Selasa, 08 April 2014 12:56

Euforia Pasca Ujian

Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Pengumuman hasil ujian merupakan suatu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh siswa. Perjuangan selama beberapa hari mengikuti ujian sebagai penentu kelulusan dijadikan sebuah pencapaian prestasi yang dikerjakan selama 3 tahun sekolah. Tidak dipungkuri setiap hasil UAN diumumkan selalu ada euphoria yang dilakukan siswa, apalagi tindakan mengacu pada hal negatif seperti mencoret baju, konvoi dijalanan dengan motor, melakukan kegiatan onar bahkan anarkis yang meresahkan masyarakat.  Menurut Ryan Sugiarto, pengamat pendidikan menyebutkan aksi coret mencoret seragam yang dilakukan oleh siswa adalah hal biasa. Permasalahan yang terjadi adalah ketika aksi euforia pasca ujian itu menganggu  masyarakat dengan aksi anarkis.    

Memang aksi euforia pasca ujian yang dilakukan siswa di Yogyakarta tidak separah di Jakarta. Di Jakarta sempat terjadi tawuran antar dua belah pihak sekolah disebabkan aksi kelulusan. Euforia pasca ujian di Yogyakarta cenderung aman, hal ini terkait dengan faktor kultur antar keluarga masih terjaga dan pengaruh media masih bisa diminalisir. Sementar di kota-kota besar yang lain dimana media berpengaruh besar bagi kehidupan warga, perlu dilakukan pengamanan terutama di lingkungan keluarga.

Budi Wulandari, lonselor divisi pendampingan dari Rifka Annisa menyebutkan tingkat kenakalan remaja tidak terlepas dari pengaruh media. Sehingga diperlukan  sikap untuk menangani peran media dalam membentuk karakter remaja. Wulan juga melakukan pemeriksaan dari berbagai media di Yogyakarta, di suatu daerah di Indonesia, para remaja yang sudah lulusa ujian pergi ke losmen dalam rangka ritual kelulusan mereka. Kebiasaan ini menurutnya sangat ironis, terutama mencoret-coret baju padahal bajunya bisa disumbangkan.

Pemaknaan ujian di Indonesia memang harus dikoreksi, di Indonesia sistem ujian masih dilihat dari NIM dimana hasil NIM dalam ijazah dijadikan jenjang untuk melamar kerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Defirentia One, relawan divisi humas dan media, Rifka Annisa memberikan saran kepada pihak sekolah, guru agar bisa mengarahkan anak didiknya sesuai dengan potensinya. Jadi tidak hanya terpatok dengan nilai saja namun juga skill. Para siswa diajak untuk berpikir ke masa depannya nanti.

Namun Devirentia One juga tidak memungkuri kendala stigma pembagian jurusan di SMA menjadi permasalahan tersendiri. Murid yang masuk kelas IPA dianggap sebagai murid cerdas yang bisa memasuki jurusan favorit di universitas seperti kedokteran atau teknik. Sementara murid kelas IPS atau bahasa dianggap sebagai murid ‘ecek-ecekkan’ atau murid yang kalah cerdas dibanding kelas IPA.

Ryan Sugiarto berpendapat ada anggapan yang salah di sistem pendidikan kita. Ryan menyarankan pemilihan jurusan hendaknya dipilih berdasarkan kesadaran bukan berdasarkan keinginan untuk dipuji cerdas. Sehingga siswa bisa menikmati apa yang dipelajari, di dunia pendidikan harusnya seperti itu, jangan melakukan pemaksaan terhadap anak agar bisa mendapatkan label baik. Guru juga harus melihat passion dari siswa sendiri.    

Pendidikan karakter yang digembor-gemborkan pemerintah belum terlihat aplikasi praktisnya saja. Ryan sedikit ragu dengan kurikulum pendidikan karakter yang dibuat pemerintah apakah nantinya sama saja dengan P4 di zaman orde baru atau dasadarma pramuka. Jika menuntut pendidikan karakter bukan hanya siswa saja yang dituntut tetapi juga dilihat guru berkarakter seperti apa, sistem pendidikan berkarakter seperti apa, orangtua berkarakter itu seperti apa.

Untuk melakukan pencegahan aksi anarkis pasca ujian yang pertama kali dilakukan adalah penyeleksian berita yang dilakukan oleh media. Media harus teliti menyoroti pemberitaan terutama aksi kekerasan dalam rangka tawuran seperti pesta miras, tawuran, konvoi motor agar tidak dijadikan contoh oleh siswa-siswa lainnya. Media juga tidak seharusnya menyoroti kegagalan ujian yang nantinya menjadi kecemasan bagi siswa itu sendiri. Bukan hanya media juga yang bertanggung jawab akan hal ini. Sistem pendidikan dan sekolah tidak seharusnya menjadikan standar nilai kelulusan menjadi patokan keberhasilan siswa selama 3 tahun bersekolah. Apalagi tidak sedikit sekolah menjadikan persentase kelulusan siswanya menjadi ajang promosi sekolah. Guru juga ikut berperan bukan hanya mengajari hal-hal bersifat teknis dalam pelajaran namun juga pendidikan karakter yang ditanamkan. Orangtua juga mengajarkan sikap dan kejujuran pada siswanya ditanamkan sejak kecil. Standar kelulusan dijadikan momok bagi siswa sehingga tidak sedikit siswa melakukan kecurangan seperti mecontek atau menyewa joki agar bisa mengerjakan ujian dengan baik.

Euphoria dianggap oleh siswa adalah kebebasan dari aktivitas sekolah yang menjemukan. Sehingga diperlukan penekanan konsep diri pada siswa agar bisa memaknai ujian itu seperti apa. Apakah sebagai perjuanganmu selama 3 tahun? Apakah penentu masa depan dan semacamnya. Penanaman empati juga harus diberikan, siswa diajarkan untuk merasakan posisi sebagai teman yang tidak lulus. Bagaimana mungkin mereka bisa bersenang-senang sementara temannya yang sama-sama berjuang tidak lulus, bahkan ada yang sampai stress sampai bunuh diri. Permasalahan ini bukan masalah satu pihak saja, media, sekolah, guru dan orangtua juga ikut andil mengawasi dan memberikan kepercayaan pada murid-murid kita.      

Selasa, 08 April 2014 12:52

Bedah Bojoku Wis Gender

Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Rabu (2/4), Rifka Annisa kembali mengadakan diskusi buku rutin mingguan pukul 10.30 hingga 12.00. Bertempat di Perpustakaan Rifka Annisa, jumlah peserta diskusi sekitar 12 orang. Adalah Niken Anggrek Wulan, pemantik diskusi yang mengusung buku berjudul “Bojoku Wis Gender”, karya Lenni Herawati, Dessi Pranugsari, Dewi Lestari, Rumi Wiasih, Isnawati, Dian Novita, Nurmawati, Nina Musriyani, Sri Wigati, Okih Darini, Susi Wahyuningsih, Khomsiyatun, Sarijah.

Buku ini sendiri merupakan terbitan Rifka Annisa pada tahun 2008, yang berisi kumpulan cerita pendek pengalaman para aktivis perempuan Rifka Annisa mengorganisasi masyarakat dan pengalaman mereka dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan. Buku ini sengaja ditulis sebagai bentuk upaya aktivis untuk menyadarkan nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan desa.

Para peserta sangat antusias dalam mengikuti jalannya diskusi. Kehadiran Nurmawati, salah satu penulis buku tersebut, turut membuat diskusi semakin menarik. Nurma pun mengungkapkan, “Buku ini adalah proyek pertama saya ketika masuk Rifka. Saya belajar, ternyata tidak mudah masuk ke masyarakat. Dari situlah saya berproses.”

Pada sesi diskusi tanya-jawab, para peserta satu persatu mengungkapkan pengalamannya ketika berhadapan dengan situasi yang jauh dari kesetaraan gender. Diharapkan melalui diskusi buku “Bojoku Wis Gender”, para peserta mendapatkan pengetahuan lebih mengenai nilai-nilai kesetaraan gender dan kritis dalam menghadapi setiap kondisi dan permasalahan yang ada di masyarakat.

Oleh: Megafirmawanti
email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Selasa (1/04/2014). Direktur Rifka Annisa dan Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta menandatangani MOU tentang PosBaKum (Pos Bantuan Hukum). PosBaKum adalah program layanan bagi masyarakat yang ingin mengakses bantuan hukum secara gratis terkait proses penyelesaian kasus di Pengadilan Agama. Nurul Kurniati selaku pelaksana PosBaKum dari Rifka Annisa mengatakan bahwa pelaksanaan PosBaKum dimulai pada bulan April sampai November 2014.

Menurut Nurul atau yang biasa disapa dengan Nuq, salah satu tugas pelaksana PosBaKum adalah memberikan layanan pembuatan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan proses di Pengadilan Agama. Selain itu, PosBaKum juga memberikan layanan PosBaKum juga dapat berupa konsultasi hukum. Inuq menekankan bahwa semua layanan PosBaKum bersifat gratis dan hanya berlaku untuk proses pengadilan dan bukan pada saat persidangan.      

Sebelumnya, Rifka Annisa telah lulus dalam tes administrasi dan kualifikasi pelaksana PosBakum. Pengadilan Agama kemudian menunjuk Rifka Annisa sebagai pelaksana PosBaKum di Pengadilan Agama Yogyakarta. PosBaKum adalah program yang didanai oleh Mahkamah Agung dan sempat vakum pada tahun 2013. Jika sebelumnya PosBaKum diperuntukkan untuk masyarakat tidak mampu, tahun ini PosBaKum kembali diadakan dan dapat diakses bagi siapa saja tanpa terkecuali.

Kamis, 03 April 2014 12:58

Realita Anak Jalanan

Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dalam pasal 1 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 juga mengatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Maka negeri ini wajib melindungi orang miskin dan anak-anak telantar.

Permasalahan anak jalanan memang harus dihadapi oleh semua sepihak, bukan hanya orangtua dan keluarga, namun juga orang-orang disekitarnya. Kasus anak jalanan bagaikan rantai yang membentuk siklus tak pernah terhenti. Di satu sisi pemerintah sudah berupaya menangani anak jalanan dengan membentuk dinas sosial, memberikan dana untuk rumah singgah dan shelter untuk anak-anak jalanan namun tetap saja para anak jalanan kabur dari tempat mereka dan kembali di jalanan dengan alasan kebebasan.

Anak jalanan selalu mendapatkan stigma buruk dianggap sebagai anak-anak liar, berkelakuan buruk dan tidak punya masa depan. Anak jalanan atau children on the street adalah anak yang secara total berada di jalanakarena mereka tidak lagi tinggal bersama keluarganya karena terputus hubungannya dengan keluarga atau tidak mempunyai keluarga. Sedangkan ada tereminilogi  lain yang mengatakan anak jalanan sebagai children of the street yakni anak yang berada di jalan tetapi masih tinggal bersama keluarganya.  Mereka biasanya berada di jalan untuk menambah pendapatan keluarga. Banyak juga mendefinisikan anak jalanan sebagai risk children atau anak yang berisiko tinggi (Jurnal Perempuan, 2007).

Realita anak jalanan tidak hidup sendiri, mereka juga tidak sepenuhnya miskin. Banyak anak jalanan diperkerjakan langsung oleh orangtuanya atau preman-preman yang dijadikan pelindung mereka. Semua anak jalanan rentan dengan tindak risiko kekerasan, terutama anak jalanan perempuan. Sebelum memasuki dunia anak jalanan, para calon anjal akan mengalami ospek yang bertujuan untuk mengatur calon anak jalanan. Anak perempuan jalanan sangat berisiko mengalami kehamilan dini, penyakit reproduksi yang menular dan sebagainya.

Realitas di kota-kota besar menunjukkan jumlah anak jalanan semakin berkembang. Banyak risiko gangguan perkembangan fisik dan mental pada anak-anak jalanan baik mereka tanpa orangtua ataupun yang tinggal dijalanan dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarganya. Banyak contoh anak jalanan yang kita lihat dalam keseharian seperti :

-    Anak jalanan yang mengemis sambil menggendong anak kecil di lampu merah.
-    Anak-anak yang membawa kotak sumbangan dengan mengtasnamakan pembangunan masjid atau panti asuhan.
-    Anak-anak yang sejak kecil dilatih untuk meminta-minta dan aktivitas lain seperti mengamen.
-    Anak-anak yang dilibatkan mengemis
-    Ibu yang membawa anak/bayi untuk kegiatan mengemis

Sebagian dari anak jalanan masih bersekolah tetapi ada juga yang secara sengaja dipekerjakan oleh orangtuanya dan tidak bersekolah sama sekali. Ada juga yang tidak bersekolah meski punya keinginan bersekolah karena tidak diizinkan orangtuanya. Berawal dari sekali-sekali tidak masuk sekolah, lalu menjadi sebuah kebiasan, apalagi dengan ketidakhadirannya disekolah dan bercimpung di dunia jalanan menjadi upaya untuk menghasilkan uang. Ketika itulah pendidikan tidak lagi menjadi suatu kebutuhan meskipun pada awalnya si anak sendiri ingin belajar atau bersekolah.

Memberikan uang pada anak jalanan bukan sebuah solusi dalam rangka mensejahterakan mereka. Mereka terekspolitasi karena ketidakmengertian  anak-anak jalanan. Pada dasarnya setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, berhak mendapatkan kesehatan dan kesejahteraan, berhak mendapatkan jaminan akan masa depan. Para anak jalanan yang sudah terbiasa hidup di jalanan merasakan kebebasan di jalan yang tak bisa didapatnya di lembaga perlindungan atau keluarganya. Untuk itulah dibutuhkan kerjasama dari segala pihak untuk menangani persoalan ini.

Kamis, 03 April 2014 09:53

Berbagi Peran, Keluarga Bahagia

Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Jumat (28/3), Rifka Annisa bekerjasama dengan komunitas dampingan di kecamatan Wonosari dan Patuk daerah Gunung Kidul menyelenggarakan saresehan bertemakan, “Meraih Kebahagiaan Keluarga”. Acara ini merupakan salah satu rangkaian acara Hari Perempuan Internasional (IWD). Terdapat 60 peserta yang hadir dalam acara yang bertempat di Balai Desa Wareng, Wonosari, Gunung Kidul.

Acara dimulai pukul 13.30 WIB. Peserta saresehan antusias mengikuti saresehan. Lagu Indonesia Raya, sambutan dari kepala Desa Wareng dan ketua panitia acara mengiringi pembukaan acara. Diskusi dimulai dengan testimoni yang dibagi oleh Sujatmiko, anggota komunitas Semin, dan Sutik Muslimah, anggota komunitas Siraman.

“Berbagi peran itu luar biasa, kebahagiaan keluarga pun tercipta. Indahnya berbagi peran dalam keluarga,” ungkap Sujatmiko, lelaki paruh baya yang sudah menerapkan prinsip berbagi peran dalam keluarga sejak mengikuti komunitas dampingan Rifka Annisa di Gunung Kidul.

Lain Sujatmiko, lain pula Sutik Muslimah. “Kami (keluarga-red) bekerja bersama, kami sangat bahagia”, komentar Sutik mengawali testimoninya. Sutik mengajak kaum adam untuk bersama-sama bekerja bersama dalam keluarga dalam segala hal, tanpa membedakan mana pekerjaan perempuan dan lelaki. Sutik juga memaparkan kegiatan seperti inilah yang justru mendekatkannya dengan keluarga.

Acara dilanjutkan kembali dengan penyampaian beberapa materi dari 2 narasumber, yakni Thantowi selaku manager divisi pendampingan dan pengorganisasian Rifka Annisa, dan juga Sugasto selaku Kepala KUA Wonosari.
Thantowi memaparkan bahwa masyarakat perlu mengoreksi stereotype mengenai laki-laki, di mana laki-laki hatus menjadi pemimpin atau selalu diutamakan. Perempuan dan laki-laki sama dan memiliki hak yang sama. Sehingga berbagai peran dalam keluarga tanpa membedakan pekerjaan laki-laki atau perempuan akan lebih membuat keluarga menjadi harmonis. Sugasto juga menambahkan bahwa keluarga adalah miniatur kecil tapi dapat mempengaruhi masyarakat dan negara.

Di akhir acara, diadakan pembagian doorprize yang diundi secara acak oleh panitia. Terdapat sekitar 30 doorprize yang dibagikan yang berisikan peralatan rumah tangga. Diharapkan saresehan ini dapat menambah pengetahuan dan keberanian para peserta untuk berbagi pengalaman dan berbgai peran dalam keluarga.

46419203
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7973
93011
271448
306641
46419203