Yogyakarta (14/7) – Mahasiswa Public Health yang tergabung dalam the Australian Consortium for “In-Country” Indonesian Studies (ACICIS) mengunjungi Rifka Annisa pada hari Jumat, (14/7). Seperti yang diungkapkan Wulan, perwakilan dari ACICIS, kunjungan tersebut bertujuan untuk mempelajari tentang Rifka Annisa dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta tantangan-tantangan yang dihadapi.
Diskusi antara Rifka Annisa dan ACICIS berlangsung pada pukul 14.00 wib di Aula Rifka Annisa. Diskusi dipandu oleh Defirentia One selaku Manager Divisi Humas dan Media serta ditemani Nurul Kurniati, salah satu konselor di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Diskusi dihadiri oleh 40 mahasiswa yang tergabung dalam ACICIS dan juga mahasiswa magang dari Rifka Annisa.
Sesi awal, diskusi dimulai dengan pemaparan Defirentia One mengenai Rifka Annisa secara umum. Pembahasan berfokus pada profil, visi-misi, divisi-divisi hingga program-program Rifka Annisa.
“Kami (Rifka Annisa) meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Jadi tidak hanya karena satu faktor, tapi multilevel factor,” ungkapnya mengenai kerangka kerja ekologis yang digunakan oleh Rifka Annisa. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi terdiri dari faktor individu, keluarga/hubungan personal, komunitas/masyarakat, dan struktur nasional serta global,” ungkap One.
Untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annisa pun melakukan cara-cara sesuai dengan kerangka kerja tersebut melalui konseling psikologis, pendampingan hukum, perawatan medis, dan menyediakan rumah aman (shelter). Bahkan konseling psikologis tidak hanya untuk perempuan tetapi juga laki-laki. Hal ini disebabkan akan lebih efektif apabila penanganan kasus melibatkan kedua belah pihak.
Selain itu, One, panggilan akrab Defirentia One, juga memaparkan data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani Rifka Annisa dari tahun 2011-2016 meliputi jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Dalam Pacaran, Perkosaan, Kekerasan Seksual, dan sebagainya.
Berdasarkan data tersebut, kasus yang paling banyak terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jessie, salah satu peserta, menuturkan bahwa di Australia sendiri kasus yang sering terjadi adalah kekerasan seksual. Sementara di Indonesia, menurut One, penyebab kekerasan dalam rumah tangga diantaranya adalah ketidakmampuan dalam manajemen emosi, permasalahan ekonomi, hingga adanya ketidaksetaraan gender.
Nurul Kurniati menjelaskan kepada salah satu peserta diskusi yang bertanya tentang upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga sebelum menikah. “Ketika seseorang akan menikah, harus ada ada komitmen. Komitmen harus ada antara pasangan yang akan menikah karena adanya komitmen untuk mencegah terjadinya KDRT.”
Ia juga mengungkapkan bahwa berkaitan dengan kasus perjodohan, belum diatur secara legal di Indonesia, hanya diatur dalam hukum adat. Untuk perkawinan sendiri, di Indonesia terdapat Undang-Undang yang mengatur hal tersebut. Menjawab pertanyaan Ali, salah satu peserta diskusi, tentang program edukasi ke anak-anak terkait anti kekerasan, One mengungkapkan Rifka Annisa memiliki program Rifka Goes to School dan Rifka Goes to Campus sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya kekerasan. (Ana Widiawati)
*Ana Widiawati adalah mahasiswa magang dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang.
Yogyakarta (24/2) – Rifka Annisa mendapat kunjungan singkat dari mahasiswa yang tergabung dalam ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) sebanyak 16 orang. Kegiatan Kunjungan ini berupa diskusi umum yang dipandu oleh Defirentia One selaku Manager Humas dan Media Rifka Annisa. Diskusi yang berlangsung selama 2 jam ini membahas terkait profil Rifka Annisa mulai dari Sejarah Pendirian, visi misi Program-program, hingga kesempatan melakukan Magang dan Penelitian bagi para Mahasiswa.
Dian Marin Purnama, selaku ketua Divisi Development Studies Immersion ACICIS sekaligus pendamping kunjungan menjelaskan bahwa ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) merupakan non-profit consortium di Yogyakarta yang beranggotakan 24 universitas di negara Australia, Selandia Baru, Inggris dan Belanda yang memfasilitasi mahasiswa asing, terutama universitas yang menjadi anggota konsorsium, untuk menjalani studi selama satu atau dua semester di instansi pendidikan Indonesia. Tujuan malakukan kegiatan ke rifka Annisa adalah untuk Memperkenalkan kepada Mahasiswa Asing terkait dengan isi-isu yang ada di indonesia. Salah Satunya adalah Isu mengenai Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak yang saat ini masih dihadapi oleh Rifka Annisa.
“Diskusi ini sangat menarik, membuatku mengetahui lebih dalam Rifka Annisa dan aku mendapatkan pengetahuan baru, Aku juga berniat untuk melakukan Magang disini, setelah menyelesaikan proposalku.” ujar Mira, salah satu peserta diskusi.