PEMERKOSAAN oleh orang "tak dikenal" ternyata sering kali tidak dilakukan oleh orang yang tidak dikenal korban sama sekali, tetapi sering kali pelaku adalah orang yang sebenarnya dikenal korban. Setidaknya dikenal beberapa menit atau beberapa jam lalu sebelum pemerkosaan terjadi.

Kasus:

"Yth pengasuh konsultasi Rifka Annisa,

Saya Vi (25), selama ini bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor swasta di J. Sulit sekali bagi saya untuk menceritakan penderitaan saya dengan baik. Saya hamil tujuh bulan saat ini tanpa tahu siapa ayah anak saya. Selama ini saya kos di kota tempat saya bekerja. Saya punya teman, End, yang bekerja di sekitar tempat kos saya. End sangat baik dan ramah, kami berteman cukup baik. Ada teman lain yang memperingatkan bahwa dia bukan perempuan baik-baik, tetapi saya tidak percaya.

Akhir tahun 2003 saya diajak End ke rumah pamannya di luar kota. Ternyata di sana End mengadakan pesta ulang tahun dengan mengundang teman-temannya. Bagi saya, pesta itu biasa-biasa saja, hanya di tengah pesta tiba-tiba saya merasa mengantuk sekaligus pusing sekali sehingga End menyuruh saya tidur di salah satu kamar di sana. Paginya saya terbangun dalam keadaan tidak karuan, lemas, dan saya kesakitan ketika buang air kecil. Namun, saya pikir hanya kelelahan atau ada peradangan di kandung kemih saya.

Saya kembali ke aktivitas sehari-hari seperti biasa, tetapi saya mulai cemas ketika selama dua bulan berturut-turut saya tidak mendapat menstruasi. Dengan perasaan cemas, saya beli alat tes kehamilan dan saya mencoba sendiri. Ternyata saya hamil; saya tidak dapat menceritakan perasaan saya. Selama beberapa hari saya seperti melayang....

Saya cari End, ternyata dia sudah pindah kos. Bahkan orang yang diakui sebagai pamannya juga tidak tahu ke mana dia pergi.... Saya tidak dapat cerita ke orangtua karena mereka sudah tua dan sakit-sakitan. Jadi sekarang saya harus bagaimana? Saya tidak tahu...."

***

"RIFKA, saya karyawati umur 23 tahun. Saya ingin menceritakan beban batin saya berkaitan dengan peristiwa yang saya alami. Beberapa bulan lalu saya mengunjungi Nenek di desa pada kesempatan libur kerja.

Saya naik kendaraan umum seperti biasanya, tetapi kali ini sesuatu menimpa saya dalam perjalanan itu. Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam bus, tetapi ketika itu saya tidak sampai ke rumah Nenek. Saya benar-benar bingung karena ketika itu saya seperti tertidur dan ketika bangun hari sudah sore dan herannya saya berada di sebuah pemberhentian bus (halte), tanpa tahu apa yang telah terjadi pada saya dalam perjalanan tersebut. Saya pulang ke rumah masih dalam keadaan linglung, dan terasa sakit ketika buang air kecil.

Meski masih bertanya-tanya tentang peristiwa itu, saya tidak merasa curiga apa pun. Kecurigaan baru muncul ketika merasa ada yang salah dengan diri saya, ternyata saya hamil.... Saya tidak tahu yang harus saya lakukan, ke mana harus menyembunyikan diri? Karena tak menduga bahwa saya hamil, saya memang agak terlambat periksa sehingga kehamilan saya saat ini sudah cukup besar dan tidak mungkin digugurkan. Saya harus bagaimana?"

(Ra, di S)

Jawaban:

Mbak Vi dan Ra yang baik,

Kami ikut prihatin atas peristiwa yang menimpa Anda berdua. Meskipun modus dan latar belakang kejadiannya berbeda, sangat besar kemungkinan Anda berdua telah mengalami pemerkosaan oleh orang tak dikenal (stranger rape). Lebih memprihatinkan lagi, sekarang Anda berdua menjadi hamil akibat peristiwa tersebut.

Data selama ini menunjukkan pemerkosaan lebih sering dilakukan oleh seseorang yang telah mengenal korban. Kecuali, dalam situasi peperangan atau konflik bersenjata di mana pemerkosaan dijadikan sebagai "senjata" perang oleh pihak-pihak yang saling berseteru dan pelaku pemerkosaan adalah pasukan perang yang memerkosa secara massal perempuan dari kelompok musuhnya yang jelas tidak mereka kenali.

Dalam situasi nonkonflik, pemerkosaan lebih sering dilakukan orang yang dikenal korban karena memang salah satu motif di balik kekerasan seksual adalah perwujudan atau manifestasi dari ungkapan "power-over" atau menguasai dari seorang lelaki terhadap perempuan yang dijadikan targetnya.

Berdasarkan beberapa riset pada kasus pemerkosaan di AS, teridentifikasi bahwa 73 persen pemerkosaan oleh orang tak dikenal ini biasanya dilakukan seseorang yang sebelumnya mengenal korban dan kemudian mereka melakukan pemerkosaan terhadap korban dengan cara "mengaburkan identitasnya", seperti memakai topeng wajah, menyeret korban ke tempat gelap, termasuk menggunakan cara tertentu yang menyebabkan korban tidak sadarkan diri terlebih dahulu sebelum diperkosa. Jadi, sangat jarang pemerkosaan terjadi tiba-tiba, melainkan telah direncanakan karena pelaku telah relatif mengenal perempuan yang menjadi sasarannya.

Dengan demikian, sangat mungkin pelaku pemerkosaan terhadap Anda adalah orang yang telah Anda kenal sebelumnya, walau mungkin baru Anda kenal beberapa menit atau beberapa jam sebelum pemerkosaan terjadi. Coba Anda ingat, apakah pada pesta malam itu Mbak Vi berkenalan dengan beberapa kawan lelaki End dan sempat mengobrol, lalu disodori minum olehnya? Mbak Ra juga, apakah selama dalam perjalanan di bus Anda duduk bersebelahan dengan penumpang yang sempat mengajak berkenalan atau berbicara? Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pelakunya adalah orang yang memang sama sekali tidak Anda kenal. Siapa pun mereka, mereka telah dengan licik menjadikan Anda "target" perbuatan kriminal tanpa meninggalkan jejak.

Sayang seribu sayang memang, begitu Anda merasa ada yang tak beres pada organ reproduksi, Anda tidak langsung memeriksakan diri ke dokter. Sebetulnya, setidaknya dalam masa 3 x 24 jam (72 jam) setelah pemerkosaan terjadi, bukti medis masih sangat mungkin untuk dikumpulkan (sperma pelaku, luka yang ada, dan sebagainya), serta deteksi dan intervensi dini terhadap kemungkinan kehamilan ataupun infeksi penyakit menular seksual masih mungkin dilakukan.

Namun, tentu saja itu semua sudah berlalu. Apa pun keadaan Anda berdua saat ini, hal paling utama untuk dilakukan adalah menemukan jalan terbaik bagi Anda berdua demi masa depan. Untuk itu kami sarankan Anda mengunjungi lembaga pendampingan perempuan (seperti Rifka Annisa) yang ada di kota Anda, dan mintalah informasi mengenai tempat yang kemungkinan dapat Anda singgahi untuk sementara dan melahirkan bayi yang tengah Anda kandung sekarang ini. Setelah sang bayi lahir, keputusan sepenuhnya tentu ada di tangan Anda, apakah akan mengasuh atau menyerahkan bayi tersebut kepada keluarga yang menginginkan untuk memiliki momongan.

Bagaimanapun juga, bayi yang Anda kandung saat ini adalah makhluk Tuhan yang berhak hidup layak. Percayalah Mbak Vi dan Ra, ada jalan keluar bagi Anda berdua atas persoalan ini. Bila Anda kesulitan menemukan organisasi perempuan sebagaimana yang kami sebutkan di atas, silakan kontak kami untuk mencoba ikut menemukan tempat yang dapat membantu Anda untuk proses tersebut.

Teruslah kuatkan batin Anda dengan doa dan usaha. Kami akan mencoba terus membantu dari jauh dan jangan ragu menghubungi kami. *

Kompas, Senin 09 Agustus 2004

Kamis, 19 April 2018 10:21

Suami Ingin Poligami

Yth. Rifka Annisa, saya Ibu Emi dari Jogja Utara. Saya ingin mengkonsutasikan masalah rumah tangga saya. Kami punya 2 anak, yang besar sudah kuliah, yang kecil masih SMA. Suami dan saya sama-sama bekerja, dan ekonomi kami cukup baik, bahkan lebih dari cukup. Hanya memang pernah sekali suami saya memperkenalkan saya pada seorang perempuan, dan mereka minta ijin agar suami boleh berpoligami. Hancur hati saya saat itu. Saya tidak sanggup memberi ijin. Saya sempat shock, dan sejak itu hal tersebut tidak pernah dibahas lagi oleh suami. Saya juga tidak berani menanyakan, karena takut mengganggu suasana rumah kami. Tapi hubungan saya dengan suami jadi lebih dingin. Saya diam saja, berusaha menampakkan bahwa tidak terjadi apa-apa, terutama di depan anak-anak. Sampai tiba-tiba saya mendapat surat panggilan dari pengadilan agama, ternyata suami saya menggugat cerai. Jelas saya kaget. Waktu saya tanyakan, dia tidak mau diajak bicara. Katanya, urusannya di pengadilan saja. Apakah ini karena saya tidak memberi ijin poligami pada suami? Saya tidak ingin bercerai karena khawatir psikis anak-anak nanti terganggu. Apakah kalau saya tidak datang ke persidangan bisa menggagalkan upaya suami saya? Apa yang harus saya lakukan?

JAWAB

Salam Ibu Emi,

Kami ikut sedih membaca surat Ibu, namun juga salut dengan ketegaran Ibu menghadapi permasalahan. Dalam hal suami ingin berpoligami, perlu ada penetapan izin poligami dari pengadilan agama. Ada berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2), disebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, keputusan memang ada di tangan Ibu, apakah mau memberi ijin pada suami atau tidak. Ibu menyetujui atau tidak menyetujui permintaan suami adalah hak Ibu, sehingga tidak perlu merasa bersalah dalam hal ini.

Dalam hal suai mengajukan gugatan perceraian, jka ingin memperjuangkan secara hukum, Ibu harus tetap mendatangi persidangan. Sebelum persidangan dimulai, akan dilaksanakan mediasi yang dilakukan oleh mediator yang ditunjuk pengadilan. Jika tetap dilanjutkan ke proses persidangan, Ibu dapat memperjuangkan keinginan Ibu melalui proses jawab-jinawab serta pembuktian dan saksi. Selain itu, Ibu dapat memperjuangkan hak Ibu dan anak-anak. Apabila Ibu tidak hadir, suami tetap dapat melanjutkan persidangan, dan hakim dapat menjatuhkan putusan verstek, yaitu putusan tanpa kehadiran pihak tergugat. Kemungkinan putusan hakim ada dua, yaitu menerima gugatan suami, yang berarti mengabulkan untuk bercerai, atau menolak gugatan suami, yang berarti tetap terikat pernikahan.

Saat ini, ketika suami mengajukan gugatan cerai, adalah momentum untuk merenungkan kembali, apakah suami masih memiliki keinginan memegang komitmen bersama Ibu dalam pernikahan ini. Dalam hal ini, komunikasi memang sangat dibutuhkan. Seandainya komunikasi berdua mengalami kebuntuan, ada baiknya Ibu mulai meminta bantuan pada keluarga, terutapa jika ada figur yang disegani suami, untuk menjembatani komunikasi atupun memediasi. Keterbukaan dalam keluarga ini juga Ibu butuhkan untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi, terutama membangun sistem dukungan baik bagi Ibu maupun anak-anak.

Mengenai proses hukum lebih lanjut, Ibu dapat berkonsultasi ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

Harian Jogja, 22 Maret 2018

Selasa, 17 April 2018 11:36

Pacar Posesif

 Yth Rifka Annisa, saya Ninda dari Jogja. Saya masih kuliah semester 3. Mau menanyakan tentang masalah dengan pacar saya. Sejak jadian sampai sekarang, dia sangat sering mengatur saya, terutama kegiatan yang saya ikuti. Saya baru bisa mengikuti suatu acara atau kegiatan di kampus kalau dia setuju. Kebetulan kami satu fakultas sehingga sangat mudah bagi dia mengetahui kegiatan saya. Selain itu, dia sering stalking sosmed yang saya punya dan suka komen macam-macam sama orang yang komen di status saya, terutama kalau itu teman laki-laki. Kadang tiba-tiba saya diblock sama teman saya tanpa saya tahu mengapa. Dia juga sering ngecek HP saya.

Awalnya saya nggak masalah dengan semua itu. Saya anggap itu adalah cara dia menunjukkan perasaannya pada saya. Lama-lama saya merasa tidak bebas pergi main atau melakukan apapun. Semua adalah dengan pengawasan dia. Jujur saja, saya tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Teman-teman juga mulai jarang mengajak saya keluar lagi, karena tahu kalau pacar saya suka marah sama saya. Kalau marah dia suka membentak. Tapi saya tidak berani memutuskan hubungan karena takut terjadi apa-apa sama dia, karena dia suka mengancam mau bunuh diri kalau saya macam-macam. Apa yang harus saya lakukan?

Jawaban:

Salam Mbak Ninda. Suatu hubungan dapat dikatakan sehat ketika dia membuat orang yang berada di dalam hubungan tersebut merasa nyaman, dapat berkembang, dan mengaktualisasikan diri dengan lebih baik. Mbak Ninda dapat merefleksikan perjalanan hubungan yang sudah berlangsung selama satu tahun. Apakah memang mencerminkan ciri hubungan sehat tersebut? Misalnya, selama hubungan berlangsung, apakah Mba Ninda mengalami perkembangan, secara pengetahuan misalnya saling bertukar informasi, memberikan akses ke kegiatan pengembangan diri, dan sebegainya. Kemudian secara sosial, apakah selama hubungan berlangsung lingkungan pertemanannya semakin berkembang atau menyempit?

Dari yang diceritakan, ada beberapa perilaku yang mencerminkan tindakan kekerasan. Misalnya mengekang gerak dan pergaulan, mengatur dan menyeleksi siapa saya yang boleh dijadikan teman dan mana yang tidak. Tindakan ini merupakan kekerasan karena ada kontrol yang dilakukan oleh pelaku kekerasan, untuk meneguhkan kuasa yang dimiliki. Perilaku kontrol ini juga ditunjukkan dengan ancaman menyakiti dirinya sendiri. Apapun bentuknya, tujuannya sama, yaitu membuat Mbak Ninda mengikuti keinginannya.

Salah satu yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi tersebut adalah mengkomunikasikan ketidaknyamanan yang dirasakan dengan cara asertif. Asertif yaitu jujur dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan, dengan tetap menghormati dia. Jika mengkomunikasikan secara langsung ternyata tidak berhasil, coba berstrategi menggunakan perantara sebagai mediator. Bisa sahabatnya, keluarganya, atau orang-orang yang disegani, misalnya orang tuanya. Mbak Ninda sampaikan situasi seperti apa yang diharapkan, sehingga kalian memiliki harapan yang sama. Jika harapan tersebut sudah sama, maka lebih mudah merumuskan cara yang dapat dilakukan berdua untuk membuat hubungan menjadi lebih baik dan memberikan manfaat bagi masing-masing pihak. Strategi yang lain juga dapat diterapkan sesuai situasi dan kondisi yang memungkinkan.

Pada dasarnya, hubungan sebelum pernikahan adalah masa penjajakan, untuk mengenali karakter calon pasangan kita. Dalam fase ini, belum ada ikatan hukum maupun sosial yang menaungi sehingga kelemahannya adalah, tidak ada perlindungan di dalamnya. Namun di sisi lain, semua keputusan kita yang menentukan sendiri. Dalam hal ini, Mbak Ninda perlu mempertimbangkan dengan lebih matang yang terbaik bagi masa depan Mbak Ninda. Seandainya berbagai upaya dan strategi telah dilakukan namun tidak ada perubahan, saatnya mempertimbangkan dan memutuskan apakah hubungan tersebut layak untuk dilanjutkan atau tidak. Karena masa depan adalah Mbak Ninda sendiri yang memutuskan.

Demikian jawaban kami, semoga dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan. Jika ingin konseling lebih lanjut dapat ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Kami juga memiliki layanan konseling untuk laki-laki dan pasangan jika dibutuhkan.

 

Harian Jogja, 5 April 2018

UN WOMEN mengadakan kunjungan ke kabupaten Gunungkidul, Kamis (25/1) lalu, dengan tujuan untuk mempelajari Program Laki-laki Peduli Plus yang dilakukan oleh Rifka Annisa. Perwakilan UN WOMEN yang hadir berasal dari negara Timur Tengah yaitu Lebanon, Maroko, Palestina, Mesir, Pertemuan pertama diadakan di Kantor Sekretariat Daerah Gunungkidul dihadiri oleh perwakilan Bupati Gunungkidul dan beberapa badan pemerintah daerah Gunungkidul dan Rifka Annisa selaku penyelenggaran Program Laki-laki Peduli Plus. Diskusi berlangsung selama 2 jam mulai dari pukul 10.00-12.00 WIB.

Dalam diskusi, perwakilan bupati Gunungkidul membagikan cerita bagaimana perubahan terjadi pada masyarakat dan juga posisi perempuan yang sudah mulai dianggap penting dalam pemerintahan. Diskusi dilanjutkan dengan penjelasan dari perwakilan Dinas P3APMKBD (Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, Keluarga Berencana dan Desa) Kabupaten Gunungkidul, Bu Rum, yang juga menjelaskan mengenai sosialisasi kebijakan-kebijakan mengenai perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Gunungkidul. Di akhir sesi diadakan tanya jawab dan juga sharing pengalaman dari perwakilan UN WOMEN. Pelibatan laki-laki dalam program pemberdayaan perempuan juga sudah dimulai di daerah Timur Tengah. Yang menariknya, kegiatan pelibatan laki-laki di Palestina memiliki kesamaan dengan pendekatan yang dilakukan oleh Rifka Annisa kepada masyarakat. Sharing pengalaman ini memang hanya sebentar namun semakin menambah wawasan bagi peserta yang hadir dalam diskusi tersebut.

Setelah dari Sekretariat Daerah Gunungkidul, rombongan beranjak untuk mengunjungi komunitas di Desa Ngalang. Masyarakat setempat sangat antusias dalam menyambut kehadiran UN WOMEN di Balai Desa Ngalang. Mereka menyambut tamu dari UN WOMEN dengan tarian daerah dan para penari menggunakan kostum yang sangat berwarna, ini menunjukkan identitas mereka sebagai daerah yang unggul dengan pariwisatanya. Setiap tamu yang hadir dikenakan kalung buatan penduduk setempat. Setelah itu para tamu dipersilakan untuk makan masakan yang sudah dibuat oleh warga. Para tamu dari UN WOMEN juga terlihat senang ketika mendapatkan sambutan yang hangat dari warga setempat.

Setelahnya acara dimulai kembali dengan diskusi dan sharing ilmu mengenai Program Laki-laki Peduli Plus. Kepala Desa setempat memberikan sambutan dan juga bercerita tentang pengalaman warga yang telah mengikuti program laki-laki peduli. Setelahnya dilanjutkan oleh presentasi Rifka Annisa yang dibawakan oleh Nurmawati selaku program manager dari Program Laki-laki Peduli Plus.

Pada saat presentasi mengenai program ini, antusias dari peserta diskusi mulai tampak. Selesai presentasi, banyak sekali pertanyaan yang diajukan. Mereka sangat tertarik dan keingintahuan mereka akan program laki-laki peduli plus ini sangat tinggi. Mereka tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program tersebut dan juga usaha untuk perubahan nilai maskulinitas yang merupakan salah satu tujuan dari program ini, mereka membandingkan dengan situasi negara mereka yang berbeda dengan Indonesia dan sepertinya akan susah apabila program ini diterapkan di negara mereka. Di sisi lain mereka merasa bahwa tidak ada tantangan yang sangat berat pada penerapan program ini. Padahal pada kenyataannya, tantangan terbesar justru ada pada para laki-laki yang mengikuti program ini karena mengubah ideologi yang telah mereka anut seumur hidup mereka itu tidaklah mudah.

Pertanyaan mengenai tantangan program terjawab ketika alumni dari Program Laki-laki Peduli Plus, Siswanta dan Jatmiko, ikut membagikan cerita perubahan yang terjadi pada diri mereka dan keluarganya. Siswanta menjelaskan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Program Laki-laki Peduli dan bagaimana mereka mengukur perubahan itu melalui refleksi di tiap akhir sesi pertemuan.

Jatmiko menambahkan bahwa perubahan yang ia alami membutuhkan waktu yang sangat panjang. Ia mengakui bahwa ia dibesarkan dalam budaya patriarki yang sangat kental, sulit mengubah cara pandang berdasarkan budaya patriarki ini. Terlebih orangtua dan mertuanya juga tidak mendukung perubahan ini, namun demikian Jatmiko beserta istri tetap berkomitmen untuk mengikuti program ini dan tetap ingin melakukan perubahan. Perubahan itu dirasakan perlahan-lahan, keluarganya menjadi lebih harmonis dan ia semakin dekat dengan anak-anaknya. Diakhir penjelasannya, Jatmiko mengatakan “Perubahan kecil itu dapat mengubah dunia.” Penjelasan Mas Jatmiko mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari peserta diskusi.

Pertemuan dan sharing dari UN WOMEN, pemerintah, masyarakat Gunungkidul, dan Rifka Annisa ini memang berlangsung singkat namun informasi yang didapat bisa semakin menambah wawasan peserta diskusi yang hadir. Pada akhir sesi pertemuan di Balai Desa, para peserta diskusi dan warga setempat berfoto bersama dan mengucapkan salam perpisahan. Namun memang disayangkan pada saat sesi terakhir di Balai Desa, UN WOMEN belum sempat membagi pengalaman mereka kepada warga karena keterbatasan waktu. Diharapkan di waktu mendatang bisa saling sharing pengalaman agar bisa menambah pengetahuan untuk warga dan juga sebagai pembelajaran juga untuk organisasi-organisasi warga terkait dengan aksi menyiptakan masyarakat yang adil dan sensitif gender.

Rabu, 11 April 2018 13:35

Haruskah Aib itu Disembunyikan?

Aib menjadi kata yang begitu menakutkan banyak perempuan. Untuk menutupinya, banyak perempuan harus rela bertahan dalam kehidupan yang serba menyesakkan.

Kasus:

Dear Rifka Annisa, nama saya N (21). Saya saat ini sedang bingung dan butuh masukan dari Rifka Annisa. Saat saya kelas satu SMP usia saya waktu itu 12 tahun, saya dipaksa berhubungan seksual oleh kakak kandung saya sendiri. Saya sangat ketakutan dan tidak berani mengutarakannya kepada orangtua saya. Saya pikir pasti mereka tidak akan percaya dengan kejadian itu. Kejadian tersebut terus berulang selama satu tahun, dan kemudian berhenti karena kakak saya memiliki pacar. Selama sembilan tahun rahasia tersebut saya tutup rapat. Saya benci kakak saya yang membuat saya seperti ini. Saya juga menjadi takut bergaul dengan laki-laki, saya berkembang menjadi penyendiri dan tomboi. Masalahnya, saat ini saya memiliki pacar dan berniat untuk melangsungkan pernikahan. Pacar saya adalah teman kakak saya juga. Ini yang membuat saya sangat bingung. Saya takut karena saya sudah tidak perawan lagi, dan penyebabnya adalah kakak saya sendiri yang tidak lain teman pacar saya itu. Apakah dia bersedia menerima saya seperti adanya? Kebingungan ini membuat saya akhirnya berterus terang kepada orangtua tentang keadaan diri saya. Mereka sangat terkejut. Ibu sempat syok karena tidak menyangka kalau anak lelaki kebanggaan mereka ternyata tega melakukan hal terkutuk kepada adiknya sendiri. Mereka hanya dapat menangis, namun tidak mampu melakukan apa pun. Sebetulnya, saya ingin kakak mendapat hukuman setimpal, namun hal tersebut akan mencoreng nama keluarga kami. Akhirnya, orangtua saya menyarankan untuk menutup lembaran masa lalu, dan mengusulkan untuk melakukan operasi selaput dara. Hal ini, menurut orang tua, adalah untuk menghindarkan pertanyaan suami saya kelak dan untuk menjaga nama baik keluarga. Sebetulnya, saya tidak menginginkan hal ini, saya merasa ini sama dengan membohongi calon suami. Saya sangat mencintainya sehingga saya ingin berlaku jujur kepadanya. Saya tidak sanggup kalau masih harus menanggung kebohongan lagi seumur hidup. Saya hanya ingin hidup yang tenang tanpa menutupi apa pun kepada pasangan saya. Rasanya tidak adil sekali, saya sudah menutupi kebejatan kakak selama ini, menjaganya agar tidak terjrnat hukuman apa pun, dan berbuat seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara kami, lalu membohongi calon suami tentang masa kecil saya yang pahit.... Apakah menurut Rifka Annisa memang sebaiknya saya menuruti keinginan orangtua saya dan menutupi semuanya untuk menghindari masalah? Terima kasih atas masukan dan perhatiannya.

Jawaban:

Dear Dik N,

     Pemerkosaan faktanya justru banyak dilakukan oleh orang yang dikenal dan tidak terjadi spontan, tetapi terencana.

Apa yang terjadi pada dirimu biasa disebut incest, yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang masih memiliki pertalian darah dengan korban.

Banyak kasus incest terjadi secara berulang dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Hal ini, disebabkan karena korban biasanya takut untuk mengutarakan kejadian yang dialaminya, dan di sisi lain pelaku biasanya juga mengancam korban. Selain itu, apabila korban menceritakan pengalamannya, seringkali orangtua atau pengasuh tidak mempercayai karena pelaku adalah orang yang demikian dipercaya atau setidaknya dipandang tidak mungkin melakukan perbuatan yang hina itu. Akibatnya, dampak psikologis bagi korban incest lebih kronis daripada bentuk pemerkosaan lainnya karena korban tidak hanya memendam kemarahan kepada pelaku, tapi juga kepada orangtua dan lingkungan.

Frekuensi pertemuan yang tinggi dengan pelaku karena sesama anggota keluarga, menjadi teror yang tak berkesudahan. Pertemuan dengan pelaku juga memaksa korban untuk selalu mengingat peristiwa yang sebenarnya ingin dia lupakan.

Dik N, incest sesungguhnya dapat dilaporkan sebagai tindak pidana sehingga kakakmu dimungkinkan untuk mendapat sanksi pidana. Namun, persoalannya apa yang kamu alami telah berlalu sembilan tahun sehingga dengan sistem hukum yang berlaku di negara kita saat ini, proses hukumnya akan menemukan banyak kendala, khususnya berkaitan dengan pemenuhan minimum alat bukti.

Sebaiknya memang pelaporan kepada aparat hukum dilakukan sesegera mungkin sehingga aspek pembuktian mudah dipenuhi, di antaranya bukti visum et repertum yang biasanya menjadi andalan pembuktian kasus kekerasan seksual di samping keterangan saksi korban. Namun, menempuh jalur hukum biasanya tidak mudah bagi perempuan, lebih-lebih untuk korban yang masih berusia di bawah umur seperti saat kamu mengalami peristiwa ini. Di sinilah sebetulnya diperlukan kesadaran dan kepekaan dari orangtua, pengasuh, atau orang dewasa lainnya yang melihat adanya perubahan perilaku dan emosi anak-anak perempuan, atau mendengar laporan, atau keluhan mereka tentang tindakan tak senonoh yang dilakukan anggota keluarga atau orang-orang dekat mereka.

Nah Dik N, apa yang sembilan tahun lalu kamu alami memang bukan hal yang dapat dengan mudah segera dilupakan. Untuk itu, ada baiknya kamu mencoba mengunjungi psikolog atau lembaga yang mendampingi perempuan korban kekerasan seksual yang ada di kotamu. Mereka akan membantumu untuk mengatasi tumpukan kemarahan, tekanan, dan kekecewaan yang kamu pendam selama ini.

Soal keputusan akan menjalani operasi selaput dara, itu semua kembali kepada dirimu sendiri. Masing-masing pilihan mengandung risiko, tinggal dirimu yang mempertimbangkan saja. Kira-kira pilihan mana yang kamu rasakan paling mungkin untuk dijalani dengan kekuatan yang kamu miliki. Jika selama ini dirimu sudah tertekan dan menderita karena menutupi perbuatan kakak dan mengabaikan kemarahanmu, mungkin kini saatnya untuk berpikin tentang apa yang membuatmu merasa paling nyaman dan tepat untuk kamu lakukan bagi dirimu sendiri.

Dik N, "harga" seorang perempuan sesungguhnya tidak terletak pada selaput daranya, melainkan integritas kepribadian, potensi, dan jati dirinya. Keluarga memang segala-galanya, hormat kepada orangtua memang sudah seharusnya dilakukan oleh anak. Namun, hati nurani adalah landasan berpijak kita. Jadi, peganglah kata-kata dalam hati nuranimu.

Nah Dik N, segeralah mencari dukungan psikologis dan setelah situasi emosimu stabil, cobalah renungkan masa depanmu dengan sungguh-sungguh serta ambillah keputusan yang terbaik untuk menjalani masa depanmu itu. Bukankah dirimu ingin merajut hidup ke depan dengan tenang dan damai? Kami percaya, dirimu mampu mengambil keputusan yang terbaik! Salam.

Kompas, Senin 28 Juli 2003

42480700
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2733
10808
174230
156663
42480700