Saya VN (26) ibu rumah tangga dan telah berumah tangga selama tiga tahun. Suami saya (40) mempunyai kebiasaan aneh, yaitu menonton film porno, melihat situs porno, dan akhirnya masturbasi.

Yang saya ketahui sejak menikah dia jauh lebih sering masturbasi daripada menggauli saya. Dari awal saya memang merasa kecewa tetapi saya mendiamkan hal tersebut sebab tidak tahu bagaimana harus membicarakannya. Sikap itu akhirnya menumpuk seperti bom waktu yang akhirnya meledak. Kalau selama ini dia melakukannya malam hari di ruang keluarga sambil menonton TV, sebulan terakhir dia melakukannya di tempat tidur, di samping saya, yang mungkin dia pikir saya sudah tertidur nyenyak.

Setelah kejadian pertama, saya marah dan mencaci-makinya dan mengatakan jijik kepadanya. Dia hanya cengengesan waktu itu. Dua minggu berikutnya dia melakukannya lagi, kali ini saya hanya mampu diam seharian. Merasa didiami dia berulang kali bertanya sebabnya. Saya bertanya balik kepadanya apa yang dia lakukan tadi malam. Dengan tenang ia mengatakan dia tidur. Saya meledak, saya bongkar tempat pakaian kotor dan melemparkan (maaf) pakaian dalam yang dia pakai semalam. Dia marah dan mengatakan saya tidak berhak mengatur apa pun, saya tidak berhak merampas hak asasinya yang sudah dilakukannya lebih dari 10 tahun sebelum menikah.

Apakah memang saya merampas hak asasinya? Sebelum menikah saya bekerja, tetapi setelah menikah dia meminta saya berhenti bekerja dengan alasan supaya segera punya anak karena hingga 1,5 tahun setelah menikah saya tidak kunjung hamil, kami periksa ke dokter. Ternyata suami saya dinyatakan mandul. Selama menjadi istrinya, suami tidak pernah sukarela memberi uang belanja. Awal menikah saya masih punya uang tabungan selama kuliah sehingga bisa membayar makan kami berdua di luar atau jajan ketika saya tidak masak. Tetap sekarang semua uang tabungan saya habis dan belanja harus meminta-minta uang kepada suami.

Bu, saya tidak tahan lagi dan ingin minta cerai darinya. Tolong yakinkan hati saya bahwa perceraian dengannya adalah jalan yang paling tepat."

(VN)

Jawaban:

Yth Ibu VN, beberapa waktu lalu kami berdiskusi kecil dengan beberapa rekan laki-laki yang sudah menikah. Topiknya, masturbasi yang dilakukan suami, apakah kehadiran pasangan (istri) tidak cukup memenuhi kebutuhan seksual sehingga suami masih masturbasi.

Catatan menarik dan diskusi antara lain adanya kemungkinan suami masih melakukan masturbasi karena berkaitan dengan fantasi seksual.

Menurut salah satu rekan, ada kecenderungan mereka melakukan masturbasi ketika berada dalam situasi baru, terutama di tempat yang menurut mereka nyaman dan indah meskipun saat itu bersama pasangan. Menurut mereka, hal itu sifatnya subyektif-psikologis sehingga sulit dijelaskan.

Walaupun demikian, mereka menekankan masturbasi tidak perlu dilakukan apabila istri ada bersama. Salah satu rekan menekankan, hal ini merupakan prinsip hidup yang diungkapkannya sebagai, “Meskipun aku lapar waktu di jalan, aku lebih suka makan di rumah”. Intinya, dia merasa berhubungan seksual dengan istri lebih menyenangkan dan lebih baik.

Mereka sepakat, masturbasi di depan istri merupakan tindakan tidak terpuji karena sangat mungkin menyinggung perasaan istri, kecuali jika hal ini dilakukan bersama sebagai variasi hubungan seksual yang disepakati dan menimbulkan kepuasan bersama.

Ungkapan di atas memang bukan hasil penelitian, tetapi lebih sebagai fakta kecil di sekeliing kita. Menurut artikel dalam sebuah majalah keluarga, hasil survei menyebutkan, 66-67 persen pria beristri masih masturbasi di samping berhubungan seks dengan pasangan. Dan hasil itu, tampaknya masturbasi oleh sebagian besar suami seperti hal yang relatif biasa dilakukan, begitu kata artikel tersebut.

Alasan suami bermasturbasi antara lain karena konflik terus-menerus atau ejakulasi dini yang tidak tertangani. Melalui masturbasi, segala keluhan, permasalahan, dan hambatan yang menyebabkan hubungan seks terhenti bisa ditutupi. Melalui masturbasi, suami lebih leluasa dalam berfantasi dan mengatur waktu klimaks berdasarkan standar kepuasannya sendiri.

Prakash Kothari dalam bukunya, Common Sexual Problem and Solutions, menyebutkan masturbasi bukan penyakit. Orang harus membedakan antara masturbasi berlebihan dan masturbasi kompulsif, yaitu orang yang melakukan masturbasi bukan karena merasa butuh kepuasan, tetapi semata karena menjalankan aktivitas masturbasinya. Untuk itu, yang perlu disembuhkan adalah masalah psikis orang tersebut, bukan masturbasinya (ini pandangan dari sudut medis, bukan pandangan normatif).

Dengan kata lain, ada kemungkinan masturbasi suami Anda selama ini berkaitan dengan kondisi psikologisnya, terkait dengan permasalahan infertilitasnya yang tentunya berpengaruh terhadap egonya sebagai laki-laki.

Kami dapat memahami bila Anda tersinggung berat dengan kejadian ini. Menurut kami, selama ini Anda memang telah ditelantarkan lahir batin oleh suami. Rasa jijik terhadap kebiasaan masturbasi suami rupanya menjadi puncak kekesalan pada suami yang selama ini Anda pendam. Sangat tampak dan ekspresi Anda, seolah kesabaran Anda sudah habis.

Kami tak tahu upaya apa yang sudah Anda lakukan bersama suami untuk mengatasi persoalan sebelumnya. Apakah Anda sudah mencoba berbicara dari hati ke hati dan mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada suami? Apakah pernah Anda upayakan tawar-menawar agar dicapai win-win solution? Semua itu adalah upaya yang ada baiknya ditempuh sebelum memilih pintu darurat, perceraian.

Nah, Bu VN, keputusan akhir ada di tangan Anda. Semoga kebaikan senantiasa bersama Anda.

 

Kompas, Sabtu 13 Agustus 2005

Selasa, 03 Juli 2018 09:15

Mengapa Laki-laki Selalu Dipojokkan?

Kepada Rifka Annisa Women’s Crisis Center

Saya Laksono, laki-laki yang tinggal di Surabaya. Menarik membaca pengalaman perempuan yang mendapat kekerasan. Saya turut bersimpati dengan semua penderitaan yang terjadi. Meski demikian, saya juga ingin protes kepada Rifka Annisa, kenapa lebih terkonsentrasi mendampingi perempuan?

Laki-laki banyak juga yang mendapat kekerasan. Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi? Barangkali protes saya memang subyektif karena saya merasa menjadi bagian kaum laki-laki. Saya mengakui ada beberapa perempuan yang mendapat perlakuan tidak enak dari suami atau orang lain, tetapi berapa persentasenya? Jangan-jangan suaranya saja yang besar, tetapi faktanya kecil. Apa sebenarnya dampaknya? Jangan terlalu didramatisir ah!

Kasus yang terjadi pada artis kita, misalnya. Saya pikir itu hanya akal-akalan mereka mendapat publisitas gratis guna mendongkrak kepopuleran. Yah, lumayan terkenal menjadi artis infotainment meski enggak dapat order sinetron

Terima kasih!

(Laksono)

 

Jawaban :

Yang terhormat Pak Laksono (jawaban ini juga ditujukan untuk Y dan I di Jakarta, serta S di Bali). Terima kasih atas perhatiannya terhadap kolom kami. Suara Bapak mewakili pandangan serupa di kalangan masyarakat dunia yang juga tidak habis pikir mengapa perempuan mendapat perhatian dan prioritas untuk masalah ini. Di seluruh dunia, setiap kali persoalan kekerasan terhadap perempuan dibahas, maka serta-merta pernyataan dan gugatan itu muncul.

Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan domestik (rumah tangga) terangkat ke permukaan dan menjadi perhatian ilmuwan sosial sejak awal tahun 1970-an. Pada masa itu banyak riset dilakukan untuk melihat apa sebetulnya yang dialami perempuan karena kebutuhan yang terus mendesak untuk adanya rumah aman guna menampung perempuan yang terpaksa lari menyelamatkan diri dari rumahnya akibat perlakuan kasar suami atau pasangan lelakinya.

Ternyata riset menunjukkan banyak perempuan mengalami persoalan berat dalam rumah tangga akibat perlakuan fisik, psikis, maupun seksual yang sifatnya ”menganiaya”, ”meneror”, atau ”menyakitkan” dari suami atau pasangan lelakinya.

Riset terus dikembangkan untuk melihat bagaimana sebetulnya peluang lelaki dan perempuan menjadi pelaku dan korban kekerasan. Beberapa studi pun dilakukan dengan cara mendokumentasikan laporan yang masuk di kantor polisi, rumah sakit, dan pengadilan, untuk melihat laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan penganiayaan, keluhan fisik, dan psikis akibat penganiayaan dan gugatan perceraian.

Temuan dari studi di beberapa kota dan negara yang berbeda menunjukkan memang ada fakta lelaki dan perempuan sama-sama dilaporkan sebagai pelaku dan juga korban kekerasan domestik, tetapi persentase lelaki sebagai pelaku jumlahnya 7-8 kali lipat dari jumlah perempuan yang dilaporkan melakukan kekerasan domestik.

Hasil riset ini juga memberi petunjuk, kekerasan yang dilakukan perempuan kepada pasangan lelakinya biasanya dimotivasi upaya pembelaan diri karena mereka telah ditekan selama ini. Jadi, lebih merupakan ”pukulan balik” kepada pasangan lelakinya dan karena ekspresi emosi/kemarahan semata. Sementara, kekerasan oleh lelaki umumya dimotivasi dominasi, maskulinitas, dan ekspresi kekuasaan terhadap istri atau pasangan perempuan.

Perbedaan lain adalah dampaknya. Sama-sama mengalami kekerasan domestik, perempuan menderita lebih banyak konsekuensi negatif, mulai dari kesehatan mental, fisik, fungsi reproduksi, hingga kehidupan sosial, dan pekerjaan. Perempuan juga berisiko lebih tinggi untuk terbunuh, mengalami teror, dan ketakutan berkepanjangan, walaupun mereka telah berpisah atau bercerai dari suami atau pasangan lelaki yang menganiayanya. Pola semacam ini hampir tidak dijumpai pada lelaki yang melaporkan diri menjadi korban kekerasan domestik.

Jadi, Pak Laksono, membicarakan kekerasan domestik memang tidak sesederhana yang kita duga. Ini bukan sekadar memanjakan perempuan atau mendiskriminasi lelaki, tetapi memang ada situasi kultural dan struktural yang rumit di banyak tempat yang menjadikan nilai kemanusiaan lelaki dan perempuan menjadi tidak setara.

Rachel Jewkes, dokter asal Afrika Selatan, dalam tulisannya di jurnal internasional Violence Against Women April 2002, menulis teori bahwa kekerasan domestik merupakan fenomena yang kompleks karena faktor penyebabnya berlapis-lapis. Jewkes yang melakukan meta-analisis dari ratusan riset tentang kekerasan domestik di berbagai negara menyebutkan, ada dua penyebab paling dasar, yaitu ideologi superioritas lelaki di masyarakat (rendahnya posisi tawar perempuan), dan kultur kekerasan dalam penyelesaian konflik. Kedua faktor dasar itu dibumbui faktor lain seperti stres, kemiskinan, minum alkohol, peran model dari ayah yang kasar kepada ibu, dan sebagainya, menjadikan kekerasan domestik lebih prevalen dilakukan suami/lelaki terhadap istri/perempuan pasangannya.

Jadi, itu sebabnya prioritas diberikan kepada perempuan. Dikatakan Jewkes, perempuan yang terdidik dan berasal dari budaya tidak merendahkan perempuan terbukti sebagai faktor penting yang menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan ini.

Demikian Bapak Laksono, penjelasan kami. Semoga bermanfaat! Salam, Rifka Annisa.

 

Kompas, Sabtu 29 Oktober 2005

Seorang laki-laki saat ini tengah bertekat menghentikan kekerasan yang dia lakukan terhadap istrinya. Dia juga tengah berusaha keras mengubah peri lakunya.

Kasus:

"Saya seorang laki-laki, ingin ikut berbagi dengan Rifka Anissa.

Usia saya 31 tahun, sudah menikah dengan 1 anak laki-laki berumur 4 tahun, saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya tertarik ikut berbagi dengan Rifka karena kok selama ini pembahasan di rubrik ini hanya persoalan perempuan. Sementara persoalan yang dialami laki-laki menurut saya juga tidak kalah berat, seperti pengalaman saya. Hanya saja laki-laki pada umumnya tidak akan mengeluh.

Saya tidak bermaksud mencari simpati karena saya anggap inilah risiko hidup sebagai laki-laki yang harus menjadi pemimpin, pelindung, kuat, dan sebagai panutan dalam keluarga.

Jujur saya jarang mengungkapkan persoalan berat kepada istri karena tidak ingin istri saya justru sedih, lagi pula saya tidak yakin istri bisa memahami. Bukannya saya merendahkan dia, tetapi memang pendidikan dia lebih rendah dari saya. Meskipun begitu, saya tetap menyayanginya karena dia adalah perempuan idaman saya, cantik, tidak banyak membantah, dan ibu yang cukup perhatian bagi anak saya meski secara intelektual saya tidak berharap banyak.

Namun, terkadang dia menjadi emosional sekali kalau sedang marah, malah kesannya terlalu menuntut, kurang bisa melihat situasi sehingga membuat saya cepat marah. Dulu dia tidak begitu, tetapi sejak dia mencurigai saya ada hubungan dengan teman kerja saya di kantor, sikap dia banyak berubah.

Saya menjadi sulit mengontrol emosi. Saya akui beberapa kali menampar dia agar diam. Tentunya dengan pukulan yang ringan saja, tidak bermaksud menyakiti. Saya sebenarnya tidak ingin memukul dia, tetapi rasanya emosi ini cepat naik melihat dia begitu emosional sementara kondisi saya sedang capai.

Saya memang dekat dengan teman kerja perempuan, tetapi saya tidak selingkuh. Dia tidak percaya. Kalau dia begini terus, bisa-bisa saya malah selingkuh beneran.

Bagaimana ya, saya tidak ingin menyakiti istri, tetapi juga ingin dia menghargai kejujuran dan usaha saya menjadi suami yang baik. Apalagi saya baca di media, sekarang sudah ada UU Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sempat jadi perbincangan saya dengan teman-teman sesama suami. Bisa-bisa saya masuk bui hanya karena bertengkar dengan istri.

Terima kasih untuk masukannya..."

( G di Yahoo)

Jawaban:

Hallo Saudara G. Tentu saja kami senang Anda bersedia berbagi pengalaman dengan kami. Tidak sedikit laki-laki yang juga memanfaatkan hotline kami karena merasa menjadi korban kekerasan dan mereka protes karena kami hanya menyediakan konsultasi bagi perempuan korban kekerasan.

Rifka Annisa memang memilih untuk memberi pendampingan untuk perempuan korban kekerasan. Pilihan ini atas dasar fakta bahwa secara statistik perempuan karena keperempuannya lebih banyak dan lebih sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki, meskipun kami tidak mengelak kekerasan dapat menimpa siapa saja tak terkecuali laki-laki.

Selain itu kami melihat perempuan korban kekerasan memiliki pilihan terbatas untuk mendapat pertolongan yang berperspektif perempuan, sementara laki-laki memiliki banyak pilihan untuk mendapat pertolongan atau pendampingan seperti lembaga bantuan hukum, lembaga konsultasi psikologi, dan sebagainya.

Untuk kasus Anda, satu hal yang kami hargai adalah kesadaran Anda bahwa apa yang Anda lakukan terhadap istri adalah sesuatu yang keliru. Seingat kami, hanya sedikit suami yang melakukan pemukulan (atau kekerasan dalam bentuk lain) terhadap istrinya bersedia mengakui hal itu sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Saudara G, ungkapan bahwa pemukulan itu tidak keras dan dimaksudkan tidak untuk menyakiti, rasanya itu khas disampaikan para suami yang melakukan pemukulan. Namun perlu Anda ketahui, toleransi terhadap sesuatu hal sering kali bersifat berjenjang. Maksudnya, mungkin memang pukulan Anda ketika itu hanya pelan dan tidak menyakitkan, akan tetapi ketika Anda nanti berkonflik lagi dengan istri dan Anda menggunakan pemukulan lagi, sangat mungkin pukulan itu meningkat intensitasnya tanpa Anda sadari. Sangat mungkin pukulan berikutnya menyebabkan istri Anda menjadi benar-benar kesakitan atau meninggalkan bekas seperti memar. Walaupun Anda katakan pukulan Anda tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas fisik pada istri Anda, kami yakin "luka" yang ditimbulkan lebih bersifat psikologis. Hati istri Anda yang terluka.

Selain itu, penyelesaian masalah yang Anda pilih yakni dengan menampar istri, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda karena sebenarnya Anda memiliki pilihan lain seperti mengajak bicara istri dengan baik-baik atau cara nonkekerasan lainnya. Oleh karena itu, Anda tidak dapat membebankan kesalahan kepada istri dengan mengatakan karena istri Anda emosional atau membuat permakluman bahwa Anda lepas kendali.

Saudara G, memang tidak mudah bagi laki-laki yang dibiasakan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan perbedaan untuk berubah memilih jalan nonkekerasan dalam menyelesaikan masalah, namun bukan berarti tidak mungkin. Untuk mengubahnya Anda perlu pendampingan dan latihan.

Lalu mengenai keinginan Anda menghentikan pemukulan itu, kami optimistis Anda bisa melakukannya karena Anda sudah punya modal besar yaitu "keinginan untuk menghentikan". Kami menyarankan Anda berdua melakukan konseling yang dapat memediasi Anda berdua mengurai persoalan dan mencari alternatif solusi bagi perbaikan hubungan Anda berdua.

Khusus untuk Anda sebagai suami, seperti yang sudah kami singgung, memerlukan pendampingan dan penanganan tentang komunikasi dan perilaku nonkekerasan, seperti teknik pengendalian emosi dan sebagainya. Sekiranya Anda berdomisili di Yogyakarta, Anda dapat datang ke Rifka Annisa karena kami mulai menawarkan pendampingan untuk laki-laki yang ingin menghentikan perilaku kekerasannya. Dalam program ini Anda akan didampingi konselor laki-laki yang dilatih khusus untuk menangani masalah seperti yang Anda hadapi.

Mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada tanggal 14 September 2004 lalu memang telah disahkan DPR RI. Jika Anda sudah memiliki tekat untuk menghentikan kekerasan yang Anda lakukan, Anda tidak perlu takut dengan UU itu, justru UU itu dapat memotivasi Anda untuk mengubah perilaku Anda. Kecuali jika Anda tidak memiliki keinginan mengubah perilaku kekerasan Anda, sepatutnya Anda takut dengan UU itu.

Saudara G, semoga masukan ini bermanfaat bagi Anda, dan silakan hubungi kami melalui hotline atau datang langsung bila Anda membutuhkan layanan kami. Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, 18 Oktober 2004

Jumat, 29 Jun 2018 11:05

Curiga Suami Gay

Salam Ibu,

Sudah lama saya ingin menceritakan masalah rumah tangga ini, tapi saya malu. Saya Ibu rumah tangga 39 tahun. Sudah menikah selama 8 tahun. Suami saya 10 tahun lebih tua. Awalnya saya kira baik, karena jauh lebih dewasa dan bisa ngemong. Namun lama-lama saya baru tahu bahwa tabiat aslinya sangat kasar, dan tidak segan-segan merendahkan. Saya sering mendapatkan umpatan sebacam bodoh, goblok, dan lain-lain. Tadinya saya kira memang saya yang salah. Tapi lama-lama karena sangat sering saya jadi merasa ada yang tidak beres.

Tadinya saya bekerja. Kemudian setelah 2 tahun menikah, saya hamil, suami melarang bekerja agar fokus mengurus anak dan rumah. Penghasilannya cukup besar sehingga secara materi kami dipenuhi. Memang saya akui dia tidak pernah melakukan kekerasan seperti main tangan. Namun perlakuannya yang semena-mena itu  membuat saya sakit hati. Tapi saya hanya bisa diam. Apalagi suami kalau di depan keluarga bisa bersikap sangat manis dan pandai bicara, sehingga keluarga besar menyukainya, bahkan keluarga saya. Rasanya jadi kalau ada apa-apa saya yang salah.

Waktu anak saya berumur 3 tahun, saya pernah terkejut karena di lemari kami saya mendapati majalah porno, tetapi dengan gambar pria-pria. Itulah pertama kali saya mulai curiga. Suami saya memang sering keluar malam, atau pergi keluar rumah dengan beberapa teman laki-lakinya selama beberapa hari. Kemudian saya mulai sering mengamati sosial medianya, memang dia punya banyak teman laki-laki dengan interaksi yang mencurigakan. Saya kemudian mulai mencari informasi dari teman-teman lamanya, tapi tidak ada yang mau buka mulut. Suatu hari saya konfrimasi ke keluarganya, ada salah satu keponakannya yang keceplosan ngomong, “memangnya dia masih...,” tapi langsung dipotong oleh mertua saya. Keponakannya menutup mulut dan menggeleng. Mertua saya mengatakan bahwa saya hanya mengada-ada dan wajarnya rumah tangga ada masalah, tidak perlu dibesar-besarkan.

Tapi kejadian itu sangat membekas bagi saya. Saya semakin sakit hati, merasa dimanfaatkan untuk melahirkan anak, membesarkan, dan berhenti bekerja, yang pada usia saya yang sekarang tentu sudah sulit mencari pekerjaan dibanding dulu. Termasuk sakit hati pada keluarga besar suami saya. Saya merasa dimanfaatkan saja. Dulu ketika menikah, saya semacam didesak oleh keluarganya untuk menerimanya. Sekarang ketika ada masalah seperti ini, keluarganya pasang badan membela anaknya dan tidak peduli pada perasaan saya.

Dengan keberanian yang tersisa, sekitar satu tahun yang lalu saya mengkonfirmasi secara langsung pada suami. Dia marah besar. Menuduh saya menfitnah, dan macam-macam lagi. Sejak itu dia tidak pernah lagi bicara pada saya, dan malah menebar kabar macam-macam ke keluarga saya, bahkan ke gurur-guru sekolah anak saya, bahwa saya berselingkuh. Nafkah pun dia hentikan, dan diserahkan ke tantenya untuk memenuhi kebutuhan anak saya saja. Saya jadi kelabakan, saya berusaha jualan makanan, tapi hati ini terlanjut sakit. Apalagi dengan desas-desus yang dia sebarkan, saya jadi tidak percaya diri. Anak saya lama-lama juga termakan omongan keluarga, bahkan bilang di depan saya bahwa saya jahat sama ayahnya. Mohon solusi apa yang sebaiknya saya lakukan?

Ibu S di Kota M

JAWABAN:

Salam Ibu S, kami ikut sedih dengan situasi yang menimpa Ibu. Karena hal ini merupakan suatu permasalahan yang sensitif, kita perlu cermat dan berhati-hati dalam menentukan strategi ke depan. Apa yang Ibu S alami merupakan bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan tersebut berbentuk kekerasan psikis, yaitu segala perbuatan yang megakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis yang Ibu alami adalah mendapatkan caci maki, umpatan, dugaan penipuan terkait orientasi seksual yang sebenarnya, serta fitnah bahwa Ibu melakukan perselingkuhan. Selain kekerasan psikis, Ibu juga mengalami bentuk kekerasan berupa penelantaran rumah tangga, yaitu dengan mengekang kebebasan untuk bekerja sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi dan berada di bawah kendali suami, bahkan tidak memberikan nafkah padahal menurut hukum yang berlaku dan kesepakatan berdua bahwa suami yang akan memberikan penghidupan.

Dampak dari permasalahan KDRT ini tidak Ibu alami secara fisik, namun lebih ke dampak psikologis dan ekonomi. Hal ini mempengaruhi keberdayaan Ibu dalam menghadapi masalah dan membuat keputusan di kemudian hari. Salah satu yang perlu dilakukan adalah melakukan pemulihan psikologis. Apabila sulit memulihkan diri sendiri, Ibu dapat menghubungi ahli psikologi atau lembaga penyedia layanan pendampingan untuk perempuan dan anak seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah yang ada di setiap kabupaten/kota dan propinsi, ataupun lembaga non pemerintah seperti Rifka Annisa. Di lembaga ini ada konselor atau psikolog yang dapat membantu Ibu melakukan pemulihan psikis serta mendampingi Ibu mendiskusikan jalan keluar dari permasalahan ini.

Pemulihan ini penting agar Ibu lebih mudah mengumpulkan dan menyerap informasi yang benar seluas-luasnya, agar dapat memandang permasalahan secara komplit, menentukan strategi yang tepat, dan terutama adalah melakukan tindakan yang strategis. Semua pilihan ada konsekuensinya, seperti pilihan melanjutkan pernikahan, bercerai, atau jika Ibu membuat pilihan menempuh jalur hukum. KDRT merupakan delik aduan yang dapat dipidanakan jika Ibu mengadukan ke kepolisian. Karena bentuk kekerasannya psikis, maka perlu pembuktian bahwa ada dampak secara psikologis. Ibu akan menjalani pemeriksaan visum psikiatrikum yang dilakukan oleh psikiater sebagai alat bukti hukum.

Sanksi hukum dapat menjadi pembelajaran bagi suami atas tindakan kekerasan yang telah dia lakukan. Konsekuensi atas proses hukum ini, diantaranya adalah Ibu harus siap menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga sidang di pengadilan, yang mana itu cukup memakan waktu. Selain itu, Ibu akan berhadapan dengan suami maupun keluarganya yang kemugkinan besar tidak setuju dengan proses tersebut. Di sinilah pentingnya Ibu memahami informasi yang benar dengan sebaik mungkin. Karena dengan informasi tersebut, Ibu dapat membuat rencana dan melakukan tindakan yang tidak gegabah. Termasuk informasi lain yang seluas-luasnya, misalnya tentang perkembangan anak, informasi kesehatan reproduksi, informasi layanan, dan sebagainya.

Berkaitan dengan permasalahan orientasi seksual suami, Ibu perlu menyadari bahwa selama ini yang Ibu pikirkan baru sebatas dugaan. Bisa jadi benar, bisa jadi juga tidak benar. Kalaupun benar bahwa dia sebenarnya penyuka sesama jenis, maka perlu dipahami bahwa hal tersebut ditentang dalam keyakinan berbagai pemeluk agama, serta di lingkungan sosial budaya kita masyarakat Indonesia. Sehingga bisa jadi dia mendapat tekanan sosial yang cukup besar dari keluarga maupun lingkungannya, hingga akhirnya memutuskan menikah, dan akibatnya adalah melakukan kekerasan terhadap Ibu. Perilaku kekerasan yang dia lakukan pada Ibu tetap salah, namun perilaku ini merupakan akibat dari sebab tekanan yang dia alami.

Ada baiknya Ibu lebih berfokus pada pemulihan dan penguatan psikologis pada diri Ibu sendiri terlebih dahulu. Selain untuk diri sendiri, kondisi Ibu yang stabil juga dibutuhkan oleh anak Ibu. Dia juga terdampak atas konflik yang dialami kedua orang tuanya. Kondisi yang stabil akan membantu Ibu untuk memikirkan strategi komunikasi yang lebih baik dengan suami. Dengan strategi yang tepat, Ibu dapat mengkomunikasikan masa depan dari relasi pernikahan ini. Begitupun untuk membangun kemandirian ekonomi yang Ibu butuhkan.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Jika perlu berkonsultasi lebih lanjut Ibu dapat menghubungi kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

 

Harian Jogja, 23 Juni 2018

Kamis, 28 Jun 2018 14:55

Derita di Pengungsian

Para pengungsi, terutama perempuan dan anak, masih berada dalam penderitaan. Pasca tragedi tsunami, saat mereka harus berjuang dengan trauma, pada waktu yang sama mereka juga harus berhadapan dengan bahaya lain yang mengintai.

Kekerasan, pelecehan seksual, hingga persoalan kesehatan menjadi "bencana" lain yang tak kalah mengerikan.

Kasus:

"Halo Rifka Annisa, saya seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Dulu pernah bekerja sebelum menikah, tetapi karena pertimbangan anak-anak, saya hanya menjadi ibu rumah tangga saja selama ini. Tetapi, bukan persoalan itu yang ingin saya utarakan.

Saya sekeluarga hidup di sebuah kompleks perumahan di mana satu rumah dengan rumah yang lain saling berdekatan. Belakangan ini, tetangga di sebelah rumah saya sering mengeluh ke saya. Pasalnya, di rumahnya hampir satu bulan terakhir menampung saudara perempuan dari pihak suami beserta anaknya. Mereka adalah korban tsunami. Minggu-minggu pertama setelah kejadian menjadi pengungsi. Suami dan anaknya yang lain beserta keluarga suaminya hilang.

Tetangga saya mengeluh karena bingung bagaimana menghadapi saudaranya tersebut. Kalau malam suka teriak-teriak dalam tidur, kami sendiri tahu karena suaranya terdengar sampai ke rumah kami. Selain itu sukanya melamun atau menangis sendiri. Sempat ada pikiran, jangan-jangan saudaranya tersebut perlu dibawa ke dokter jiwa, tetapi ia dan suaminya takut menyinggung perasaan saudaranya tersebut.

Saya sendiri sampai saat ini masih suka sedih kalau melihat berita-berita di media tentang bencana tersebut meski sudah tidak segencar dulu. Pada minggu-minggu pertama setelah kejadian, saya malah tidak berani melihat televisi, soalnya ingin menangis terus kalau melihat bagaimana penderitaan akibat bencana itu. Belum selesai soal Aceh, setelah itu Nias.

Saya suka membayangkan, bagaimana nasib mereka selanjutnya. Terutama anak-anak yang kehilangan orangtua serta saudaranya, menjadi putus sekolah. Saya belum pernah melihat secara langsung kehidupan di pengungsian, tapi belakangan ini pikiran saya suka terusik. Mungkin karena saya perempuan ya, jadi bisa membayangkan saja bagaimana susahnya hidup di tempat yang ala kadarnya seperti itu, sementara kita tahu kehidupan perempuan lebih rumit.

Bagaimana kalau sedang menstruasi sementara mungkin air berebutan, belum lagi kalau sedang hamil menjelang melahirkan, merawat anak yang kecil-kecil. Dalam sebuah ceramah, saya pernah mendengar kalau kekerasan pada anak dan perempuan juga terjadi di pengungsian. Kenapa orang-orang itu masih tega berlaku tidak adil, padahal situasi para korban ini memprihatinkan. Saya kasihan aja dengan ibu-ibu yang terpaksa menjadi janda dan harus menghadapi semua ini sendirian, serta anak-anak yang kehilangan orangtua. Rasanya hanya sedih dan sedih, tetapi saya tidak dapat berbuat apa-apa. Maaf kalau saya hanya ingin berkeluh kesah saja."

(NN, di Bandung)

Jawaban:

Halo Juga Ibu NN

Setahu kami, hampir semua orang yang mendengar bencana besar akhir tahun kemarin mempunyai perasaan seperti Anda.

Salah seorang rekan kami yang kebetulan rumahnya dekat pantai selatan wilayah Yogyakarta bahkan sempat mengalami ketakutan, khawatir kalau-kalau laut di dekatnya juga mengalami tsunami. Pada waktu malam dia susah tidur, deburan ombak laut terdengar lebih jelas dari pada biasanya. Ia merasa indranya lebih waspada sehingga dalam beberapa waktu, rekan kami mengalami kecemasan.

Seorang rekan lain yang kebetulan bekerja di perusahaan ikan juga mengaku menjadi takut karena pabriknya hanya berjarak 20 meter dari pantai. Padahal sudah delapan tahun lebih dia bekerja di tempat itu.

Ini adalah gambaran kecil bagaimana satu bencana besar di satu tempat, dampak traumanya memengaruhi orang-orang di tempat lain. Orang-orang yang tidak mengalami bencana secara langsung ini dikatakan mengalami "trauma sekunder". Kita dapat membayangkan bagaimana "trauma primer" yang diderita para korban yang mengalami bencana tersebut secara langsung.

Perlu dipahami bahwa "trauma" merupakan reaksi yang wajar ketika seseorang ataupun masyarakat secara bersamaan mengalami kejadian sangat mengejutkan, mendadak, menakutkan, mencekam, dan menyebabkan kehilangan atau kesakitan. Pengalaman semacam itu merupakan sesuatu yang luar biasa sehingga mengguncang kondisi kejiwaan seseorang dan wajar ketika menimbulkan gejala psikis tertentu seperti yang Ibu saksikan.

Gejala tersebut akan tampak setidaknya dalam jangka 1-3 bulan pascakejadian dan setelah itu akan hilang atau mereda. Hanya saja, pada orang-orang tertentu, baik karena kondisi psikisnya yang memang "lemah" atau karena kurangnya penanganan psikologis pascakejadian, maka gejala tersebut terus berlangsung dan bahkan dapat lebih parah.

Trauma ditandai oleh gejala-gejala seperti teringat kejadian terus-menerus, gangguan tidur dan munculnya mimpi-mimpi buruk, gangguan makan, perasaan kosong/hampa, atau bahkan sangat sensitif, seperti mudah tersinggung dan menangis, kesiagaan yang terus-menerus kalau-kalau kejadian itu akan berulang kembali sehingga indra lebih peka terhadap stimulus dari luar, perasaan tidak tersambung dengan realitas, juga timbulnya gangguan/keluhan fisik.

Mengenai gambaran kondisi para perempuan dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi di kamp pengungsian memang tidak jauh dari yang Anda bayangkan. Kesulitan para ibu yang kehilangan suami dalam mengakses fasilitas di kamp juga menjadi persoalan tersendiri. Belum lagi peran baru mereka yang terpaksa menjanda, menjadi "incaran" oknum-oknum tertentu di mana situasi ini berpotensi untuk terjadinya kekerasan.

Seorang anak remaja perempuan di salah satu kamp pengungsian juga mengaku beberapa kali dilecehkan secara seksual oleh sekelompok pemuda. Mereka suka menggoda dia saat akan ke kamar mandi sehingga ia takut ke kamar mandi sendiri, apalagi pada malam hari. Seorang ibu muda yang menjadi janda dengan seorang anak yang masih balita mengaku kerap ketakutan pada malam hari karena beberapa laki-laki iseng telah melubangi tendanya dengan rokok dan mengintipnya saat malam menjelang.

Sayangnya, hal-hal seperti ini belum menjadi perhatian khusus pihak berwenang, apalagi banyak kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sering kali para perempuan ini mau tidak mau harus menjaga dirinya sesuai kemampuannya dengan sarana seadanya.

Ibu NN, perasaan tidak berdaya karena telah banyak kehilangan pascabencana sangat mungkin mengubah seseorang atau masyarakat pada umumnya yang menjadi korban dalam hal perilaku, pikiran, ataupun cara pandang terhadap kehidupan. Pada intinya ada dua hal di dalam menyikapi bencana ini, yaitu bertahan untuk bangkit atau putus asa.

Anda tidak perlu merasa kecil hati karena merasa tidak dapat berbuat banyak pada situasi seperti ini. Setidaknya, empati Anda untuk famili tetangga Anda dengan menjadi pendengar atas keluh-kesahnya (kalau hal ini memungkinkan) akan membantu beliau membuat pilihan bertahan dan bangkit. Sekiranya beliau masih dapat diajak berkomunikasi seperti biasa, pelibatan dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat bersama dengan yang lain dapat menjadi cara untuk pemulihan.

Namun, sekiranya memang sudah kesulitan dalam berkomunikasi dengan beliau, tidak ada salahnya Anda menyarankan untuk mempertemukan dengan ahlinya sebagai antisipasi terjadinya kondisi yang lebih buruk. Berkonsultasi kesehatan dengan psikiater tidak selalu berarti sakit jiwa atau gila, tetapi barangkali beliau hanya butuh terapi obat untuk sementara guna membantu mengembalikan ketenangannya.

Dalam situasi sebagaimana yang terjadi pada tetangga Ibu tersebut, melakukan sesuatu yang konkret rasanya akan lebih berguna daripada sekadar belas kasihan karena yang dibutuhkan oleh para korban ini adalah dukungan sebagai penguat untuk memilih bangkit dan dampingan dalam mengelola harapan ke depan.

Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, Senin 13 Juni 2005

42480700
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2733
10808
174230
156663
42480700