, keterbatasan SDM yang menghambat kedua hal tersebut. Di Solok, anggota P2TP2A kewalahan menangani berbagai kasus karena keterbatasan relawan mengingat persoalan ekonomi juga menjadi salah satu kendala yang paling signifikan, sehingga kesadaran akan isu gender terabaikan. Adanya informasi palsu mengenai kebenaran kasus kekerasan menjadi faktor penghambat penghapusan kekerasan. Kemudian, permasalahan laki-laki yang merasa menjadi korban pun turut menambah bias suatu kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menanggapi problematika tersebut, Any men-sharing-kan berbagai upaya yang telah Rifka lakukan dalam menghadapi persoalan tersebut. Pertama, dibutuhkan peran berbagai pihak, leader perempuan dalam suatu komunitas menjadi kunci utamanya. Pendampingan yang intensif kepada leader sangat diperlukan. Melalui pendampingan, lambat laun akan tumbuh kesadaran dan jiwa kerelawanan dari leader perempuan tersebut dan nantinya penyebaran informasi ke perempuan-perempuan lain dalam suatu komunitas akan mengalir secara bertahap. Leader ini pun nantinya akan menjadi agen yang efektif dalam pencarian data mengenai kekerasan. Rifka Annisa tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Agen-agen itulah yang menjadi sumber informasi. Dalam upaya menghindari indikasi informasi palsu, triangulasi data sangat dibutuhkan. Keterangan yang dikumpulkan tidak hanya berasal dari sisi korban, akan tetapi mencakup orang terdekat, keluarga, dan masyarakat.
Selanjutnya, menanggapi permasalahan mengenai laki-laki yang menjadi korban. Haryo, konselor psikologi untuk laki-laki di Rifka Annisa, ikut menanggapi. “Laki-laki yang menjadi korban memang ada, akan tetapi melalui penelusuran Rifka, ternyata laki-laki sudah terlebih dahulu melakukan kekerasan, sehingga munculnya kecenderungan untuk membalas dendam dari pihak korban perempuan”, ujarnya. Di Rifka, pelayanan laki-laki didampingi secara psikologis saat terjadi kasus di mana seorang istri korban kekerasan ingin rujuk. Rifka membantu dengan mengadakan konseling ke laki-laki untuk lebih memberdayakan dari sisi emosi dan cara berkomunikasi. Tujuannya bukan untuk penyelesaian kasus akan tetapi lebih ke proses bagaimana memperbaiki perilaku si laki-laki itu sendiri.
Diharapkan melalui keterlibatan laki-laki dan leader perempuan sebagai SDM pendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, angka kasus kekerasan tidak terus bertambah atau berada dalam kondisi stagnan tiap tahunnya. Akan tetapi, dapat berkurang secara bertahap [Oleh: Ratnasari Nugraheni, Relawan Rifka Annisa WCC]