Budaya patriaki yang menempatkan kaum laki-laki sebagai prioritas utama dan dominan menjadi faktor penyebab sering munculnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Ditambah lagi, upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan seringkali terganjal minimnya sumber daya manusia (SDM) di lapangan yang tersedia. Akses informasi mengenai kasus kekerasan pun sulit terdeteksi dengan sistem budaya timur yang menganggap pengaduan atas tindak kekerasan sebagai pembongkaran aib keluarga di masyarakat. Keterlibatan kaum laki-laki dan juga leader perempuan dalam mengatasi akar permasalahan tersebut dirasa sangat penting. Hal inilah yang melatarbelakangi Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Solok, Sumatra Barat melakukan kunjungan ke berbagai instansi-instansi di Yogyakarta guna menggali informasi lebih mendalam. Memiliki visi dan misi yang tak jauh berbeda dengan P2TP2A, Rifka Annisa menjadi salah satu tujuan kunjungan perjalanan P2TP2A kota Solok di Yogyakarta.
Tepat pukul 10.00 WIB, pada hari Kamis, 28 November 2013, di aula Rifka Annisa, Any Sundary, manajer Divisi Humas dan Media berdialog bersama anggota P2TP2A kota Solok di antaranya Zulmiyetti Zul Elfian (Ketua pelaksana P2TP2A), Ansimar (Wakil Ketua), Suhermi (Bendahara), dan Nelli Haryanti (Sekertaris). Tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan minimnya SDM yang tersedia menjadi topik utama dalam dialog tersebut.
Berdasarkan hasil data yang dihimpun oleh Rifka Annisa, kasus korban kekerasan yang melapor ke Rifka per-trimester ketiga tahun 2013 sudah mencapai 255 kasus. Bukan tidak mungkin angka tersebut akan terus merangkak naik di penghujung tahun 2013. Hal ini menjadi refleksi tersendiri, mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan terus bertambah?
Layaknya penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pepatah inilah yang menjadikan tindakan preventif sebagai kebutuhan utama. Sama halnya dalam upaya penghapusan tindak kekekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan tindakan preventif yang efektif. Sosialisasi dan survei langsung ke lapangan adalah dua contoh konkret dalam pencegahan kekerasan. Pada prakteknya, keterbatasan SDM yang menghambat kedua hal tersebut. Di Solok, anggota P2TP2A kewalahan menangani berbagai kasus karena keterbatasan relawan mengingat persoalan ekonomi juga menjadi salah satu kendala yang paling signifikan, sehingga kesadaran akan isu gender terabaikan. Adanya informasi palsu mengenai kebenaran kasus kekerasan menjadi faktor penghambat penghapusan kekerasan. Kemudian, permasalahan laki-laki yang merasa menjadi korban pun turut menambah bias suatu kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menanggapi problematika tersebut, Any men-sharing-kan berbagai upaya yang telah Rifka lakukan dalam menghadapi persoalan tersebut. Pertama, dibutuhkan peran berbagai pihak, leader perempuan dalam suatu komunitas menjadi kunci utamanya. Pendampingan yang intensif kepada leader sangat diperlukan. Melalui pendampingan, lambat laun akan tumbuh kesadaran dan jiwa kerelawanan dari leader perempuan tersebut dan nantinya penyebaran informasi ke perempuan-perempuan lain dalam suatu komunitas akan mengalir secara bertahap. Leader ini pun nantinya akan menjadi agen yang efektif dalam pencarian data mengenai kekerasan. Rifka Annisa tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Agen-agen itulah yang menjadi sumber informasi. Dalam upaya menghindari indikasi informasi palsu, triangulasi data sangat dibutuhkan. Keterangan yang dikumpulkan tidak hanya berasal dari sisi korban, akan tetapi mencakup orang terdekat, keluarga, dan masyarakat.
Selanjutnya, menanggapi permasalahan mengenai laki-laki yang menjadi korban. Haryo, konselor psikologi untuk laki-laki di Rifka Annisa, ikut menanggapi. “Laki-laki yang menjadi korban memang ada, akan tetapi melalui penelusuran Rifka, ternyata laki-laki sudah terlebih dahulu melakukan kekerasan, sehingga munculnya kecenderungan untuk membalas dendam dari pihak korban perempuan”, ujarnya. Di Rifka, pelayanan laki-laki didampingi secara psikologis saat terjadi kasus di mana seorang istri korban kekerasan ingin rujuk. Rifka membantu dengan mengadakan konseling ke laki-laki untuk lebih memberdayakan dari sisi emosi dan cara berkomunikasi. Tujuannya bukan untuk penyelesaian kasus akan tetapi lebih ke proses bagaimana memperbaiki perilaku si laki-laki itu sendiri.
Diharapkan melalui keterlibatan laki-laki dan leader perempuan sebagai SDM pendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, angka kasus kekerasan tidak terus bertambah atau berada dalam kondisi stagnan tiap tahunnya. Akan tetapi, dapat berkurang secara bertahap [Oleh: Ratnasari Nugraheni, Relawan Rifka Annisa WCC]