KOMPAS.com – Pernahkah kita mengeluarkan komentar terhadap kasus pemerkosaan yang ada di sekitar kita? Misalnya, mengeluarkan kalimat, "Ah pasti dia pakai bajunya seksi", "Siapa suruh mau diajak cowok enggak jelas, kejadian kan", "Dia emang cewek nakal, pantas saja sampai begitu". Komentar-komentar tersebut secara tidak langsung meletakkan posisi perempuan pada posisi bersalah (victim blaming) atas insiden pemerkosaan yang dialaminya. Sementara. laki-laki yang menjadi pelaku pemerkosaan dianggap wajar dan memiliki insting naluriah atas nafsu yang ia lampiaskan.

Atau mungkin bisa jadi kalimat yang diucapkan seperti, "Ya kan dipegang doang, serius amat”, "Santai aja, sok suci deh", "Laki-laki memang begitu". Kalimat itu bisa jadi ringan diucapkan, namun termasuk dalam fenomena rape culture yang ternyata memiliki konsekuensi besar terhadap langgengnya praktik pemerkosaan di sekitar kita. Bahkan, ketika kasus pemerkosaan dibawa ke ranah hukum, petugas polisi justru menyatakan hal-hal yang secara tidak langsung mematikan laporan pelapor. Misalnya dengan kalimat, "Apa kejadian ini bukan karena suka sama suka", "Coba dibicarakan kekeluargaan dulu", dan sebagainya. Semua itu masih ada, kerap kita dengar, atau bahkan kita sendiri ambil  bagian dalam kesalahan itu sampai saat ini. Sehingga, tak heran tindak pelecehan atau bahkan kekerasan seksual masih saja terulang di masyarakat. 

Menurut Program Development Officer dari organisasi Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah, kesalahan-kesalahan ini bersifat laten dan sudah mengakar di masyarakat. "Rape culture ini sifatnya sistemik, kita enggak sadar bahwa itu sudah ada dan bahkan dilanggengkan dalam budaya kita. Ini juga menjadi penyebab kenapa banyak kasus perkosaan atau pelecehan seksual terus terjadi dan sulit ditangani," ujar Defi kepada Kompas.com, Kamis (8/11/2018) pagi. 

Defi juga menyebutkan, praktik pemerkosaan yang dilanggengkan ini menyebabkan struktur sosial yang ada di masyarakat tidak lagi berfungsi. Selain itu, masyarakat kehilangan sensitivitas terhadap pelanggaran yang merugikan hak-hak korban. Sementara, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani, menyebutkan hal ini sebagai warisan budaya patriarki yang banyak dianut kebanyakan kelompok masyarakat di dunia. "Hal ini terkait dengan budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, itu proses sistematik,” ujar Indry.

Dampak

Dampak buruk yang dapat timbul dari kebiasaan melumrahkan pemerkosaan dan menyalahkan korban dapat menyebabkan masalah berkepanjangan. Adapun, masalah itu seperti menyelamatkan pelaku dari rasa bersalah, kemudian menghancurkan kondisi psikologis korban, sulitnya pengungkapan sebuah kasus pemerkosaan, hingga pada akhirnya kejadian serupa kembali terulang dan terulang.

"Korban semakin terpojokkan, ia enggan berbicara. Bahkan dalam beberapa kasus, korban tidak langsung melapor karena tekanan psikologis dan dipojokkan oleh rape culture di sekitarnya," ujar Defi. “Justru kebiasaan kita yang tidak mendukung korban tersebut menyebabkan korban semakin trauma dan menanggung sendiri dampak kekerasan seksual yang dialaminya," Defi melanjutkan.

Apa yang harus dilakukan

Meski tidak mudah dan dibutuhkan partisipasi banyak pihak, menghilangkan praktik pelanggengan pemerkosaan di masyarakat masih mungkin untuk dilakukan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meniadakan praktik rape culture di tengah masyarakat. Upaya itu mulai dari membenahi diri sendiri, mengedukasi lingkungan, hingga mendesak pihak berwenang untuk mengubah aturan hukum yang kurang sesuai.

"Mulai dari hal kecil, misalnya tidak melakukan candaan seksual (sexist joke), tidak menyalahkan korban (victim blaming), dan tidak menganggap remeh tindakan seksual apa pun," Defi menjelaskan.

Masyarakat yang selama ini tidak menyadari kebiasaannya sebagai sesuatu yang salah juga perlahan harus dicerahkan dan diedukasi dengan tepat. Ada konsekuensi buruk berkepanjangan dari kebiasaan salah yang secara tidak sadar mereka lakukan.

Di ranah hukum, Indry dari Koalisi Perempuan menyebutkan, ada salah satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kurang tepat dan harus segera diperbaiki.

"Kalau undang-undang dan peraturan masih berpihak pada pelaku, maka korban  akan selalu menjadi pihak yang salah. Coba buka KUHP Pasal 285, perkosaan adalah jika terjadi penetrasi penis ke dalam vagina dan dilakukan dengan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan," kata Indry.

Menurut dia, definisi pemerkosaan yang ada di peraturan itu dinilai terlalu sempit. Padahal, pemerkosaan dapat diartikan pada tindakan pelecehan atau kekerasan seksual yang lebih luas. "Juga kenyataan bahwa anal atau oral seks juga bentuk yang serupa dengan penetrasi vaginal. Jadi, seharusnya penetrasi anal dan oral juga masuk dalam bentuk perkosaan," kata Indry.

Menurut dia, tidak semua ancaman bisa dibuktikan menggunakan penjelasan yang tertera di KUHP. Ada pula pemerkosaan yang dilakukan dengan bujuk rayu. Selain itu, ancaman juga tidak selalu berbentuk fisik. Bisa juga bentuk ancaman seperti meluluskan ujian, menyebarkan foto korban dalam kondisi tidak pantas juga dapat disebut sebagai ancaman yang mengerikan untuk korban. Akan tetapi, hal itu tidak termaktub dalam penjelasan peraturan hukum yang saat ini ada.

 

 

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Akibat "Rape Culture", Masyarakat Dinilai Berperan Langgengkan Pemerkosaan", https://nasional.kompas.com/read/2018/11/08/16241701/akibat-rape-culture-masyarakat-dinilai-berperan-langgengkan-pemerkosaan
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Bayu Galih

TRIBUNJOGJA.COM - Direktur Rifka Annisa, Suharti mengungkapkan, mahasiswa UGM yang jadi korban kekerasan seksual saat melaksanakan KKN di Maluku mengalami depresi berat saat datang ke kantornya.

"Penyintas mulai melakukan pendampingan sejak September 2017 lalu, setelah penyintas datang untuk mengakses layanan di kantor Rifka Annisa. Berdasarkan asesmen awal, penyintas berada dalam kondisi depresi berat. Sehingga fokus utama yang dilakukan adalah pemulihan kondisi psikologis dan menciptakan rasa aman bagi penyintas," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tribun Jogja Rabu (7/11/2018).

Ia melanjutkan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, pihaknya sslaku mengedepankan penyelesaian yang bertujuan menjamin rasa keadilan perempuan korban kekerasan, terutama penyelesaian secara hukum. Namun Rifka Annisa mengutamakan prinsip persetujuan dari korban. 

"Dalam kasus ini, Rifka Annisa telah menyampaikan informasi tentang hak-hak korban pada penyintas dan mendiskusikan alternatif penyelesaian melalui jalur hukum. Namun pada kasus tertentu, proses hukum memiliki kendala-kendala. Terutama dalam menjamin hak-hak dan keadilan korban," lanjutnya.

"Pada akhir 2017, Rifka Annisa telah menjalin koordinasi dengan tim Fisipol UGM untuk mencari penyelesaian terbaik. Rifka Annisa juga mendorong pihak kampus untuk menyusun sistem penyelesaian di lingkungan kampus, yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan hak korban agar tidak terjadi hal serupa," sambungnya.

Koordinasi tersebut direspon baik oleh Fisipol UGM, sehingga membentuk tim investigasi. Tim investigasi pun kemudian telah memberikan beberapa rekomendasi mengenai hasil investigasinya. (tribunjogja)

 

 

 

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Rifka Annisa : Mahasiswa UGM Korban Kekerasan Seksual Sempat Alami Depresi, http://jogja.tribunnews.com/2018/11/07/rifka-annisa-mahasiswa-ugm-korban-kekerasan-seksual-sempat-alami-depresi.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani
Editor: has

Rabu, 05 September 2018 13:21

Bercerai Bukan di Tempat Menikah

Nama saya Fira, saya menikah pada tahun 2009 di Wonosobo. Awal tahun 2018, saya dan suami telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan dan kami sepakat bercerai. Saya dan suami sudah tinggal di Yogyakarta sejak tahun 2012. Apabila ingin mengajukan perceraian, dimanakah sebaiknya saya mendaftarkan perceraian? Apakah bisa di Yogyakarta atau harus di Wonosobo? Terimakasih.

JAWAB

Pengaturan tentang perceraian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, terdapat dua mekanisme pengajuan gugatan cerai, berdasarkan agama atau keyakinan yang dianut para pihak yang mengajukan perceraian, termasuk tempat perceraian diajukan.

Perceraian Pasangan Muslim

Pasangan suami-istri yang beragama Islam harus tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Proses perceraian berdasarkan KHI pada Pasal 116 terdapat dua istilah, yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Perbedaannya terletak pada pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Cerai talak, yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan pengadilan, yang sesuai dengan hukum Islam. Ini berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan dan PP No. 9/Th 1975.

Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Adapun istilah cerai gugat (gugatan cerai), yaitu diajukan oleh istri, sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Untuk yang beragama Islam, gugatan diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal atau domisili istri, kecuali dalam hal istri dianggap meninggalkan rumah tanpa izin suami atau istilahnya nuzyuz. Apabila kepergian ini ada alasan tertentu, maka harus dijelaskan pada hakim, agar hakim dapat mempertimbangkan alasan kepergiannya sehingga tuduhan nuzyuz tidak terbukti.  

Perceraian Pasangan Non-Muslim

Gugatan cerai pasangan non-Muslim dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/Th 1975, bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri, atau kuasanya, kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dengan demikian, jika suami yang menggugat cerai istrinya, suami harus mengajukan permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal istrinya saat itu, dan sebaliknya. Namun, jika tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak jelas dan tidak diketahui atau berpindah-pindah, gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan di wilayah kediaman penggugat.

Maka berdasarkan penjelasan di atas, Ibu tidak harus mengajukan gugatan cerai di Wonosobo, melainkan bisa di Yogyakarta. Adapun untuk pengajuan cerai di Yogyakarta, Ibu atau suami harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Yogyakarta atau Surat Keterangan Domisili di Yogyakarta. Surat Keterangan Domisili adalah surat yang dibuat dengan kegunaannya, dan dikeluarkan oleh pihak yang berwenang seperti ketua RT, ketua RW, Kepala Dusun, KepalaDesa, yang isinya untuk menerangkan status tempat tinggal seseorang dalam suatu wilayah atau daerah tertentu. Biasanya surat ini bisa dikeluarkan setelah berdomisili di suatu tempat, minimal dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Kami ikut mendoakan yang terbaik bagi semua.

Rabu, 05 September 2018 13:09

Sunat Perempuan

Saya seorang dokter. Saya pernah mengikuti sebuah acara lokakarya terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan, dan pada saat itu dijelaskan bahwa salah satu bentuk kekerasan seksual adalah sunat perempuan. Yang ingin saya tanyakan, dari segi manakah sunat perempuan menjadi bentuk kekerasan seksual? Karena sunat itu bisa menjadi kewajiban di suku tertentu. Apabila mendapati ada pihak keluarga yang meminta sunat pada anak perempuan, sikap saya sebaiknya bagaimana? Terimakasih banyak.

Mirna di kota J

JAWAB

Salam dr. Mirna,

Temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013) di Indonesia menyebutkan ada 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penghukuman bernuansa seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan pernikahan, penyiksaan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, sunat perempuan, pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, pemaksaan berbusana, prostitusi paksa, dan sunat perempuan.

Adapun, sunat perempuan menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual, karena kebiasaan masyarakat ini sering ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang bernuansa seksual, dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

Kebijakan sunat perempuan di Indonesia sendiri masih pro-kontra. Pada tahun 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Surat Edaran ini membuat praktik sunat perempuan pada bayi perempuan tidak dilakukan. Namun, pada Mei 2008, MUI menentang larangan tersebut. MUI mengeluarkan Fatwa untuk menolak larangan khitan perempuan. MUI mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan yang berbunyi, khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Akhirnya, pada 2013, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Alasannya, banyaknya pihak yang masih beranggapan khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika. Khitan perempuan di Afrika dilakukan dengan cara mutilasi, sementara di Indonesia, menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan jarum steril tanpa melukai.

Memang di Indonesia, praktek sunat perempuan tidak seperti di Timur Tengah dan Afrika. Di negara tersebut, sunat perempuan sampai menghilangkan bagian klitoris, dengan maksud supaya perempuan tidak dapat merasakan orgasme. Tujuannya adalah untuk mengontrol seksualitas perempuan, agar perempuan tidak berhubungan seksual dengan laki-laki selain pasangannya. Beberapa budaya di Indonesia bahkan secara simbolis saja melakukan sunat, misalnya diganti dengan kunyit atau rempah yang lain.

Secara medis, praktek sunat perempuan di Indonesia tidak mengganggu kesehatan. Namun juga tidak ada manfaat medis sama sekali. Yang berbahaya dari praktek ini adalah ide dasarnya, yaitu untuk mengekang hak perempuan dalam menikmati hubungan seksual. Perempuan dikontrol dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan seksualnya. Ini adalah perspektif yang sangat merendahkan, karena seolah-olah ketika kontrol itu tidak dilakukan, perempuan akan menjadi manusia yang tidak tahu norma dan etika. Inilah yang menyebabkan sunat perempuan dimasukkan ke dalam bentuk kekerasan seksual.

 Uraian di atas dapat menjadi bahan referensi bagi Ibu dalam membangun diskusi dengan keluarga yang hendak melakukan sunat perempuan pada anak perempuannya. Minimal, bahwa niat untuk melakukan sunat perempuan tidak dilandasi perspektif yang merendahkan seperti uraian di atas.

Kekerasan seksual bukan hanya serangan seksual secara fisik. Namun ucapan, sikap, maupun ide dasar, nilai, dan gagasan yang bernuansa seksual dan merendahkan perempuan, juga merupakan bentuk kekerasan seksual yang perlu kita kenali bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Semoga uraian ini cukup menjawab pertanyaan Ibu. Jika masih ada yang ingin didiskusikan silahkan dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Terimakasih.

41429510
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5902
57626
156558
190938
41429510