Selasa, 04 Februari 2014 09:33

Diskusi Buku Dan Refleksi Diri

*Oleh: Megafirmawanti

Rabu (29/01/14), perpustakaan Rifka Annisa dipenuhi dengan sekitar 18 orang peserta diskusi buku yang terlihat sangat antusias. Diskusi rutin yang dilaksanakan Divisi Media dan Humas Rifka Annisa tersebut membedah buku karya Chilla Bulbeck yang berjudul “Re-orienting Western Feminism: Women’s Diversity in a Postcolonial World”. Yula, mahasiswa ACICIS asal Australia sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengawali presentasinya dengan memaparkan isu diskriminasi gender dan feminisme dari persepktif buku karya Bulbeck.

Yula menjelaskan bahwa diskriminasi yang dibahas Bulbeck menitikberatkan pada diskriminasi rasis antara budaya timur dan barat. Diksiminasi yang dimaksudkan meliputi gender yang selalu menyinggung perbedaan perempuan dan laki-laki. Yula juga menjelaskan bahwa saat ini, diskriminasi gender yang ditemui seringkali menimbulkan efek tersendiri untuk kaum perempuan ketika berada dalam kehidupan yang bersinggungan dengan strata kelas, seks, dan ras.

Pemaparan tentang buku Bulbeck dilanjutkan dengan diskusi oleh peserta forum. Peserta diskusi diminta untuk merefleksikan diri dengan isu gender yang sedang dibicarakan.

Defirentia One, salah satu peserta diskusi bercerita bahwa keterlibatan dirinya pada isu gender dimulai ketika mendapat perkuliahan tentang gender dan politik dikampusnya. Sejak saat itu, One tertarik pada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan feminisme. Karena One adalah seorang perempuan, ketertarikannya semakin kuat dan pada akhirnya mengantarkannya untuk bergabung dengan Rifka Annisa WCC.

Tak hanya One, Fitri Indra Harjanti juga membagi pengalamannya sampai akhirnya ia terlibat dalam isu gender. 13 tahun lalu, Fitri terlibat dengan isu yang lebih luas seperti gerakan rakyat, petani, buruh, dan mahasiswa. Fitri melihat, pada setiap sektor gerakan itu, perempuan selalu ditindas. Misalnya, pada kaum buruh, pria dan wanita tertindas dan wanita selalu lebih tertindas sehingga ditindas dua kali. Hal itulah yang membuatnya berpikir bahwa perempuan harus dibela.

Beberapa wacana juga dikemukakan oleh peserta forum diskusi. Hani Barizatul Baroroh, pada akhir diskusi memberikan pendapatnya tentang gender dari persepktif industri periklanan. Menurutnya, kekerasan yang mungkin masih belum banyak disadari salah satunya adalah konstruksi media tentang konsep wanita cantik yang harus putih. Artinya, industri sengaja memanfaatkan perbedaan konsep laki-laki dan perempuan untuk mengarahkan wanita menggunakan produk-produk industri tersebut.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam diakhiri dengan pertanyaan sebagai bahan refleksi diri secara pribadi. Pertanyaan yang sangat menggelitik dan membutuhkan perenungan panjang. Bahwa, ketika persoalan dunia semakin kompleks dengan berbagai permasalahannya, bagaimanakah sebenarnya dunia yang ideal itu?

Kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam nyaris tanpa henti untuk memenuhi nafsu manusia dalam merebut penguasaan sumber daya alam. Terjadilah degradasi lingkungan, konflik agraria, kelangkaan pangan, dan kemiskinan. Dalam hal itu, kaum perempuan paling dirugikan. Rifka Media di sini turut menyuarakan ‘kebisuan’ yang selama ini dipendam masyarakat khususnya kaum perempuan yang dirugikan oleh eksploitasi alam, serta menyuarakan peran perempuan dalam menjaga lingkungan.

Download Rifkamedia No. 55

Rifka Annisa bekerja sama dengan GTZ melakukan kajian media cetak di Yogyakarta yang beredar di Bulan Juli-Oktober 2011. Kedaulatan Rakyat dan Radar Jogja dengan tema hak-hak perempuan dan anak. Selama tiga bulan tersebut terdapat 223 artikel yang terbit di Harian KR dan 174 artikel yang mucul di Harian RY terkait dengan isu di atas.
Kebanyakan pemberitaan tentang  isu perempuan dan anak didominasi dengan berita straight news, sebanyak 317 pemberitaan, feature 56 pemberitaan, 23 opini eksternal dan 1 pemberitaan dalam bentuk tajuk. Secara umum kedua media mendukung kesetaraan gender, dari total 220 pemberitaan dengan porsi 128 pemberitaan mendukung, 73 pemberitaan netral, 15 pemberitaan yang mendukung ketidaksetaraan, dan dengan posisi tidak jelas sebanyak 4 berita. Korelasi antara jenis berita dan keberpihakan media dengan isu kesetaraan gender didominasi oleh berita straight news sebanyak 174 pemberitaan, feature 31 pemberitaan dan opini eksternal 15 pemberitaan.

*Oleh : Ratnasari Nugraheni

Banyak orang menduga seseorang yang berkepribadian introvert adalah sosok pendiam, kutu buku dan anti sosial. Berbagai label negatif diberikan kepada para introvert sehingga sosok extrovert-lah yang menjadi contoh baik dalam masyarakat. Akan tetapi, Susan Cain dalam bukunya yang berjudul ‘Quiet: The Power of Introvert” mengungkapkan bahwa dibalik kepribadian introvert tercipta orang-orang sukses. Sisi-sisi positif para introvert inilah yang kemudian diulas oleh Susan Cain di dalam bukunya tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi Nurul Kodriati untuk membedah buku karya Susan Cain pada diskusi buku tanggal 22 Januari 2014, bertempat di Perpustakaan Rifka Annisa. Acara diskusi berlangsung selama 2 jam, dimulai pukul 10.00 WIB. Terdapat 11 orang peserta yang hadir pada acara diskusi tersebut.

Perspektif mengenai sosok extrovert lebih baik daripada introvert berkembang sejak abad 18 M yang dibarengi dengan era industrialisasi di Inggris. Sosok extrovert yang dijadikan sebagai icon dalam iklan-iklan sabun menjadikan introvert sebagai bentuk kepribadian yang kurang baik. Hal inilah yang membuat para orang tua resah akan tumbuh kembang anak-anaknya yang berpotensi menjadi anak dengan berkepribadian introvert.

Susan Cain menjawab keresahan tersebut dengan mengungkapkan bahwa orang yang berkepribadian introvert adalah sosok orang-orang pemerhati dan pendengar yang baik. Memang ketakutan mereka untuk berbicara di publik adalah bentuk keterbatasan yang sudah menjadi karakteristik para introvert. Salah satu cara yang digunakan oleh para introvert untuk menghadapi berbagai tekanan adalah dengan menyendiri. Dalam keadaan seperti inilah tercipta berbagai pemikiran brilian yang dihasilkan oleh para introvert.

Dalam bedah buku tersebut, muncul berbagai tanggapan dari beberapa peserta diskusi, salah satunya adalah Nina. Dalam teori Jung, Nina mengungkapkan bahwa ada kepribadian yang berada di tengah-tengah introvert dan extrovert, yaitu ambivert. Sosok orang berkepribadian ambivert adalah orang-orang yang memiliki sisi introvert dan extrovert. Menurut teori Jung, tidak ada orang yang benar-benar introvert atau extrovert. Terkadang pasangan suami-istri yang introvert dan extrovert adalah sosok pasangan ideal. Mereka adalah sosok pasangan yang bisa saling melengkapi, terlebih jika membangun usaha bisnis.

Selain Nina, ada juga Haryo yang mengaitkan kepribadian dengan sifat-sifat feminin dan maskulin yang nantinya akan mengarah ke teori sosial. Niken pun menambahkan bahwa hal-hal tersebut dapat dikaitkan pula dengan berbagai kultur masyarakat dengan karakteristik sosial yang beragam.
Melalui bedah buku ini, peserta diskusi menambah ilmu pengetahuan mereka dalam pemahamannya mengenai kepribadian. Peserta kemudian mengerti bahwa tidak semua orang introvert akan melahirkan sosok-sosok orang yang memiliki kepribadian negatif. Selain itu, dibutuhkan beberapa pendekatan yang intens untuk membuat potensi-potensi positif berkembang dalam orang-orang berkepribadian introvert.

Selasa, 28 Januari 2014 08:09

Konseling Perubahan Perilaku Laki-Laki

*Oleh: Ratnasari Nugraheni

Tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak dibarengi dengan tegaknya keadilan bagi para korbannya. Jumlah kasus KDRT yang melalui proses peradilan hukum hanya sekitar 10%, sedangkan 90% pelaporan kasus tidak dilanjutkan atau dicabut. Hal inilah yang melatarbelakangi Rifka Annisa gencar mendorong adanya konseling perubahan perilaku laki-laki. Isu inilah yang menjadi topik hangat dalam diskusi Rifka Annisa di acara ‘Bincang Hari Ini’di Jogja TV, pada hari Sabtu, 18 Januari 2014 yang dipandu oleh Denta Aditya, bersama Agung Wisnubroto selaku konselor laki-laki Rifka Annisa dan Nurul Kurniati selaku konselor hukum Rifka Annisa.

Nurul sendiri mengungkapkan bahwa pelibatan laki-laki ini memiliki tujuan untuk mempercepat upaya penghapusan KDRT, sehingga perlu adanya berbagai kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan konkret yang dilakukan Rifka Annisa yaitu melakukan kerjasama dengan Polres Gunung Kidul dan Bantul untuk menawarkan kesepakatan dalam kasus KDRT. Maksud dari kesepakatan itu sendiri adalah kesepakatan untuk mencabut laporan yang disertai dengan adanya konseling dalam proses recovery-nya, sehingga perceraian dapat dihindari dan KDRT tidak terulang kembali.

Agung pun menjelaskan bahwa melalui konseling, laki-laki diajak untuk mengenal diri dan memahami posisinya ketika berhadapan dengan perempuan. Selama ini, laki-laki selalu disandingkan dengan nilai-nilai dan konsep diri yang superior dan dominan, ditambah dengan budaya patriarki yang berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini, cara pandang laki-laki mulai diubah ke arah yang lebih positif melalui pembelajaran berkomunikasi yang baik, menjadi ayah yang dekat dengan anak dan istri, dan mengelola amarah.

Diskusi ini pun mengundang ketertarikan beberapa masyrakat daerah Yogyakarta, seperti Rudi di Bachiro, Dikin di Sleman, dan Lukito di Nogotirto. Rudi mengungkapkan bahwa tidak hanya laki-laki yang menjadi pelaku KDRT. Akan tetapi, perempuan juga memungkinkan menjadi pelaku. Hal ini ditanggapi secara positif oleh pembicara dari Rifka Annisa. “Memang perempuan juga bisa menjadi pelaku. Maka dari itu, dibutuhkan pola komunikasi asertif antar pasangan yang baik. Sehingga akan terbentuk relasi yang setara”, ungkap Nurul. Lain Rudi, lain Dikin. Dikin menanyakan mengenai permasalahan yang dialami oleh adiknya karena adanya Pria Idaman Lain (PIL). Secara gamblang, Agung Wisnubroto mengungkapkan perlu adanya perkenalan komitmen antara kedua pasangan dalam membangun keluarga. Jika memang masih ingin bersama, lakukanlah berbagai upaya nyata dalam menggali kembali relasi antar pasangan. Kemudian, menyimak apa yang menjadi kebutuhan pasangan. Tak dapat dipungkiri, perlu adanya bantuan dari pihak ketiga apabila dirasa sudah tidak mampu. Jikalau sudah menempuh proses peradilan, proses mediasi bisa dimaksimalkan. Lukito di Nogotirto pun menambahkan bahwa laki-laki harus mendengar perempuan sehingga tercipta dialog yang sehat.

Di akhir perbincangan, Nurul dan Agung menyampaikan beberapa manfaat pokok konseling perubahan perilaku laki-laki yaitu mereka mampu berkomunikasi dan mengelola marah. Hal ini sangat baik ketika para laki-laki akan membangun hubungan lama ataupun baru. Konsep ini juga baik dikenalkan sejak dini atau saat usia remaja. Nurul menambahkan bahwa dalam Undang-undang  Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) pasal 50, hakim dapat menjatuhkan putusan tambahan dengan mencantumkan konseling bagi kedua pasangan yang menginginkan untuk rujuk kembali. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai lembaga sehingga dapat menekan angka KDRT yang semakin melambung tinggi.

43057567
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3929
42141
3929
289460
43057567