Selasa, 25 Juli 2017 22:50

Kasus Kekerasan Seksual Melonjak

WATES - Kasus kekerasan seksual pada anak di Kulonprogo setiap tahun terus meningkat. Beberapa hal ditengarai menjadi penyebabnya, seperti budaya yang menganggap perempuan sebagai objek seksual, kesepian, sampai penetrasi internet yang semakin masif sehingga akses ke pornografi semakin terbuka.

Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kulonprogo mencatat, pada 2015 terjadi 15 kasus kekerasan seksual, meningkat menjadi 23 kasus pada 2016. Sedangkan sampai Juni 2017 telah terjadi 16 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual bahkan menduduki peringkat pertama untuk segala macam jenis kekerasan di Bumi Menoreh.

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinsos P3A Kulonprogo, Woro Kandini menyatakan, pelaku kekerasan seksual pada anak cukup beragam. Begitu pun jenis dan umur anak yang menjadi korban. "Jenisnya cukup mengerikan untuk diceritakan. Pada 2017, di Kulonprogo telah terjadi empat kasus ayah kandung yang memperkosa anaknya sendiri. Belum lagi kasus lain seperti seseorang yang memperkosa anak tetangga atau yang mencabuli temannya sendiri. Bahkan pada Maret lalu, ada anak usia tiga tahun yang menjadi korban," ucap Woro Kandini, Jumat (21/7).

Woro Kandini menyebut, ada berbagai hal yang membuat kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat, salah satunya pandangan sebagian masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksual. "Tayangan konten porno di internet juga menjadi satu penyebab, karena sangat memengaruhi perilaku seseorang. Tapi ada juga penyebab lain seperti kesepian dan lainnya. Penyebabnya memang cukup beragam tapi internet yang paling keras pengaruhnya," ujar Woro Kandini menambahkan.

Untuk menekan tingginya kasus ini, Dinas Sosial P3A Kulonprogo terus berupaya untuk menyosialisasikan Perda No.7/2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Sosialisasi dilakukan agar masyarakat tidak lagi bertindak sewenang-wenang terhadap anak, karena sudah ada peraturan yang bisa menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.

Konselor psikologi Rifka Annisa, Budi Wulandari menyampaikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami tindakan yang sama secara berulang, karena takut ancaman dari pelaku. Ancaman tersebut seperti kekerasan dalam bentuk lain atau penyebarluasan aib.

Ia mengatakan kekerasan seksual pada anak tidak akan langsung diketahui sampai muncul dampaknya bagi korban, misalnya anak yang biasanya ceria menjadi pendiam, sering cemas, ketakutan dan lainnya. "Kalau keluarganya peka pasti akan langsung menggali untuk mencari tahu apa yang terjadi," ujar Budi Wulandari.

Untuk menekan kasus ini, harus ada sinergi antara Pemkab Kulonprogo, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemerintah harus menghimbau masyarakat agar melaporkan semua tindak kekerasan pada anak, dan sebaliknya masyarakat harus aktif melaporkan.

 

I Ketut Sawitra Mustika

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

Sumber: Harian Jogja, Sabtu 22 Juli 2017

Selasa, 25 Juli 2017 22:09

Puluhan Anak Berurusan dengan Hukum

GUNUNGKIDUL - Kasus kejahatan melibatkan anak masih tinggi. Berdasarkan data dari kepolisian setempat, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017 ada puluhan anak berurusan dengan hukum.

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Gunungkidul mencatat pada 2015 jumlah kasus 16. Setahun kemudian naik menjadi 27 kasus. Tahun ini sampai 1 Mei tercatat delapan anak terimpit kasus hukum. "Anak-anak menjadi korban sekaligus pelaku kejahatan," kata Panit Humas Polres Gunungkidul, Iptu Ngadino kemarin (1/5).

Jumlah kasus bervariasi, mulai pencurian dengan kekerasan hingga pencabulan. Jumlah korban didominasi anak perempuan. Maraknya tindak kejahatan melibatkan anak harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, idealnya ada upaya pencegahan. "Pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tapi semua pihak harus terlibat. Sehingga kasus yang muncul dapat ditekan," ujar Ngadino.

Selama 2015 hingga 2017 tercatat 35 kasus kejahatan yang melibatkan anak. Pada 2017 unit PPA menangani delapan perkara. Satu anak terlibat pencurian dengan kekerasan, enam kasus persetubuhan dan pencurian satu kasus.

Kami berharap orangtua lebih waspada. Menjaga anak terutama yang mulai tumbuh dewasa karena rentan menjadi korban dan pelaku kejahatan. Pengawasan intensif mendesak dilakukan. "Bagaimana pun kesibukan orangtua, perhatian dan pengawasan terhadap anak harus diutamakan," kata Ngadino.

Manajer Humas dan Media LSM Rifka Annisa, Defirentia One, prihatin dengan tingginya kasus kejahatan melibatkan anak. Dari data yang dimiliki Rifka Annisa, selama 2016 terdapat 43 anak menjadi korban kekerasan. "Kasusnya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, perdagangan anak serta kekerasan dalam pacaran," kata Defirentia.

Sebanyak 70 persen merupakan perkara kekerasan seksual, 16 diantaranya telah memiliki putusan hukum tetap. Rata-rata untuk kasus seksual anak, hukuman bagi pelaku tujuh tahun penjara.

Namun ada juga kasus yang dihentikan penyidikannya. Korban merupakan anak 12 tahun sementara pelaku dewasa. Penyidikan dihentikan karena hasil pemeriksaan kejiwaan menunjukkan pelaku terganggu jiwanya.

"Ada juga perkara dicabut karena ada kesepakatan damai kedua pihak. Laporan dicabut karena dinikahkan dengan pelaku," kata Defirentia. (gun/iwa/er)

 

Sumber: Jawa Pos Radar Jogja, Selasa 2 Mei 2017

Yogyakarta (20/7) Poltekes Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan kunjungan ke Rifka Annisa Women Crisis Center sebagai suatu wadah untuk menimba ilmu atau mendapatkan informasi yang jelas khususnya mengenai kasus korban kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak. Sebanyak 36 orang mahasiswi dan 2 orang dosen dari Poltekes mengikuti acara kunjungan dan diskusi tersebut.

Harapannya ketika kita mengadakan kunjungan ke Rifka Annisa, mahasiswi dapat mengetahui metode-metode seperti apa yang akan dilakukan ketika menghadapi kasus kekerasan,” tegas Niken, salah seorang dosen di Poltekes DIY.

Dalam pertemuan, Suharti selaku direktur Rifka Annisa menyampaikan materi-materi yang terkait dengan lembaga Rifka Annisa serta menjelaskan beberapa kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa sendiri. Selain Suharti, Khoirun Ni’mah selaku staf Divisi Humas Media juga memberikan pemaparan mengenai sarana media yang dipakai oleh Rifka Annisa untuk melakukan promosi dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, Sabar Riyadi selaku konselor laki-laki di Rifka Annisa juga berbagi cerita mengenai kasus-kasus yang ditangani selama berada di lembaga tersebut.

Dalam pertemuan juga jelas disampaikan tentang latar belakang berdirinya lembaga Rifka Annisa, tokoh-tokoh pendiri serta visi misi dan sistem kerangka kerja ekologis Rifka Annisa. Selain itu Suharti juga memperlihatkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa. Informasi yang jelas didapatkan oleh Poltekes DIY sesuai dengan harapan dan beberapa pertanyaan diajukan oleh peserta. Suharti juga menjelaskan berbagai metode yang dapat digunakan oleh bidang kesehatan jika menghadapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Baik itu kekekerasan seksual, pemerkosaan, dan pencabulan, para korban bisa mendapatkan pertolongan yang layak,” tegas Suharti. (Lamtiar Tambunan)

 

*Lamtiar Tambunan adalah mahasiswa magang dari Sekolah Teologi Medan.

Gunungkidul (19/7) - Siswa SMK Negeri 1 Ngawen, Kabupaten Gunungkidul mengadakan pertunjukkan drama dalam rangkaian kegiatan Pengenalan Lembaga Sekolah (PLS) sebagai salah satu cara untuk mempermudah anak-anak kelas X memahami permasalahan remaja yang terjadi di sekitarnya. Pertunjukan drama sepanjang 30 menit tersebut membawakan cerita mengenai “Relasi Sehat”. Sebanyak 357 orang siswa yang hadir saat itu menunjukkan respon yang begitu antusias.

Pendidik sebaya yang setahun terakhir ini didampingi oleh Rifka Annisa menyadari bahwa akan lebih menarik untuk mensosialisasikan “Relasi sehat” melalui pertunjukan drama. Komunitas pendidik sebaya pun menyepakati untuk melakukan pertunjukan drama dengan judul Pacaran Masa Kini. Pertunjukan drama tersebut menceritakan dua jenis relasi anak masa kini dalam menjalin sebuah hubungan, yaitu pergaulan tanpa kontrol yang tanpa memikirkan masa depan, dan menjalin relasi yang sehat dengan memikirkan pendidikan sebagai tujuan utama dalam kehidupan.

Kegiatan drama tersebut diperankan oleh Hendra, dkk, dan inti dari drama yang mereka perankan ialah mencegah terjadinya pernikahan anak. Dalam mengakhiri drama tersebut, Hendra mengatakan “Contohlah relasi yang baik dan pikirkanlah pendidikanmu terlebih dahulu. Kita tidak salah dalam berpacaran tetapi janganlah pacaran membuatmu menjadi hancur.”

Setelah pertunjukan drama yang dibawakan oleh komunitas pendidik sebaya maka untuk menambah penjelasan dari drama, pihak Rifka Annisa mengadakan sosialisasi “Relasi Sehat” untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya menjalin sebuah hubungan dan bagaimana sesungguhnya dinamika anak remaja. Sosialisasi “Relasi sehat” yang dilakukan oleh Rifka Annisa memperkenalkan siapa sesungguhnya remaja dan kerentanan-kerentanan remaja yang sering sekali menjadi korban. Karena kurangnya pengontrolan diri dari remaja membuatnya menjadi terjerumus sebagai korban maupun pelaku kekerasan.

Sifat remaja yang cenderung labil membuat mereka bisa menjadi korban kekerasan secara berkelanjutan. Mengadakan sosialisasi “Relasi sehat” kepada siswa baru merupakan suatu pilihan yang disepakati oleh pihak sekolah dengan Rifka Annisa, karena didasari dengan banyaknya pernikahan dini yang masih tejadi di wilayah Gunungkidul akibat relasi yang tidak baik. Karena itulah besar harapan dari Rifka Annisa dengan adanya sosialisasi “Relasi Sehat”, maka para remaja dapat menjalin sebuah relasi yang baik dan menurunkan persentasi angka pernikahan anak sehingga generasi bangsa semakin berpendidikan dan semakin maju. (Lamtiar Tambunan/Laras Intansari)

 

*Lamtiar Tambunan dan Laras Intansari adalah Mahasiswa magang di Divisi Humas dan Media Rifka Annisa

Yogyakarta (14/7) – Mahasiswa Public Health yang tergabung dalam the Australian Consortium for “In-Country” Indonesian Studies (ACICIS) mengunjungi Rifka Annisa pada hari Jumat, (14/7). Seperti yang diungkapkan Wulan, perwakilan dari ACICIS, kunjungan tersebut bertujuan untuk mempelajari tentang Rifka Annisa dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta tantangan-tantangan yang dihadapi.

            Diskusi antara Rifka Annisa dan ACICIS berlangsung pada pukul 14.00 wib di Aula Rifka Annisa. Diskusi dipandu oleh Defirentia One selaku Manager Divisi Humas dan Media serta ditemani Nurul Kurniati, salah satu konselor di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Diskusi dihadiri oleh 40 mahasiswa yang tergabung dalam ACICIS dan juga mahasiswa magang dari Rifka Annisa.

            Sesi awal, diskusi dimulai dengan pemaparan Defirentia One mengenai Rifka Annisa secara umum. Pembahasan berfokus pada profil, visi-misi, divisi-divisi hingga program-program Rifka Annisa.

            “Kami (Rifka Annisa) meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Jadi tidak hanya karena satu faktor, tapi multilevel factor,” ungkapnya mengenai kerangka kerja ekologis yang digunakan oleh Rifka Annisa. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi terdiri dari faktor individu, keluarga/hubungan personal, komunitas/masyarakat, dan struktur nasional serta global,” ungkap One.

            Untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annisa pun melakukan cara-cara sesuai dengan kerangka kerja tersebut melalui konseling psikologis, pendampingan hukum, perawatan medis, dan menyediakan rumah aman (shelter). Bahkan konseling psikologis tidak hanya untuk perempuan tetapi juga laki-laki. Hal ini disebabkan akan lebih efektif apabila penanganan kasus melibatkan kedua belah pihak.

            Selain itu, One, panggilan akrab Defirentia One, juga memaparkan data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani Rifka Annisa dari tahun 2011-2016 meliputi jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Dalam Pacaran, Perkosaan, Kekerasan Seksual, dan sebagainya.

            Berdasarkan data tersebut, kasus yang paling banyak terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jessie, salah satu peserta, menuturkan bahwa di Australia sendiri kasus yang sering terjadi adalah kekerasan seksual. Sementara di Indonesia, menurut One, penyebab kekerasan dalam rumah tangga diantaranya adalah ketidakmampuan dalam manajemen emosi, permasalahan ekonomi, hingga adanya ketidaksetaraan gender.

            Nurul Kurniati menjelaskan kepada salah satu peserta diskusi yang bertanya tentang upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga sebelum menikah. “Ketika seseorang akan menikah, harus ada ada komitmen. Komitmen harus ada antara pasangan yang akan menikah karena adanya komitmen untuk mencegah terjadinya KDRT.”

            Ia juga mengungkapkan bahwa berkaitan dengan kasus perjodohan, belum diatur secara legal di Indonesia, hanya diatur dalam hukum adat. Untuk perkawinan sendiri, di Indonesia terdapat Undang-Undang yang mengatur hal tersebut. Menjawab pertanyaan Ali, salah satu peserta diskusi, tentang program edukasi ke anak-anak terkait anti kekerasan, One mengungkapkan Rifka Annisa memiliki program Rifka Goes to School dan Rifka Goes to Campus sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya kekerasan. (Ana Widiawati)

 

*Ana Widiawati adalah mahasiswa magang dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang.

46778267
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1589
12924
286634
343878
46778267