Oleh : Ratnasari Nugraheni
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) masih menjadi permasalahan serius yang tak kunjung berakhir. Di Indonesia, budaya patriakhi yang menempatkan laki-laki sebagai kaum dominan baik dalam keluarga maupun masyarakat menjadi salah satu penyebab KTP semakin abadi. Ketimpangan inilah yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan menjadi gejala sosial yang lumrah. Rifka Annisa mencatat, di tahun 2012 terjadi 228 kasus kekerasan terhadap istri dan merangkak naik di tahun 2013 menjadi 254 kasus. Kekerasan tak hanya berlangsung dalam ikatan hubungan pernikahan, tetapi juga terjadi di luar ikatan tersebut, contohnya saja kekerasan dalam pacaran.
Angka di tahun 2013 memang menunjukkan adanya penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yakni semula 27 kasus di tahun 2012 menjadi hanya sekitar 14 kasus. Akan tetapi, tetap saja KTP masih terus berlangsung dan perempuanlah yang menjadi objek sasarannya, sehingga mereka masih berada dalam posisi insecure. Lalu bagaimana di tahun 2014? Akankah perempuan tetap menjadi objek sentral dalam mata rantai kekerasan? Hal-hal tersebutlah yang diangkat Rifka Annisa dalam acara “Bincang Hari Ini” di Jogja TV bertajuk “Refleksi dan Resolusi 2014 Gerakan Perempuan: Catatan Perjalanan Rifka Annisa” pada hari Sabtu, 4 Desember 2014. Acara diskusi berlangsung selama 1 jam, sejak pukul 14.30 WIB dengan pembicara Suharti Mukhlas selaku Direktur Rifka Annisa dan Nurul Kodriati selaku Manajer Pelatihan dan Penelitian Rifka Annisa.
Bercermin pada tingginya angka kasus kekerasan yang terjadi di sepanjang tahun 2013, Rifka Annisa menyoroti hal tersebut dalam dua sisi. Pertama, pada akhirnya tingkat kesadaran masyarakat akan kekerasan semakin meningkat. Para korban kekerasan akhirnya mau terbuka, dimana awalnya hal-hal kekerasan khususnya dalam lingkup keluarga merupakan permasalahan yang tabu. Akan tetapi, masyarakat sudah mau berbicara ke publik pada saat ini. Kedua, memang kasus kekerasan pada tahun 2013 meningkat, namun hal yang perlu disoroti pula bahwa masih banyak kasus kekerasan yang belum dilaporkan karena korban belum berani berbicara ke publik. Selain itu angka-angka yang diperoleh Rifka Annisa merupakan sebagian kecil kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta terlebih Indonesia. Rifka Annisa hanya salah satu lembaga yang memberikan layanan terhadap kasus kekerasan. Tentu saja, lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang serupa memiliki catatan tersendiri yang masing-masing beragam.
Berdasarkan penelitian survey maskulnitas di tiga provinsi di Indonesia (Jakarta, Purworejo dan Papua yang dilakukan Rifka Annisa di tahun 2013, menunjukan setidaknya ada 80% laki-laki baik, yaitu lekaki pelaku kekerasan yang menyesal atas tindakan yang telah dilakukannya. Rifka Annisa sendiri memprediksi bahwa di tahun 2014, kesadaran para pelaku akan semakin banyak terekspose. Hal ini yang mendorong Rifka Annisa untuk menumbuhkan kesadaran dan mengajak kaum laki-laki untuk bersama-sama mencegah adanya tindakan KTP sebagai upaya preventif KTP. Tindakan nyatanya adalah dengan melibatkan ayah dalam pengasuhan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pengalaman kekerasan yang pernah dialami berkorelasi dengan tindakan yang dilakukan kelak, sehingga sangat diperlukan pengasuhan yang baik, adil gender, dan bebas kekerasan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu resolusi Rifka Annisa di tahun 2014.
Selain itu, Rifka Annisa juga memiliki resolusi untuk berfokus pada remaja. Banyak sekali remaja yang menjadi korban kekerasan sehingga perlu adanya penyuluhan dan penanaman kesadaran pada diri remaja. Rifka Annisa juga akan mengupayakan untuk bekerjasama dengan KUA untuk memberikan pelatihan pra-nikah sehingga tindakan KDRT dapat berkurang. Terakhir, Rifka Annisa akan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual melalui UU perlindungan anak dan UU KDRT. Dengan demikian, diharapkan di penghujung 2014 nanti, angka kekerasan dapat berangsur-angsur berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.