Pernikahan Siri

Written by  Rabu, 02 Mei 2018 09:28

Yth. Rifka Annisa,

Perkenalkan saya Ibu M dari kota J. Saya sudah menikah selama 5 tahun. Pernikahan ini masih belum dicatatkan, karena suami masih terikat pernikahan dengan istri pertama. Kondisi rumah tangga suami dan istrinya memang sudah tidak harmonis. Istrinya sering membantah, sering tidak di rumah untuk bekerja, dan tidak bisa mengurus rumah dengan baik, meskipun mereka sudah memiliki satu anak. Mereka sering bertengkar karena situasi-situasi tersebut. Saat itu suami sudah mau menceraikan, tapi kondisi belum memungkinkan. Oleh karena itu saya bersedia ketika diajak menikah secara siri terlebih dahulu pada seorang kyai di sebuah pondok pesantren. Dari pondok tersebut, kami mendapatkan sertifikat pernikahan. Suami berjanji akan segera mengurus perceraian dengan istrinya dan mendaftarkan pernikahan kami ke KUA.

Hari demi hari berlalu, hal itu tak kunjung dia wujudkan. Saya sudah berusaha melayaninya sebaik mungkin, namun jika saya menanyakan, dia akan marah, membentak-bentak, dan pernah sampai memukul. Saya menahan diri, mungkin karena dia belum mendapatkan jalan untuk bercerai dari istrinya. Saya berusaha bersabar, tetapi kemudian dia mengabarkan bahwa istrinya sudah hamil lagi, dan tidak mungkin diceraikan sekarang. Saya merasa hancur. Selama ini saya sudah bersabar, rela tidak diberi nafkah karena saya memiliki penghasilan sendiri meskipun tidak besar, bahkan kadang uang saya diminta untuk kebutuhan anaknya. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Saya ingin semuanya segera selesai agar bisa hidup tentram dan damai.

JAWABAN

Salam Ibu M, kami ikut sedih membaca situasi Ibu saat ini. Jika kita runut ke belakang, berdasarkan cerita Ibu, Ibu banyak mendapatkan informasi tentang situasi dan kondisi suami bersumber dari suami sendiri. Hal ini sangat rentan membuat Ibu mendapatkan bias informasi. Artinya, kondisi yang sebenarnya belum tentu seperti yang digambarkan oleh suami. Ada baiknya Ibu mencari sumber informasi lain, atau langsung menanyakan kepada keluarga suami untuk mendapatkan gambaran situasi yang sebenarnya.

Jika kondisi rumah tangganya sedang ada masalah pun, bukan berarti dia memiliki hak untuk melaksanakan pernikahan di luar pengetahuan istrinya. Selain hal ini akan menyakiti hati istri dan anaknya, pernikahan tersebut menempatkan Ibu M dalam posisi beresiko, karena tidak ada perlindungan hukum yang menyertai.

Negara kita hanya mengakui pernikahan yang tercatat resmi di KUA maupun kantor catatan sipil. Pernikahan seperti yang Ibu ceritakan tidak mendapatkan pengakuan secara hukum dari negara. Konsekuensinya adalah, Ibu dan suami tidak memiliki ikatan hukum, sehingga ketika terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga misalnya, sulit untuk diproses hukum secara khusus yang diatur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Seandainya terjadi kekerasan fisik hanya dapat dilaporkan dengan KUHP Pasal 351-355 mengenai penganiayaan, yang mana sangat terbatas untuk pembuktian, misalnya saksi minimal 2 beserta alat bukti rekam medis (visum et repertum) setelah ada laporan ke kepolisian. Termasuk ketika terjadi perceraian atau jika lahir anak dalam pernikahan ini, maka Ibu akan mengalami kesulitan untuk memperjuangkan hak - hak ibu sebagai seorang istri maupun anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri secara hukum, misalnya, nafkah anak, nafkah idah, mut’ah, dan sebagainya.

Selain konsekuensi secara hukum, ada konsekuensi sosial yang Ibu hadapi. Misalnya secara psikologis, yang Ibu alami adalah tekanan karena menyembunyikan situasi. Saat ada masalah, tidak leluasa mencari bantuan. Lingkungan yang bisa diajak berbagi cerita semakin terbatas. Secara sosial, Ibu rentan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Apalagi dalam kasus Ibu, secara ekonomi juga menjadi tulang punggung utama dalam rumah tangga.

Sebagai perempuan, kita bersahabat dengan perempuan yang lain. Sikap Ibu M, bukan hanya berpengaruh pada kehidupan Ibu M sendiri, namun juga berpengaruh pada kehidupan perempuan yang lain. Ibu bisa mencoba melihat situasi dari sudut pandang istri suami. Ketika dia ikut mencari nafkah, dia disalahkan atas pekerjaan rumah tangga yang belum tuntas. Apakah pekerjaan rumah tangga hanya tanggung jawab istri saja, ataukah suami sebenarnya bisa mengambil bagian dalam tanggung jawab tersebut? Sama halnya dengan mencari nafkah, sebenarnya itu tanggung jawab suami saja, sehingga ketika istri ikut menanggung hanya dikatakan membantu? Atau sebenarnya itu tanggung jawab bersama? Tanggung jawab-tanggung jawab ini merupakan ketentuan yang tidak bisa diubah, ataukah sesuatu yang bisa disepakati?

Pertanyaan-pertanyaan ini membantu kita merumuskan pendapat, agar tidak mudah saling menyalahkan. Selain itu, dengan sikap suami saat ini, apakah ada jaminan jika Ibu menikah secara sah dengan suami, tidak akan mengalami seperti yang dialami istrinya?

Karena tujuan pernikahan menurut Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 1974  adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, maka ada baiknya hubungan ini dipertimbangkan kembali. Mengingat banyaknya resiko dan konsekuensi yang Ibu M hadapi. Semakin Ibu kuat dan tegas mengambil keputusan, tidak tergantung pada orang lain, semakin mudah bagi Ibu untuk menyelesaikan permasalhan dan merencanakan kehidupan ke depan.

Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut, dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

 

Harian Jogja, 8 Maret 2018

Read 10573 times
46304847
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5796
50535
157092
306641
46304847