Oleh : Laksmi Amalia
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Kajian mengenai bioetik muncul di dunia ini sebagai tanggapan atas percobaan medis yang dilakukan oleh Nazi terhadap tahanan di kamp konsentrasi dan juga percobaan medis untuk melihat perjalanan penyakit sipilis di Tuskegee dimana percobaan medis tersebut tidak memperhatikan peri kemanusiaan. Kajian mengenai bioetik menekankan pada penerapan etika dalam penelitian biologi dan kedokteran. Selain berkaitan dengan penelitian, bioetik juga mengkaji permasalahan yang ada di bidang kedokteran dari segi ilmu filsafat, sosial, dan hukum misalnya mengenai masalah eutanasia.
Karena dirasa belum mampu mengakomodasi berbagai persoalan yang muncul dalam bidang kedokteran dan biologi terutama yang melibatkan kalangan minoritas, maka muncullah kajian baru yang disebut sebagai bioetik feminis. Bioetik feminis mengkaji berbagai penerapan etika dalam bidang kedokteran dan biologi secara lebih komprehensif jika dibandingkan dengan kajian bioetik tradisional karena bioetik feminis mengkaji berbagai permasalahan dengan mempertimbangkan ras, agama, gender, dan status ekonomi serta sosial. Bioetik feminis berfokus pada kebutuhan- kebutuhan khusus komunitas marginal yang disesuaikan dengan cara pandang pribadi serta disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat.
Bioetik feminis lahir sebagai sebuah kerangka berfikir yang digunakan untuk menganalisa berbagai permasalahan yang timbul terutama yang berkaitan dengan bidang kesehatan, kedokteran, dan biologi. Beberapa permasalahan yang coba dianalisa dan dicari solusinya dengan pendekatan bioetik feminis antara lain aborsi, penapisan kanker mulut rahim untuk perempuan, kesehatan reproduksi LGBTIQ, dan pemberian vaksin. Pendekatan bioetik feminis bukan hanya lebih memihak kepada kaum marginal tetapi juga mengedepankan kebebasan untuk memilih dimana setiap keputusan berada ditangan setiap individu tanpa tekanan dari pihak lain.
Salah satu contoh permasalahan dalam bidang kesehatan yang coba untuk dikaji dengan kerangka berfikir bioetik feminis adalah pemberian vaksin HPV (Human Papilloma Virus) yang berguna untuk mencegah kanker leher rahim pada remaja perempuan. Di berbagai tempat di dunia, banyak warga yang menolak pemberian vaksin HPV kepada anak perempuannya karena serangan HPV dan kasus kanker leher rahim berkaitan dengan hubungan seks yang tidak aman. Banyak warga enggan memberikan vaksin ini kepada anak-anak perempuannya karena penjelasan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual yang berkaitan dengan pemberian vaksin HPV merupakan masalah yang sangat sensitif.
Jika para praktisi kesehatan masyarakat menggunakan pendekatan bioetik tradisional untuk meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya vaksinasi HPV maka langkah yang dilakukan antara lain dengan memaksakan terlaksananya program vaksinasi tanpa melibatkan masyarakat dalam merancang program vaksinasi tersebut. Selain itu, dengan pendekatan bioetik tradisional maka kebijakan dan program yang berkaitan dengan vaksinasi HPV akan dilaksanakan tanpa mempertimbangkan ras, agama, gender, dan keragaman seksualitas.
Namun jika para praktisi kesehatan masyarakat memilih pendekatan bioetik feminis maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan dan program yang berkaitan dengan vaksinasi HPV akan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kearifan lokal dan nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat setempat. Dengan cara pendekatan seperti ini, maka masyarakat akan jauh lebih mempercayai pentingnya program vaksinasi HPV dan bersedia untuk terlibat aktif dalam pelaksanaannya.
Pendekatan bioetik feminis memiliki pengaruh positif dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam bidang kesehatan, kedokteran, hukum, maupun biologi. Salah satu pengaruh positifnya adalah adanya perubahan dalam peraturan perundangan yang lebih memihak kaum marginal dan memberikan lebih banyak kebebasan untuk memilih bagi setiap orang. Salah satu contoh dampak positif dari bioetik feminis adalah kebebasan untuk memilih jenis kelamin bagi mereka yang terlahir dengan jenis kelamin yang ambigu dan sulit untuk dikategorikan menjadi jenis kelamin perempuan atau laki-laki setelah para praktisi hukum mengkaji “Third Gender Law” di Jerman dengan pendekatan bioetik feminis.
(Disarikan dari presentasi Emma van den Terrell mengenai “Feminist Bioethics” di Aula Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 2 Juli 2014)