Minggu, 12 Januari 2014 15:04

Sejarah Rifka Annisa

Rifka Annisa yang berarti 'Teman Perempuan' adalah organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 26 Agustus 1993, organisasi ini diinisiasi oleh beberapa aktivis perempuan: Suwarni Angesti Rahayu, Sri Kusyuniati, Latifah Iskandar, Desti Murdijana, Sitoresmi Prabuningrat dan Musrini Daruslan.

Rifka Annisa hadir karena keprihatinan yang dalam pada kecenderungan budaya patriarki yang pada satu sisi memperkuat posisi laki-laki tetapi di sisi lain memperlemah posisi perempuan. Akibatnya, perempuan rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi, sosial, maupun seksual seperti pelecehan dan perkosaan. Adanya persoalan kekerasan berbasis gender yang muncul di masyarakat mendorong kami untuk melakukan kerja-kerja dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Rifka Annisa meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya berbagai faktor yang saling mendukung. Rifka Annisa menggunakan kerangka kerja ekologis (ecological framework) untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Secara sederhana, kerangka kerja ekologis ini digambarkan sebagai 5 lingkaran konsentris yang saling berhubungan satu dengan lainnya.

Lingkaran yang paling dalam pada kerangka ekologis adalah riwayat biologis dan personal yang dibawa masing-masing individu ke dalam tingkah laku mereka dalam suatu hubungan. Lingkaran kedua merupakan konteks yang paling dekat di mana kekerasan acapkali terjadi, yaitu keluarga atau kenalan dan hubungan dekat lainnya. Lingkaran ketiga adalah institusi dan struktur sosial, baik formal maupun informal, di mana hubungan tertanam dalam bentuk pertetanggaan, di tempat kerja, jaringan sosial dan kelompok kemitraan. Lingkaran keempat adalah lingkungan ekonomi dan sosial, termasuk norma-norma budaya dan sistem hukum negara. Sedangkan lingkaran paling luar adalah lingkungan ekonomi dan sosial global, institusi dan struktur sosial global, jaringan global dan kelompok kemitraan bilateral atau global.

Oleh : Ratnasari Nugraheni

Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) masih menjadi permasalahan serius yang tak kunjung berakhir. Di Indonesia, budaya patriakhi yang menempatkan laki-laki sebagai kaum dominan baik dalam keluarga maupun masyarakat menjadi salah satu penyebab KTP semakin abadi. Ketimpangan inilah yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan menjadi gejala sosial yang lumrah. Rifka Annisa mencatat, di tahun 2012 terjadi 228 kasus kekerasan terhadap istri dan merangkak naik di tahun 2013 menjadi 254 kasus. Kekerasan tak hanya berlangsung dalam ikatan hubungan pernikahan, tetapi juga terjadi di luar ikatan tersebut, contohnya saja kekerasan dalam pacaran.

Angka di tahun 2013 memang menunjukkan adanya penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yakni semula 27 kasus di tahun 2012 menjadi hanya sekitar 14 kasus. Akan tetapi, tetap saja KTP masih terus berlangsung dan perempuanlah yang menjadi objek sasarannya, sehingga mereka masih berada dalam posisi insecure. Lalu bagaimana di tahun 2014? Akankah perempuan tetap menjadi objek sentral dalam mata rantai kekerasan? Hal-hal tersebutlah yang diangkat Rifka Annisa dalam acara “Bincang Hari Ini” di Jogja TV bertajuk “Refleksi dan Resolusi 2014 Gerakan Perempuan: Catatan Perjalanan Rifka Annisa” pada hari Sabtu, 4 Desember 2014. Acara diskusi berlangsung selama 1 jam, sejak pukul 14.30 WIB dengan pembicara Suharti Mukhlas selaku Direktur Rifka Annisa dan Nurul Kodriati selaku Manajer Pelatihan dan Penelitian Rifka Annisa.

Bercermin pada tingginya angka kasus kekerasan yang terjadi di sepanjang tahun 2013, Rifka Annisa menyoroti hal tersebut dalam dua sisi. Pertama, pada akhirnya tingkat kesadaran masyarakat akan kekerasan semakin meningkat. Para korban kekerasan akhirnya mau terbuka, dimana awalnya hal-hal kekerasan khususnya dalam lingkup keluarga merupakan permasalahan yang tabu. Akan tetapi, masyarakat sudah mau berbicara ke publik pada saat ini. Kedua, memang kasus kekerasan pada tahun 2013 meningkat, namun hal yang perlu disoroti pula bahwa masih banyak kasus kekerasan yang belum dilaporkan karena korban belum berani berbicara ke publik. Selain itu angka-angka yang diperoleh Rifka Annisa merupakan sebagian kecil kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta terlebih Indonesia. Rifka Annisa hanya salah satu lembaga yang memberikan layanan terhadap kasus kekerasan. Tentu saja, lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang serupa memiliki catatan tersendiri yang masing-masing beragam.

Berdasarkan penelitian survey maskulnitas di tiga provinsi di Indonesia (Jakarta, Purworejo dan Papua yang dilakukan Rifka Annisa di tahun 2013, menunjukan setidaknya ada 80% laki-laki baik, yaitu lekaki pelaku kekerasan yang menyesal atas tindakan yang telah dilakukannya. Rifka Annisa sendiri memprediksi bahwa di tahun 2014, kesadaran para pelaku akan semakin banyak terekspose. Hal ini yang mendorong Rifka Annisa untuk menumbuhkan kesadaran dan mengajak kaum laki-laki untuk bersama-sama mencegah adanya tindakan KTP sebagai upaya preventif KTP. Tindakan nyatanya adalah dengan melibatkan ayah dalam pengasuhan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan  bahwa pengalaman kekerasan yang pernah dialami berkorelasi dengan tindakan yang dilakukan kelak, sehingga sangat diperlukan pengasuhan yang baik, adil gender, dan bebas kekerasan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu resolusi Rifka Annisa di tahun 2014.

Selain itu, Rifka Annisa juga memiliki resolusi untuk berfokus pada remaja. Banyak sekali remaja yang menjadi korban kekerasan sehingga perlu adanya penyuluhan dan penanaman kesadaran pada diri remaja. Rifka Annisa juga akan mengupayakan untuk bekerjasama dengan KUA untuk memberikan pelatihan pra-nikah sehingga tindakan KDRT dapat berkurang. Terakhir, Rifka Annisa akan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual melalui UU perlindungan anak dan UU KDRT. Dengan demikian, diharapkan di penghujung 2014 nanti, angka kekerasan dapat berangsur-angsur berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kamis, 02 Januari 2014 14:20

Semakin Peduli, Semakin Laki-Laki

Oleh : Megafirmawanti


“Semakin laki-laki peduli, semakin bertanggung jawablah ia”. Begitu ungkap Bupati Kulonprogo, dr H Hasto Wardoyo, SpOG (K) sebagai salah satu narasumber dalam talkshow pada Selasa (31/12). Talkshow yang bertempat di Gedung Kaca Kulon Progo ini terselenggara atas kerjasama Rifka Annisa, Pemerintah Daerah Kulon Progo dan Tim Penggerak PKK Kulon Progo.

Dalam sambutannya, Suharti, Direktur Rifka Annisa menjelaskan bahwa talkshow dalam rangka memperingati hari ibu ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi laki-laki pada pencegahan kekerasan perempuan dan anak di Kulon Progo. Suharti juga memaparkan bahwa 40% perempuan didunia telah bekerja diranah publik sehingga perlu dukungan laki-laki untuk mendukung kerja-kerja yang dilakukan perempuan.

“Survey secara global membuktikan bahwa anak yang dekat dengan ayah mempunyai kemampuan kognitif yang tinggi”, ungkap Suharti. Tak hanya itu, Ia juga memaparkan hasil survey Rifka Annisa di Papua, Purworejo dan Jakarta yang menunjukkan bahwa laki-laki yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap perempuan tidak begitu banyak. Artinya, tidak semua laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan.  

Talkshow yang berlangsung mulai pukul 10.00-12.00WIB tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Bupati Kulon Progo dr. H. Hasto Wardoyo, SpOG (K), Akademisi dari UGM Dr. Indria Laksmi Gamayanti, dan Moh. Tantowy sebagai perwakilan dari Rifka Annisa. Tema “Semakin Anda Peduli, Semakin Anda Laki-Laki” menjadi pembahasan menarik dalam talkshow yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari berbagai kecamatan dan desa di kulon Progo.    

Dalam bincang-bincang tersebut, Hasto banyak mengulas kepedulian laki-laki dalam rumah tangga. Ia menyebutkan salah satu indikator kehangatan keluarga adalah anak yang dekat dengan ayahnya. “Jika anak cuek saat ayah pulang kerja, maka instrospeksilah”, ungkap Hasto.  Ia juga mengatakan bahwa menjadi laki-laki yang peduli akan menambah kehangatan keluarga.

Dari perspektif psikologi, Dr Indria banyak mengulas tentang cara menjadi laki-laki yang peduli. Menurutnya, menjadi laki-laki peduli tidak harus dimulai dari tong kosong. “Keberanian untuk berproses adalah yang terpenting”, ungkapnya saat menjawab pertanyaan dari moderator Anisa Widayati Sastrowilogo. Menurut Indria, generasi laki-laki peduli harus dibentuk sejak dini, dimulai dari ayah-ayah yang sadar dan peduli saat ini.

Pandangan Rifka Annisa diwakili oleh Moh.Tantowi yang menjelaskan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Melalui talkshow tersebut Tantowy menegaskan tentang program laki-laki peduli yang dilakukan oleh Rifka Annisa. “Kami mendorong kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra”, ungkapnya.    

Talkshow yang ikut dimeriahkan Jogja Akustik tersebut mendapat antusias yang tinggi. Hal itu terlihat dari banyaknya partisipasi saat acara berlangsung. Murjio salah satu peserta dari desa Srikayana memberikan terstimoni bahwa acara tersebut sangat bagus untuk masyarakat pedesaan yang notabene pemahaman soal kesetaraannya masih kurang. “Apa yang kami dapat hari ini akan kami sebarkan pada warga desa karena masih banyak perilaku dimana suami merasa lebih tinggi dibanding istri” ungkapnya.

Bupati Kulon Progo, dr Hasto juga memberikan komentar positif terhadap acara yang diselenggarakan. “Wah bagus dan sukses, terbukti dengan banyaknya kades yang datang. Kami biasanya ngundang kades susah, tapi anda berhasil” ujarnya. Ia juga berujar bahwa salah satu implementasi kebijakan di Kulon Progo pada tahun 2014 ini adalah dibidang pendidikan yang berkaitan dengan kepedulian terhadap perempuan adalah kegiatan ekstrakurikuler dan penerbitan modul kesehatan reproduksi.   

43057567
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3929
42141
3929
289460
43057567