Oleh: Megafirmawanti

Kamis (19/02) bertempat di gedung pertemuan UST Taman Siswa Yogyakarta, diadakan diskusi publik “Situasi Kerja Layak PRT : Menyikapi Tahun Politik 2014”. Hadir sebagai salah satu narasumber, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Dalam diskusi beliau memaparkan bahwa kondisi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia sampai hari ini belum mendapat tempat dan perlindungan yang layak dari pemerintah. Rancangan Undang-Undang PRT yang telah diusulkan sejak tahun 2004 belum juga mendapat pengesahan, bahkan belum menjadi prioritas pembahasan pemerintah, dalam hal ini adalah dewan legislatif (DPR). “Masih banyak prioritas masyarakat yang belum jadi prioritas pemerintah”, ungkap GKR Hemas yang saat ini juga menjabat sebagai anggota DPD RI.

Dalam paparannya, Hemas mengulas tentang kekerasan yang sering dialami PRT baik secara psikis, fisik, bahkan penelantaran ekonomi. Menurutnya, penyebab dari kekerasan tersebut adalah karena tidak adanya perlindungan PRT oleh pemerintah. Tak hanya itu, Hemas juga mengatakan bahwa pengetahuan PRT yang rendah merupakan faktor pemicu kekerasan terhadap PRT itu sendiri.

Penjelasan GKR Hemas tersebut didukung oleh pemaparan tentang kondisi nyata yang dipaparkan oleh Ririn selaku anggota Serikat PRT. Menurut penuturan Ririn, masih banyak PRT Yogyakarta yang upahnya hanya sekitar 100-300 ribu rupiah. Tak hanya itu, bahkan diantara PRT tersebut sering mengalami penundaan upah/gaji. “Sangat tidak mensejahterakan”, ungkap Ririn saat menjelaskan kondisi PRT Yogyakarta.

Dialog publik yang dilaksanakan oleh JPPRT DIY dan JALA PRT tersebut mengundang respon peserta. Budi, pengamat sosial yang turut serta dalam dialog tersebut mengutarakan pendapatnya. Menurutnya, untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap PRT maka Undang-Undang PRT harus segera disahkan, tak hanya itu, menurut Budi, stigma negatif tentang PRT harus ditanggalkan.

Pada akhir dialog, Buyung Ridwan Tanjung yang juga sebagai narasumber dalam dialog tersebut menyampaikan bahwa situasi politik saat ini merupakan saat yang tepat untuk memperjuangkan RUU PRT agar mendapat pengesahan pemerintah. Karena menurutnya, sebuah Undang-Undang akan menjadi pembahasan ketika momentumnya telah tiba. Salah satu momentum itu adalah pada akhir periode politik seperti saat ini. []

Jumat, 21 Februari 2014 09:32

Sakit Hati dan Memaafkan

Oleh: Agung Wisnubroto

Hampir tidak mungkin didalam menjalani kehidupan rumah tangga, suami dan istri luput dari konflik. Ada konflik yang bersifat personal karena perbedaan karakter atau kepribadian dan ada juga dari luar relasi mereka, seperti misalnya keluarga besar. Konflik-konflik tersebut dapat membawa suasana hati bahkan rasa sakit satu sama lain. Bisa berlangsung dalam hitungan jari, namun ada juga yang mengendap lama di dalam perasaan serta pikiran.

Sakit hati mungkin dapat menjadi selesai ketika impas sudah diperoleh. Mekanisme ini merupakan ekspresi dari kebutuhan individu untuk memperoleh rasa keadilan. Dalam praktiknya bisa dijumpai seperti hutang nyawa dibayar nyawa, hutang darah dibalas darah. Ini berarti dalam impas, maka pihak yang tersakiti perlu agar pihak yang menyakiti merasakan sakit yang ditimbulkan dari perbuatannya. Impas yang terpenuhi cenderung menjadikan pihak yang tersakiti merasa terpenuhi kebutuhan emosinya, meskipun ikhlas bersifat sangat subjektif.

Dalam relasi yang mengakibatkan rasa sakit hati pada pasangan suami istri, ketika disepakati untuk membangun kembali komitmen, maka bukan hanya keinginan sambil lalu tanpa dibarengi upaya konkret. Perubahan perilaku diperlukan untuk menjadikan harapan mereka nyata.Perubahan-perubahan perilaku tersebut adalah pemahaman bahwa sumber masalah ada pada pilihan ekspresi perilaku yang tampak yang menimbulkan penafsiran berbeda. Masalah bukan pada sifat seseorang atau didimensi emosi. Marah adalah wajar, tetapi memukul atau melukai sebagai ekspresi perilaku, tidak dapat dibenarkan.

Bagi pihak yang menyakiti atau tersakiti, mereka perlu menyadari bahwa masing-masing memiliki hak, bukan kewajiban. Hak individu yang tersakiti adalah memberikan maaf, sementara individu yang menyakiti adalah memberikan maaf. Bukan pada ranah kewajiban, meski sayangnya belum dapat dipastikan kapan waktu impas akan diperoleh.

Dengan demikian, sembari mengupayakan perubahan-perubahan perilaku yang disepakati sebagai solusi dari masalah yang dihadapi, pasangan suami istri juga perlu memerhatikan bahwa mereka sedang berproses untuk melegakan diri satu sama lain. Bukan melupakan, tetapi menerima kenyataan bahwa mereka memang pernah menyakiti atau tersakiti di dalam relasi yang mereka jalani.

Oleh : Megafirmawanti

BP4 (Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) sebagai pihak yang berperan pada penanggulangan kekerasan, bersama Rifka Annisa, pada (15/2) berkesempatan untuk mengisi program talkshow “Bincang Hari Ini” di Jogja TV dengan tema “Peran BP4 Dalam Pencegahan Pernikahan Usia Anak” Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yakni Nur

Ahmad Ghazali selaku Sekretaris dan Mediator BP4 dan Mohammad Tanthow, selaku Manajer Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi  Rifka Annisa.
Ahmad Ghazali mengatakan bahwa tingginya angka pernikahan usia anak disebabkan oleh adanya pergaulan bebas dan perilaku menyimpang dalam hubungan seksual. Oleh karena itu, BP4 melakukan program pada tiga ranah yakni secara formal, nonformal dan informal.

Secara formal, BP4 melakukan program pendidikan di sekolah dan madrasah. Melalui program pendidikan, BP4 menanamkan agar anak dapat menjaga perilaku. Salah satu bentuk pendidikan yang biasanya dilakukan BP4 adalah penyelenggaraan sekolah pranikah baik pada tingkat SMP/madrasah tsnawiyah, ataupun SMA/MA dan SMK.    

Sedangkan melalui lembaga nonformal atau masyarakat, BP4 melakukan  gerakan desa binaan keluarga sakinah. Program ini merupakan kerjasama BP4 dengan Kementrian Agama. Bentuk usaha ini adalah dengan mencanangkan desa binaan keluarga sakinah. Menurut Ghazali, adanya program ini diharapkan dapat menghindari perilaku menyimpang,  seperti pergaulan dan seks bebas.

Tak hanya secara formal dan nonformal, BP4 juga melakukan usaha informal melalui keluarga. Bentuk program ini salah satunya dengan mengadakan kursus pranikah pada calon pengantin. Kursus pranikah ini dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara kursus yang bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA).

Selain mengulas tiga usaha BP4 untuk mencegah pernikahan usia anak, diskusi yang dipandu oleh oleh presenter Dinia Putri, juga membahas tentang dampak pernikahan usia anak. Tanthowi mengungkapkan bahwa tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang biasanya ditemui adalah pada keluarga yang menikah di usia anak. Kekerasan ini dapat disebabkan karena belum stabilnya mental atau psikologis anak untuk menghadapi persoalan-persoalan rumah tangga yang sering terjadi.

Selain KDRT, dampak lain dari pernikahan usia anak adalah banyaknya anak yang putus sekolah karena masih banyak sekolah yang belum ramah pada anak dan bertambahnya keluarga miskin karena anak belum memiliki pendapatan finansial sehingga harus bergantung pada orang tua. Tanthowi pun mengingatkan kembali bahwa dibutuhkan peran ekstra dari semua pihak baik LSM, Swasta, dan terutama pemerintah.

Diskusi yang berlangsung selama satu jam tersebut mengundang perhatian beberapa audiens. Salah satu penelepon memberikan tanggapan bahwa orang tua mempunyai peran yang sangat penting, karena sering ditemui pernikahan di usia anak terjadi dikarenakan kehamilan diluar nikah. Beberapa tanggapan lain mengatakan yang paling bertanggungjawab atas semua yang telah dibicarakan sebelumnya adalah individu secara pribadi. Tak ada pihak yang perlu disalahkan karena yang paling penting adalah ketika anak bisa bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

Pada akhir diskusi, Ghazali dan Thantowy menyampaikan bahwa bagi siapa saja yang mengalami tindakan kekerasan sebisa mungkin melaporkan pada pihak-pihak yang berkaitan misalnya BP4 di KUA atau bisa melalui Rifka Annisa. []
   


    
   

Oleh : Ratna Dwi Astuti

Rabu (12/2) di Perpustakaan Rifka Annisa, diselenggarakan diskusi yang mengetengahkan sisi reflektif menjadi Public Relation (PR) di sebuah Non Government Organization (NGO).

Tepat pukul 10.00 WIB, Ulie salah satu staf Rifka Annisa membuka diskusi dengan memperkenalkan pemantik diskusi, Defirentia One Muharomah yang juga merupakan staf Public Relation (PR) Rifka Annisa. One, sebagaimana ia biasa dipanggil, mengawali diskusi dengan sebuah pertanyaan: “Mendengar kata public relation, apa yang terbayang di pikiran teman-teman?”. Banyak yang melontarkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Misalnya ada yang menyebut PR itu identik dengan pencitraan, berhubungan dengan media, jadi corongnya lembaga atau sebagai garda depan dalam hubungan antar lembaga. Bahkan, salah satu peserta diskusi mengungkapkan pernyataan yang berbeda, bahwa ia kadang tidak menyukai PR karena dianggap PR itu identik dengan bohong dan tidak menyatakan hal yang sebenarnya.

Lalu One menengahi pernyataan-pernyataan yang sudah diutarakan peserta. Berbicara tentang “Public Relation dalam  NGO : Dari Konsepsi Hingga Strategi”,  PR merujuk pada profesi. Jika ada beberapa anggapan bahwa PR itu profesi yang pencitraannya suka bohong, atau profesi yang tidak mengatakan dengan sebenarnya, tentu pengertian itu sudah sangat tradisional dan kurang relevan dengan konteks kekinian. PR sekarang menjadi bagian penting dalam pengembangan sebuah NGO karena berfungsi membangun pemahaman publik tentang sebuah organisasi sekaligus membangun opini dan sikap publik terhadapnya.   

One menjelaskan dalam organisasi, seperti di Rifka Annisa, PR bertugas menyampaikan isu atau pesan kepada publik. Sehingga muncul sikap publik yang memberikan perhatian serta dukungan terhadap Rifka Annisa sendiri. Tuntutan ketrampilan sebagai PR adalah komunikasi asertif, logis dan efektif. Selanjutnya jujur dan selektif maksudnya ialah menjelaskan bahwa “jujur tetapi harus selektif tidak semua dikatakan”. Informasi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Argumen yang disampaikan berdasarkan data dan fakta.

Ketrampilan selanjutnya kemampuan komunikasi non verbal misalnya tulisan, gambar, gerak tubuh. Sebagai staf NGO harus bisa menempatkan diri dimana isu yang kita payungi tersebut lekat dalam diri, agar kita mampu mengajak orang lain untuk andil dalam isu NGO. Bersikap tenang dan tidak emosional dan networking adalah juga merupakan hal yang penting.

PR juga dituntut untuk memiliki kemampuan dalam analisis sosial, pengetahuan yang komprehensif dengan organisasi dan penampilan yang mendukung. Selain itu Niken, salah satu peserta diskusi pun mengungkapkan ketrampilan yang bisa ditambah untuk menjadi seorang PR yang professional yaitu dengan mempunyai wawasan kekinian.

One kemudian menyimpulkan bahwa PR adalah pekerjaan terkait promosi, citra, komunikasi, kampanye, representasi, reputasi, networking dan persuasi. PR sebagai fungsi biasanya diletakan pada suatu divisi atau departemen tertentu dalam sebuah organisasi. Dalam banyak organisasi atau pun perusahaaan, mereka bahkan membagi-bagi fungsi PR di sini lebih spesifik yang didasarkan pada profesionalitas seseorang.

Sebagai contoh: public and government affair, media relation dan government relation. PR perlu dijalankan secara professional, dan funsginya setidaknya bisa melingkupi hal-hal di atas. Tapi ada juga yang tidak kalah penting. PR disini juga perlu dilihat sebagai ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap staf atau karyawan dalam suatu organisasi. Artinya, jika PR adalah sesuatu kegiatan terkait promosi, citra, komunikasi, kampanye, representasi, reputasi, dan persuasi, maka setiap staf di Rifka Annisa juga sebaiknya memiliki skill tersebut. Hal itu akan bermanfaat juga ketika orang tersebut berada diluar seperti di jaringan. (*)

46462607
Today
This Week
This Month
Last Month
All
12258
42279
314852
306641
46462607