Oleh : Diana Putri Arini
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Seringkali kita heran mengapa seorang perempuan yang menjadi penyintas dalam hubungan kekerasan baik dalam pernikahan, pacaran atau pun keluarganya, memutuskan kembali lagi bersama pelaku. Orang-orang sekitar seringkali berusaha mencegahnya untuk kembali pada pasangannya, meski dia sadar hubungan tersebut merugikannya, dia tetap menjalin kembali hubungan yang sudah dia tinggalkan sebelumnya.
Fenomena inilah yang disebut oleh Dutton dan Painter (1981) sebagai traumatic bonding atau ikatan trauma. Ikatan trauma inilah yang menjelaskan mengapa penyintas wanita dalam hubungan kekerasan kembali lagi pada pasangannya yang sudah dia tinggalkan.
Ikatan (bonding) menurut Selye (2008) adalah proses biologis dan emosional yang membuat orang merasa memiliki ikatan sehingga membuatnya menjadi orang penting dalam hidupnya dari waktu ke waktu. Tidak seperti perasaan cinta ataupun rasa hormat, kepercayaan, ikatan ini bukanlah sesuatu yang bisa hilang. Ikatan bisa terjadi pada siapa saja pada sahabat, pada saudara, pada ayah dengan anaknya, pada sepasang kekasih. Ikatan terbentuk karena waktu yang dihabiskan bersama, pengalaman yang bahagia atau menyedihkan yang dialami bersama.
Ikatan trauma mengacu pada ikatan mendalam yang terbentuk pada penyintas dalam hubungan kekerasan dan pelaku kekerasan. Penyintas seringkali mengembangkan kesetiaan yang tinggi dan rasa belas kasihan pada pelakunya, meskipun mereka menyadari ikatan ini merugikan mereka
Dalam suatu hubungan baik pacaran, pernikahan atau relasi lainnya tidak dipungkuri akan terjadinya konflik, tidak sedikit konflik akan berpacu pada kekerasan. Kekerasan dalam suatu hubungan terjadi karena dua aspek : aspek pertama, adanya kekuatan tak berimbang. Kekuatan tak berimbang ini akan menyebabkan sebuah dominasi dalam suatu hubungan. Pelaku kekerasan mempersepsikan dirinya dominan atas pasangannya, sedangkan penyintas merasa dia memang pantas ditundukkan. Ferlita (2008) menyebutkan kontruksi pola pikir masyarakat yang membentuk figur laki-laki dan perempuan-lah yang menyebabkan adanya ketimpangan kekuasaan, selama ini perempuan dianggap sebagai mahluk lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki sehingga dianggap pantas menerima perlakuan semena-mena.
Aspek kedua yang terjadi dalam traumatic bonding adalah kekerasan yang terjadi berulang-ulang. Pola kekerasan dalam traumatic bonding dapat terjadi secara verbal, fisik, psikologis, maupun seksual dalam periode waktu tertentu. Penyintas merasa tidak berdaya menghadapi kekerasan yang dialaminya sehingga dia merasionalisasikan, dia memang berhak mendapatkan perlakuan seperti ini dan pada akhirnya menyebabkan dia tergantung pada pasangannya. Ketika kekerasan terjadi, pelaku akan menyesal karena melakukan kekerasan pada pasangannya, lalu pelaku akan menunjukkan itikad baik dalam rangka mendapatkan maaf dari pasangannya. Itikad baik ini dapat ditunjukkan dengan pemberian hadiah, meminta maaf yang tulus, mengatakan menyesal dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Walker (1970) menjelaskan bahwa jeda setelah kekerasan terjadi adalah fase honey moon, fase yang ditunggu dimana terjadinya peningkatan kasih sayang dan cinta yang dbangun. Menurut Dutton dan Painter (1981) penyintas seringkali membuat perspektif baru pada pelaku dimana kebaikan kecil yang ditunjukkan pelaku akan membuat penyintas berterimakasih sehingga mengabaikan kemarahan, dendam dan cara untuk menolong dirinya.
Ketika penyintas sudah muak dengan hubungannya, dia akan memutuskan meninggalkan pasangannya. Jika tidak ada dukungan sosial atau intervensi lebih lanjut pada penyintas akan membuatnya kembali pada pasangannya. Kekerasan yang dialaminya membentuk suatu trauma, karena kejadian kekerasan terjadi berulang kali ditambah lagi waktu yang dihabiskan berlangsung cukup lama membuatnya merindukan pasangannya, sehingga dalam jangka waktu tertentu dia akan kembali pada pasangannya. Tidak sedikit para penyintas malah membela pasangannya, menaruh simpati pada pelaku kekerasannya dengan mengatakan dia melakukan hal seperti itu karena masa lalunya tidak baik.
Traumatic bonding merupakan jebakan dalam suatu hubungan yang membuat penyintas kembali lagi pada pasangannya bagaikan karet gelang yang terbentang. Semakin dia berusaha untuk menjauhkan diri dari pasangan, ikatan yang ditarik itu akan mendorongnya untuk mendekati pasangan dengan perasaan emosi yang jauh lebih kuat. Traumatic bonding merupakan perasaan ambivalen yang terjadi pada penyintas kekerasan, disatu sisi dia membenci pasangannya namun tidak bisa melakukan hal untuk mencegah atau mengatasi kekerasan yang terjadi padanya, di sisi lain dia mencintai pasangannya meski dia seperti itu. Hal inilah yang membuat mereka bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan, mereka mencintai pasangannya walau sadar mereka disakiti, merekalah korban dalam hubungan tersebut.