Menjadi Public Relation dalam NGO: Dari Konsepsi Hingga Strategi

Written by  Rabu, 19 Februari 2014 10:50

Oleh : Ratna Dwi Astuti

Rabu (12/2) di Perpustakaan Rifka Annisa, diselenggarakan diskusi yang mengetengahkan sisi reflektif menjadi Public Relation (PR) di sebuah Non Government Organization (NGO).

Tepat pukul 10.00 WIB, Ulie salah satu staf Rifka Annisa membuka diskusi dengan memperkenalkan pemantik diskusi, Defirentia One Muharomah yang juga merupakan staf Public Relation (PR) Rifka Annisa. One, sebagaimana ia biasa dipanggil, mengawali diskusi dengan sebuah pertanyaan: “Mendengar kata public relation, apa yang terbayang di pikiran teman-teman?”. Banyak yang melontarkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Misalnya ada yang menyebut PR itu identik dengan pencitraan, berhubungan dengan media, jadi corongnya lembaga atau sebagai garda depan dalam hubungan antar lembaga. Bahkan, salah satu peserta diskusi mengungkapkan pernyataan yang berbeda, bahwa ia kadang tidak menyukai PR karena dianggap PR itu identik dengan bohong dan tidak menyatakan hal yang sebenarnya.

Lalu One menengahi pernyataan-pernyataan yang sudah diutarakan peserta. Berbicara tentang “Public Relation dalam  NGO : Dari Konsepsi Hingga Strategi”,  PR merujuk pada profesi. Jika ada beberapa anggapan bahwa PR itu profesi yang pencitraannya suka bohong, atau profesi yang tidak mengatakan dengan sebenarnya, tentu pengertian itu sudah sangat tradisional dan kurang relevan dengan konteks kekinian. PR sekarang menjadi bagian penting dalam pengembangan sebuah NGO karena berfungsi membangun pemahaman publik tentang sebuah organisasi sekaligus membangun opini dan sikap publik terhadapnya.   

One menjelaskan dalam organisasi, seperti di Rifka Annisa, PR bertugas menyampaikan isu atau pesan kepada publik. Sehingga muncul sikap publik yang memberikan perhatian serta dukungan terhadap Rifka Annisa sendiri. Tuntutan ketrampilan sebagai PR adalah komunikasi asertif, logis dan efektif. Selanjutnya jujur dan selektif maksudnya ialah menjelaskan bahwa “jujur tetapi harus selektif tidak semua dikatakan”. Informasi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Argumen yang disampaikan berdasarkan data dan fakta.

Ketrampilan selanjutnya kemampuan komunikasi non verbal misalnya tulisan, gambar, gerak tubuh. Sebagai staf NGO harus bisa menempatkan diri dimana isu yang kita payungi tersebut lekat dalam diri, agar kita mampu mengajak orang lain untuk andil dalam isu NGO. Bersikap tenang dan tidak emosional dan networking adalah juga merupakan hal yang penting.

PR juga dituntut untuk memiliki kemampuan dalam analisis sosial, pengetahuan yang komprehensif dengan organisasi dan penampilan yang mendukung. Selain itu Niken, salah satu peserta diskusi pun mengungkapkan ketrampilan yang bisa ditambah untuk menjadi seorang PR yang professional yaitu dengan mempunyai wawasan kekinian.

One kemudian menyimpulkan bahwa PR adalah pekerjaan terkait promosi, citra, komunikasi, kampanye, representasi, reputasi, networking dan persuasi. PR sebagai fungsi biasanya diletakan pada suatu divisi atau departemen tertentu dalam sebuah organisasi. Dalam banyak organisasi atau pun perusahaaan, mereka bahkan membagi-bagi fungsi PR di sini lebih spesifik yang didasarkan pada profesionalitas seseorang.

Sebagai contoh: public and government affair, media relation dan government relation. PR perlu dijalankan secara professional, dan funsginya setidaknya bisa melingkupi hal-hal di atas. Tapi ada juga yang tidak kalah penting. PR disini juga perlu dilihat sebagai ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap staf atau karyawan dalam suatu organisasi. Artinya, jika PR adalah sesuatu kegiatan terkait promosi, citra, komunikasi, kampanye, representasi, reputasi, dan persuasi, maka setiap staf di Rifka Annisa juga sebaiknya memiliki skill tersebut. Hal itu akan bermanfaat juga ketika orang tersebut berada diluar seperti di jaringan. (*)

Read 2256 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:06
46772257
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6914
6914
280624
343878
46772257