Sabar Riyadi: “Bekerja Sambil Beribadah”

Written by  Selasa, 25 Oktober 2016 16:35

Oleh: Claudia Rahmania Yusron, Mahasiswa Magang Universitas Brawijaya Malang, Jurusan Hubungan Internasional 

 

Di tengah-tengah terik matahari di kawasan Rifka Annisa Kompleks Jatimulyo Jambon, Yogyakarta. Seorang pria paruh baya bernama Sabar Riyadi mengenakan kaos abu-abu berkerah hitam, dengan bersahaja menyapa para staf dan manager Rifka Annisa WCC yang hilir mudik di dalam kantor. Ia merupakan pria kelahiran 46 tahun silam dan akrab dipanggil Sabar.

Ayah dari tiga anak laki laki dari pernikahan dengan Retnowati Sri Mulatsih ini telah mengabdi di Rifka Annisa WCC selama 15 tahun. Sebelum berkecimpung di Rifka Annisa WCC, ia sempat bekerja di bidang survei pemetaan di PT. Brantas Abipraya. Namun, pada tahun 2001 terjadi PHK sepihak dan mengharuskannya untuk mencari lowongan pekerjaan baru.

Berawal dari membaca Kedaulatan Rakyat tentang Konsultasi Rifka Annisa, Sabar mengetahui bahwa Rifka Annisa WCC sedang membutuhkan tenaga serabutan sebagai sistem pendukung, seperti merawat motor, menyiapkan motor atau sekarang lebih dikenal sebagai Divisi Internal. Ia tergugah untuk mendaftarkan diri pada posisi tersebut dan mulai bekerja di tahun yang sama.

Menurut Sabar, tugasnya pada saat itu selain di kantor juga berada di lapangan karena Rifka Annisa sedang membangun kantor di Jalan Jambon yang menjadi kantor lembaga tersebut hingga saat ini. “Saya harus bolak-balik lapangan dari kantor Rifka Annisa yang lama yakni di daerah Demangan Baru ke Jalan Jambon, untuk mengamati kondisi bangunan Rifka Annisa yang pada saat itu sudah mencapai 90%,” katanya.

Tahun 2002, semua staf Rifka Annisa pindah ke tempat baru di Jalan Jambon dan setelah itu Rifka Annisa WCC mampu membeli mobil operasional. Sabar menerangkan bahwa sejak itu ia bertugas sebagai supir untuk menjangkau para klien Rifka Annisa WCC yang merasa kesulitan untuk datang ke Jambon. Menginjak tahun 2004-2011 Sabar menghabiskan waktu di lapangan dengan para staf dari Divisi Pendampingan.

Dari situ ia belajar banyak mulai dari pelatihan konseling yang meliputi pengetahuan psikologi, maupun hukum. Hingga pada akhirnya ia mampu untuk melakukan konseling dengan para klien. Namun, karena pada saat itu Rifka Annisa WCC melayani klien perempuan saja, Sabar hanya dapat melakukan pengidentifikasian masalah atau assesment dan tidak dapat melakukan konseling lanjutan dan harus dirujuk ke konselor perempuan karena bisa  melanggar kode etik di Rifka Annisa WCC.

Pada tahun 2007, mulai adanya inisiasi untuk mengadakan konseling bagi laki laki, untuk perubahan laki laki. Namun, waktu itu masih belum ada modul yang dapat menjelaskan panduan untuk melakukan konseling laki-laki. Pada tahun 2011, Sabar mengikuti pelatihan menjadi konselor laki-laki bersama teman-teman lainnya dari berbagai kota di Indonesia, dengan fasilitator yang berasal dari LSM bernama Mozaic dari Afrika Selatan, atas dukungan dari WPF (World Population Fund).

Sejak tahun 2011, modul panduan konseling laki laki diterbitkan. Namun, pada saat itu Sabar menggunakan pendekatan kebutuhan klien, sehingga ia mendahulukan masalah apa yang sedang dialami klien pada saat itu. “Ya kalau  klien butuh cara pengendalian emosi, ya tentu saja itu yang saya dahulukan. Kemudian baru tema-tema yang lain,” kata Sabar.

Hingga saat ini Sabar menjadi konselor laki-laki, namun pada tahun 2011 ia diberi mandat untuk mengelola Guest House yang juga berfungsi sebagai pusat pelatihan. Dia menerangkan bahwa dulunya, ketika isu kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT mencuat dipermukaan sosial, Rifka Annisa WCC menjadi tempat tujuan belajar utama, dan didatangi para aktifis atau peneliti yang ingin belajar bagaimana cara menangani hal tersebut.

Melihat kondisi seperti itu, Rifka Annisa WCC sebagaimana LSM lain yang tergantung pada lembaga donor, ingin mengurangi ketergantungan terhadap lembaga donor, melalui penggalian dana dengan mencoba menjadikan pusat pelatihan tersebut menjadi unit bisnis yang berupa Guest House, yang masih berjalan hingga saat ini.

“Ada beberapa hal yang membuat saya betah mengabdi disini. Saya empati melihat kasus yang menimpa para klien, seperti pemerkosaan, KDRT, pencabulan, dimana yang menjadi pelaku, sebagian besar merupakan orang yang dikenal oleh korban  seperti bapak, paman, atau saudara,” imbuhnya.

Banyak kejadian unik dan menyentuh hatinya selama bekerja di Rifka Annisa, tidak jarang harus berhadapan dengan para pelaku yang sedang mencari tahu tempat perlindungan korban hingga mengintimidasi Rifka Annisa WCC. Namun, Sabar mengaku sudah terbiasa dengan adanya hal tersebut.  

“Momen-momen tersebutlah yang membuat saya tetap berada di Rifka Annisa, meskipun tidak sedikit kawan yang menawari saya kerja di proyek. Namun saya kira tempat saya adalah di Yogyakarta dan membantu orang lain. Inilah tempat seharusnya saya berada. Prinsip hidup saya juga adalah bekerja sambil beribadah dan mencari Ridho-Nya,” terang Sabar.

Prinsip hidup tersebutlah yang membuatnya terus berkarya dan berkontribusi di Rifka Annisa WCC. Pandangan hidupnya adalah ada Tuhan diatas manusia, sehingga apabila ia sering membantu orang lain, ia hanya berharap Tuhan yang akan membalasnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman Sabar terhadap persamaan gender atau jenis kelamin sosial juga membuatnya mengimplementasikan nilai-nilai tersebut kepada ketiga anak laki-lakinya di rumah. Ditambah lagi Sabar juga memiliki latar belakang sembilan bersaudara, tujuh diantaranya laki-laki dan sisanya perempuan. Hal ini membuat Sabar tidak asing dengan pekerjaan domestik rumah tangga. []

 

Read 3632 times Last modified on Rabu, 26 Juli 2017 11:33
46784348
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7670
19005
292715
343878
46784348