Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Sampai saat ini, bumi tempat berpijak manusia dihuni oleh lebih dari tujuh milar jiwa. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penyumbang terbanyak jumlah penduduk bumi. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 238,52 juta jiwa dan pada tahun 2025 diprediksikan jumlah tersebut akan meningkat menjadi 284,83 juta jiwa (Kompas, 3/3). Pertambahan penduduk yang hampir mencapai lima puluh juta jiwa ini harus dikendalikan salah satunya dengan mengendalikan total fertility rate (TFR). TFR adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh perempuan dalam usia reproduksi. Pada tahun 2010, TFR Indonesia adalah 2,49 dan Indonesia harus menurunkan TFR ini menjadi 2,14 pada tahun 2025 agar tercapai tujuan pengendalian penduduk (Kompas, 4/3).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah kini mulai menggiatkan kembali program Keluarga Berencana (KB). Program KB sebenarnya memiliki tujuan untuk menyejahterakan keluarga Indonesia dengan mengatur jumlah kelahiran, mendorong adanya kehamilan yang terencana, dan juga mengendalikan jumlah kelahiran dalam keluarga untuk menghindari timbulnya masalah sosial dan ekonomi karena beban pembiayaan keluarga yang terlalu tinggi.
Selain itu, program KB juga memiliki dua nalar yaitu nalar kependudukan dan nalar kesehatan reproduksi. Nalar kependudukan menempatkan program KB sebagai metode pengendalian jumlah penduduk sedangkan nalar kesehatan reproduksi menempatkan program KB sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kesehatan manusia dengan cara mencegah angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak yang dilahirkan.
Namun sayangnya, sampai saat ini, pelaksanaan program KB masih didominasi oleh nalar kependudukan. Nalar kependudukan ini sayangnya juga menempatkan tubuh perempuan sebagai objek kebijakan pengendalian penduduk. Contohnya pada zaman Orde Baru, banyak tentara yang memerintahkan para kader kesehatan untuk memaksa perempuan-perempuan yang sudah menikah untuk mengikuti program KB. Akhirnya program KB pada zaman Orde Baru menjadikan tubuh perempuan seperti mesin penghasil anak yang harus dikendalikan oleh negara dan akhirnya hidup perempuan menjadi tidak merdeka karena otoritas atas alat reproduksinya dimiliki oleh negara, bukan oleh perempuan itu sendiri.
Di zaman milenial ini, sudah bukan zamannya lagi perempuan menjadi objek represi demi tujuan pengendalian penduduk. Nalar kesehatan reproduksi dalam pelaksanaan program KB harus diutamakan. Selain itu, tanggung jawab pengendalian penduduk yang selama ini dibebankan kepada perempuan, sudah seharusnya juga ikut menjadi tanggung jawab laki-laki.
Laki-laki bisa turut beperan serta dalam program KB karena sudah banyak bukti bahwa alat kontrasepsi tidak selamanya aman bagi perempuan. Beberapa alat kontrasepsi memiliki efek samping seperti hipertensi dan memicu obesitas. Oleh karena itu, sebagai laki-laki yang peduli terhadap kesehatan perempuan dan keluarga, sudah semestinya laki-laki juga ikut serta dalam program KB.
Salah satu metode kontrasepsi yang dapat digunakan oleh laki-laki adalah kondom. Kondom memiliki fungsi ganda sebagai alat kontrasepsi dan alat untuk mencegah penularan Infeksi Menular Seksual (IMS). Laki-laki yang ikut serta dalam program KB dan menggunakan kondom juga berarti ikut serta dalam program pengendalian penduduk yang selama ini hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Jika hal ini dapat dilakukan maka program pengendalian penduduk dapat menjadi tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan.