Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Pengumuman hasil ujian merupakan suatu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh siswa. Perjuangan selama beberapa hari mengikuti ujian sebagai penentu kelulusan dijadikan sebuah pencapaian prestasi yang dikerjakan selama 3 tahun sekolah. Tidak dipungkuri setiap hasil UAN diumumkan selalu ada euphoria yang dilakukan siswa, apalagi tindakan mengacu pada hal negatif seperti mencoret baju, konvoi dijalanan dengan motor, melakukan kegiatan onar bahkan anarkis yang meresahkan masyarakat. Menurut Ryan Sugiarto, pengamat pendidikan menyebutkan aksi coret mencoret seragam yang dilakukan oleh siswa adalah hal biasa. Permasalahan yang terjadi adalah ketika aksi euforia pasca ujian itu menganggu masyarakat dengan aksi anarkis.
Memang aksi euforia pasca ujian yang dilakukan siswa di Yogyakarta tidak separah di Jakarta. Di Jakarta sempat terjadi tawuran antar dua belah pihak sekolah disebabkan aksi kelulusan. Euforia pasca ujian di Yogyakarta cenderung aman, hal ini terkait dengan faktor kultur antar keluarga masih terjaga dan pengaruh media masih bisa diminalisir. Sementar di kota-kota besar yang lain dimana media berpengaruh besar bagi kehidupan warga, perlu dilakukan pengamanan terutama di lingkungan keluarga.
Budi Wulandari, lonselor divisi pendampingan dari Rifka Annisa menyebutkan tingkat kenakalan remaja tidak terlepas dari pengaruh media. Sehingga diperlukan sikap untuk menangani peran media dalam membentuk karakter remaja. Wulan juga melakukan pemeriksaan dari berbagai media di Yogyakarta, di suatu daerah di Indonesia, para remaja yang sudah lulusa ujian pergi ke losmen dalam rangka ritual kelulusan mereka. Kebiasaan ini menurutnya sangat ironis, terutama mencoret-coret baju padahal bajunya bisa disumbangkan.
Pemaknaan ujian di Indonesia memang harus dikoreksi, di Indonesia sistem ujian masih dilihat dari NIM dimana hasil NIM dalam ijazah dijadikan jenjang untuk melamar kerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Defirentia One, relawan divisi humas dan media, Rifka Annisa memberikan saran kepada pihak sekolah, guru agar bisa mengarahkan anak didiknya sesuai dengan potensinya. Jadi tidak hanya terpatok dengan nilai saja namun juga skill. Para siswa diajak untuk berpikir ke masa depannya nanti.
Namun Devirentia One juga tidak memungkuri kendala stigma pembagian jurusan di SMA menjadi permasalahan tersendiri. Murid yang masuk kelas IPA dianggap sebagai murid cerdas yang bisa memasuki jurusan favorit di universitas seperti kedokteran atau teknik. Sementara murid kelas IPS atau bahasa dianggap sebagai murid ‘ecek-ecekkan’ atau murid yang kalah cerdas dibanding kelas IPA.
Ryan Sugiarto berpendapat ada anggapan yang salah di sistem pendidikan kita. Ryan menyarankan pemilihan jurusan hendaknya dipilih berdasarkan kesadaran bukan berdasarkan keinginan untuk dipuji cerdas. Sehingga siswa bisa menikmati apa yang dipelajari, di dunia pendidikan harusnya seperti itu, jangan melakukan pemaksaan terhadap anak agar bisa mendapatkan label baik. Guru juga harus melihat passion dari siswa sendiri.
Pendidikan karakter yang digembor-gemborkan pemerintah belum terlihat aplikasi praktisnya saja. Ryan sedikit ragu dengan kurikulum pendidikan karakter yang dibuat pemerintah apakah nantinya sama saja dengan P4 di zaman orde baru atau dasadarma pramuka. Jika menuntut pendidikan karakter bukan hanya siswa saja yang dituntut tetapi juga dilihat guru berkarakter seperti apa, sistem pendidikan berkarakter seperti apa, orangtua berkarakter itu seperti apa.
Untuk melakukan pencegahan aksi anarkis pasca ujian yang pertama kali dilakukan adalah penyeleksian berita yang dilakukan oleh media. Media harus teliti menyoroti pemberitaan terutama aksi kekerasan dalam rangka tawuran seperti pesta miras, tawuran, konvoi motor agar tidak dijadikan contoh oleh siswa-siswa lainnya. Media juga tidak seharusnya menyoroti kegagalan ujian yang nantinya menjadi kecemasan bagi siswa itu sendiri. Bukan hanya media juga yang bertanggung jawab akan hal ini. Sistem pendidikan dan sekolah tidak seharusnya menjadikan standar nilai kelulusan menjadi patokan keberhasilan siswa selama 3 tahun bersekolah. Apalagi tidak sedikit sekolah menjadikan persentase kelulusan siswanya menjadi ajang promosi sekolah. Guru juga ikut berperan bukan hanya mengajari hal-hal bersifat teknis dalam pelajaran namun juga pendidikan karakter yang ditanamkan. Orangtua juga mengajarkan sikap dan kejujuran pada siswanya ditanamkan sejak kecil. Standar kelulusan dijadikan momok bagi siswa sehingga tidak sedikit siswa melakukan kecurangan seperti mecontek atau menyewa joki agar bisa mengerjakan ujian dengan baik.
Euphoria dianggap oleh siswa adalah kebebasan dari aktivitas sekolah yang menjemukan. Sehingga diperlukan penekanan konsep diri pada siswa agar bisa memaknai ujian itu seperti apa. Apakah sebagai perjuanganmu selama 3 tahun? Apakah penentu masa depan dan semacamnya. Penanaman empati juga harus diberikan, siswa diajarkan untuk merasakan posisi sebagai teman yang tidak lulus. Bagaimana mungkin mereka bisa bersenang-senang sementara temannya yang sama-sama berjuang tidak lulus, bahkan ada yang sampai stress sampai bunuh diri. Permasalahan ini bukan masalah satu pihak saja, media, sekolah, guru dan orangtua juga ikut andil mengawasi dan memberikan kepercayaan pada murid-murid kita.