Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai permasalahan di seluruh aspek kehidupan manusia—baik dari aspek ekonomi, pendidikan, politik hingga aspek personal seperti kehidupan berumah tangga. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan kepada 2.285 Perempuan dan Laki-laki sejak April hingga Mei 2020, sebanyak 80% dari responden perempuan yang berpenghasilan dibawah 5 juta menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat. Namun, hanya 10% perempuan yang melaporkan mengenai kasus kekerasan yang dialami.

Selain itu, Komnas Perempuan juga menerima setidaknya 319 kasus yang dilaporkan selama masa pandemi dan dua-pertiganya adalah kasus KDRT. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menyebutkan bahwa ada sekitar 110 kasus yang dilaporkan setelah adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari bulan maret hingga juni.

Disamping itu, WCC Rifka Annisa juga menerima laporan sebanyak 660 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga September 2020. Dan 579 kasus diantaranya terjadi selama masa pandemi. Bentuk kekerasan yang dilaporkan paling tinggi yaitu kekerasan terhadap istri (KTI) dengan jumlah 124, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 46 kasus, kekerasan dalam keluarga (KDK) sebanyak 33 kasus, pelecehan seksual 24 kasus, perkosaan 22 kasus, trafficking 10 kasus dan lainnya 2 kasus.

Dari data tersebut kita dapat mengetahui bersama bahwa selama masa pandemi—perempuan tetap tidak terlepas dari kekerasan. Dan kita juga mengetahui bahwa kasus kekerasan paling tinggi adalah KTI. Kasus KTI masuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004).

Faktanya, masih banyak perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan. Sebagian perempuan juga ada yang telah sadar namun enggan untuk melaporkan. Sebagian besar perempuan lebih memilih diam atau hanya menceritakan kepada orang terdekat. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini, diantaranya yaitu perempuan korban kekerasan merasa bahwa permasalahan rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi, ketidakberdayaan ekonomi, hingga pemahaman akan proses hukum yang rendah. 

Dalam proses hukum, Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diselesaikan melalui dua proses hukum yaitu Pengadilan Pidana dimana pelaku harus melakukan pertanggungjawaban atas perbuatannya secara pidana atau Pengadilan Perdata berupa gugatan perceraian.

Pada umumnya, sebagian besar korban KDRT memilih untuk mengajukan gugatan perceraian. Gugatan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dan Pengadilan Negeri (bagi agama lain). Selain itu, pemilihan pengadilan didasarkan pada beberapa hal seperti tempat tinggal atau tempat berlangsungnya pernikahan.

Sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu mempersiapkan diri untuk hidup secara mandiri baik dari aspek ekonomi ataupun psikologis. selain itu, penting untuk mengkomunikasikan dengan pihak keluarga agar mendapat dukungan dan mempersiapkan anak agar mampu menerima dan menghadapi perceraian kedua orang tuanya.

Selain itu, menjadi penting untuk korban KDRT mencari informasi mengenai pengajuan gugatan cerai dengan menghubungi atau mendatangi secara langsung ke bagian informasi di pengadilan serta melakukan konsultasi dengan konsultan hukum agar mengetahui proses persidangan berserta hak – haknya.

Pada tahapan awal proses gugatan cerai, terdapat beberapa syarat administrasi yang harus dibawa, antara lain fotocopy akta nikah, fotocopy akta kelahiran anak (jika ada), fotocopy KTP, Surat Keterangan dari RT yang disahkan sampai kecamatan, Surat izin/rekomendasi dari atasan/pimpinan (bagi PNS, TNI, POLRI), Surat Gugatan, serta alat bukti apabila terjadi KDRT. Setelah semua syarat administrasi lengkap, penggugat bisa datang ke pengadilan setempat untuk mengajukan gugatan.

Proses untuk mengajukan guguatn melalui beberapa tahapan. Pertama, penggugat mengajukan gugatan tertulis dan ditujukan ke ketua pengadilan negeri atau pengadilan agama. Kedua, penggugat membayar panjar biaya perkara atau biaya sementara peradilan.

Ketiga, gugatan akan dicatat di Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor perkara. Keempat, setelah mendapat nomor perkara, perkara akan diteruskan ke Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim untuk diperiksa. Kelima, setelah pemeriksaan berkas selesai, Hakim akan memanggil penggugat dan tergugat untuk melaksanakan sidang perkara.

Sebelum menghadapi proses persidangan. Perempuan perlu kembali menguatkan diri secara psikologis dan ekonomi agar semakin yakin dengan keputusan yang telah diambil dan siap menghadapi proses persidangan yang akan berlangsung. Proses persidangan perkara gugatan perceraian melalui beberapa tahapan, yaitu :

Pertama, Majelis Hakim akan mengupayakan perdamaian antara penggugat dan tergugat melalui mediasi. Apabila mediasi tidak berhasil maka persidangan akan memasuki tahap selanjutnya.

Kedua yaitu pembacaan gugatan oleh penggugat.

Ketiga, tergugat memiliki hak untuk melakukan pembelaan atau bantahan terhadap gugatan yang disampaikan penggugat.

Keempat, penggugat akan melakukan replik untuk menjawab pembelaan yang diutarakan oleh tergugat.

Kelima, tergugat melakukan duplik yaitu menjawab replik yang telah disampaikan oleh penggugat. Setelah tahap jawab – menjawab ini selesai, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya.

Keenam yaitu pembuktian dari tergugat dan penggugat. Dalam hal ini, bagi perempuan yang mengajukan perdata berdasarkan kekerasan yang dialaminnya, ia wajib untuk membuktikan hal tersebut di pengadilan. Dalam perkara KDRT, saksi korban saja sudah dianggap cukup untuk membuktikn bahwa terdakwa bersalah apabila dilengkapi dengan bukti lainnya (pasal 55 UU PKDRT).

Ketujuh, Majelis Hakim akan menarik kesimpulan dari penjelasan yang diberikan oleh penggugat dan tergugat lalu membuat keputusan mengenai hasil sidang perkara perdata.

 Begitulah proses untuk mengajukan perceraian dan gambaran proses persidangan yang akan dilalui oleh korban kekerasan. Dalam menghadapi perkara tersebut, terdapat beberapa tips dan saran yang dapat diterapkan. Pertama, ketika mendapatkan perlakuan kekerasan, korban dapat berlindung ke rumah keluarga atau melaporkan kasus kepada pendampingi yang mampu untuk membantu secara psikologis dan hukum, misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Kedua, melaporkan kasus KDRT ke pihak berwajib dan meminta perlindungan agar tidak mendapatkan ancaman dan kekerasan berulang kali dari pelaku. Korban juga harus selalu minta ditemani ketika bepergian entah oleh keluarga atau pendamping untuk menghindari kemungkinan buruk selama proses persidangan berlangsung.

Ketiga menyadari bahwa kekerasan yang dialami dalam rumah tangga bukanlah aib keluarga yang harus ditutupi dan dibiarkan hanya karena menjaga nama baik keluarga. Hal ini memang tidaklah mudah, keputusan besar yang harus diambil. Namun sebagai perempuan—kita juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia dan terbebas dari ancaman kekerasan. Be aware and brave!

 

Sumber :

Triantono, S.h., M.H, Lisa Octafia, S.H. dan Saeroni, S.Ag.,M.H.2014. Buku Saku Informasi Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Yogyakarta: Rifka Annisa.

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Hasil%20Survei%20Covid%2019-KP-2020_17.06.pdf

Rabu, 07 Oktober 2020, Rifka Annisa WCC yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) melakukan Rapat Koordinasi Pembinaan Bimbingan Kemasyarakatan Dan Pengentasan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta, di Hotel Grand Dafam Rohan Yogyakarta.

Acara ini dihadiri oleh 90 peserta yang dibagi menjadi 2 berdasarkan kehadirannya. Lima puluh peseta hadir secara langsung sedangkan  40 lainnya hadir secara virtual. Adapun pihak Pokmas Lipas yang turut hadir dalam acara ini adalah DPC PERADI Sleman, Jogjakartanews, LSM Griya, Pemulihan Siloam DIY, LBH Sembada, Rehabilitasi Narkoba Pondok Elkana, Klinik IPTEK Mina Bisnis (KIMbis), Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum, LKBH) Sang Surya, Karang Taruna Satya Taruna Bakti, PT Radio Rakosa FM, Majelis Istiqomah Hijrah Yogyakarta, Shoe’og Shoes Cleaning, dan Kelompok Tani Wanita Sukamaju.

Dalam acara tersebut disampaikan bahwa saat ini jumlah penghuni lapas dan rutan di DIY sendiri mencapai 235.527 penghuni yang terbagi di 680 UPT Lapas dan 525 rutan. Jika dibagi berdasarkan jenis kelaminya maka diperoleh bahwa terdat 219.056 tahanan laki-laki, 12.122 tahanan perempuan dan 1.683 tahanan anak-anak. Merekalah yang harus dilindungi dari stigma negatif lingkungan sosialnya ketika nanti telah memperoleh kebebasan. Hal tersebut dimaksudkan agar para warga binaan pemasyarakatan ini mampu berkembang kearah yang produktif dan tentu saja diterima kembali di lingkungan sosialnyatersebut.

Peran masyarakat sangat diperlukan dalam proses ini. Masyarakat bisa berpartisipasi ketika individu pelanggar hukum menjalani proses pemidaan maupun ketika individu pelanggar hukum selesai menjalani pidanannya. Dalam proses pemidanaan, masyarakat bisa berpartisipasi dalam tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan pasca adjudikasi melalui kerjasasma kemitraan. 

Peran masyarakat dalam tahap pra adjudikasi bisa melali bantuan dan penyuluhan hukum, proses dan hasil kesepakatan diversi, dukungan dalam pelaksanaan penelitian kemasyarakatan, serta dukungan lain sesuai kebutuhan. Pada tahap adjudikasi, ,sayarakat bisa membantu dengan memberi bantuan hukum dalam persidangan, pendampingan persidangan dan dukungan lain sesuai kebutuhan klien saat kebutuhan (terkait layanan tahanan). Sedangkan pada tahap post adjudikasi, masyarakat mampu berperan dengan memberi dukungan program kemandirian, dukungan program kepribadian, dukungan pelaksanaan pidana bersayarat, dukungan pelaksanaan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan dan pengawasan serta dukungan lainnya sesuai kebutuhan warga binaan pemasyarakatan.

Dalam acara yang diinisiasi oleh KEMENKUMHAM DIY ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman tentang pelaksanaan program reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) diwilayah kerja Kementrian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta. Nota kesepahaman ini dimaksudkan sebagai pedoman para pihak untuk mengoptimalkan peran kelompok masyarakat dalam pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya itu, dijelaskan juga bahwa Ruang lingkup yang dimaksud dalam nota kesepahaman ini adalah a) penyelenggaraan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan; b)penyelenggaraan pelatihan kerja produksi bagi Warga Binaan Pemasyarakatan; c) penyampaian informasi mengenai pelayanan Pemasyarakatan; d) penyelenggaraan penyuluhan dan bantuan hukum; e) penyelenggaraan pembimbingan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan/Klien Asimilasi dan Integrasi; dan/atau f) kegiatan lainnya yang disetujui dan disepakati PARA PIHAK

“MoU ini merupakan inisiatif Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DIY sebagai landasan kerjasama dalam pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan ekonomi warga pemasyarakatan di DIY. Warga binaan yang akan menjalani reintegrasi sosial perlu mendapatkan pendampingan serta pembinaan kepribadian agar dapat menjalani kehidupannya secara normal ketika kembali ke keluarga dan masyarakat. Hal ini juga untuk mengurangi stigma negatif thd warga binaan yang seringkali dicap sebagai mantan penjahat, mantan napi, dll. Pendampingan dan pembinaan juga penting agar warga binaan dapat mengubah perilakunya menjadi lebih baik ketika kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi tindak kejahatan kembali” Jelas Defirentia One Muharomah, selaku Direktur Rifka Annisa WCC yang menghadiri acara tersebut.

Pada hari Selasa, 3 November 2020, telah terselenggara webinar hasil kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), UNFPA, Ubuntu Symposium dan Aliansi Laki-Laki Baru, serta didukung oleh WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, PKBI Kepulauan Riau, Yayasan Pulih, Rifka Annisa, dan CIS Timor.

Webinar ini dimoderatori oleh Syafirah Hardani dan diisi oleh Feby R. Ramadhan S.Sos., Elizabeth Windy S.I.Kom., dan Ira Larasati S.I.P. sebagai pembicara, serta Ita F. Nadia sebagai penanggap. Webinar dibuka oleh Dodi M. Hidayat, Ketua Bidang Partisipasi Organisasi Keagamaan dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).

Dalam pembukaannya, Dodi menyebut bahwa pengintegrasian pendekatan pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang penting karena kekerasan berbasis gender memiliki kaitan dengan norma dan praktik maskulinitas. Ketidaksetaraan membawa dampak negatif bagi kehidupan perempuan dan laki-laki itu sendiri. Selain itu, laki-laki dapat berperan positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender. Laki-laki juga memiliki posisi strategis di berbagai level, serta memiliki kontrol atau sumber daya yang diperlukan perempuan untuk mendapatkan keadilan. Meskipun laki-laki cukup strategis sebagai mitra perempuan untuk mendapatkan keadilan, langkah pelibatan laki-laki memiliki  beberapa resiko diantaranya bila tidak diterapkan dengan tepat justru dapat memperlemah upaya pemberdayaan perempuan. Pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan harus dipandu dengan prinsip yang sesuai untuk menciptakan kesetaraan gender yang hakiki.

Feby dalam penelitiannya tentang “Resistensi terhadap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial Aliansi Laki-laki Baru” menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan berada di atas pondasi budaya patriarki yang berdiri kokoh dalam masyarakat. Maskulinitas hegemonik  yang lahir karena adanya budaya patriarki dan mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan perlu ditelaah kembali. Aliansi Laki-laki Baru dapat menjadi alternatif bagi laki-laki untuk sama-sama belajar dan turut serta dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Pandangan lain dari penelitian Elizabeth Windy yang berjudul Representasi Male Feminist di Media Sosial Twitter @lakilakibaru (Studi Etnografi Virtual) menunjukkan bahwa representasi akun @lakilakibaru dapat memperlihatkan sisi lain laki-laki seperti; laki-laki dapat menjadi sensitif, gentle, takut, penuh kasih sayang, serta dapat pula berdandan. Laki-laki dapat berbagi peran di luar peran biologis dengan perempuan, seperti berbagai pekerjaan domestik dan pencarian nafkah. Laki-laki sebaiknya menghindari candaan seksis untuk menghindari normalisasi. Laki-laki tidak mendominasi dalam relasi dengan pasangan. Laki-laki tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan, baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun emosional.

Dalam wawancara dengan Shera, Manajer Media Sosial ALB, konten-konten yang diunggah di akun twitter @lakilakibaru telah melalui perencanaan strategi. Konten harus inline, mulai dari bahasa serta keteraturan postingan. Menurut Elizabeth, bagi laki-laki yang tertarik dalam kesetaraan gender dapat mengaplikasikan kiat-kiat menjadi male feminist sesuai citra ALB dalam kehidupan sehari-hari.

Selaian Elizabeth, Ira Larasati lulusan Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro memaparkan hasil penelitiannya berjudul Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru dalam Membongkar Konstruksi Maskulinitas. Penelitian yang dilakukan tahun 2019 ini meninjau gerakan ALB melalui konsep Two Logics of Action (konsep gerakan yang menggabungkan gerakan aksi kolektif tatap muka dengan gerakan aksi konektif media online). Hasil penelitian disimpulkan bahwa konsep gerakan ALB adalah hybrid, yaitu menggabungkan aksi-aksi kolektif yang dilakukan bersama dengan gerakan perempuan dan aksi-aksi konektif yang dilakukan melalui pemanfaatan media online. Ciri konsep hybrid yang sesuai dengan Gerakan yang dilakukan ALB antara lain; koordinasi organisasi yang longgar, organisasi menyediakan pengeluaran untuk teknologi sosial, konten komunikasi berpusat pada kerangka tindakan pribadi yang inklusif yang dihasilkan organisasi, gerakan terhubung dalam jaringan yang longgar. Ira juga menyebut bahwa terdapat keterbatasan penelitian ini, yaitu terletak pada kurangnya pembahasan mengenai tingkat keterlibatan publik dalam kerangka connective action yang dilakukan ALB, sehingga tidak dapat menjelaskan dampak gerakan ALB secara parsial. Penelitian ini juga menghasilkan rekomendasi yang menyebut bahwa inisiasi untuk membentuk jaringan volunteer perlu untuk terus dilakukan secara berkala agar transfer ide dan gerakan dapat lebih menyeluruh. Volunteer juga dapat dikelola untuk memperluas jaringan gerakan yang dilakukan dalam rangka connective action.

Pandemi Covid-19 di Indonesia menyisakan banyak persoalan, tak terkecuali soal kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan pembatasan sosial selama pandemi membuat kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin mengakar kuat. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75% selama pandemi. Dua pertiga dari 14.719 kasus yang terlapor merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)  yang  pelakunya adalah orang dekat korban[1].

Peran gender yang kaku pada saat karantina #dirumahaja menambah beban berlipat  pada perempuan. Penelitian dari Flinders University di Australia menjelaskan bahwa meningkatnya angka KDRT pada masa pandemi akibat bertambahnya berbagai bentuk kerentanan. Beban domestik yang meningkat selama pandemi menjadi salah satu kerentanan yang nyata bagi perempuan. Di Indonesia, perempuan menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk melakukan tugas rumah tangga atau 4 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki [2] . Ditambah lagi ketika perempuan tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan menjadi target tindak kekerasan.

Situasi yang tidak menentu akibat pandemi pun membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan baik laki-laki maupun perempuan. Ketika dalam rumah tangga, suami yang mengalami PHK, suami, istri, serta anak pun lebih sering berkonflik. Hal ini diakibatkan dari sebagian laki-laki kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrol atas perempuan. Studi Rifka Annisa dalam menjadi laki-laki; pandangan laki-laki Jawa tentang maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa ada dinamika pikir (kognitif) dan rasa (emosi) kaum laki-laki terkait konsep maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga. Rambu-rambu nilai  dan batasan yang disebut “maskulin” membuat laki-laki terdidik untuk memenuhi kriteria, karakter, peran dan fungsi sosial sebagai pemimpin perempuan dan anak-anak, serta menempatkan laki-laki dalam struktur tertinggi pola relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Konsekuensi dari struktur budaya membentuk laki-laki sedemikian rupa.

 

Kasus kekerasan terus berulang

Kemunculan pandemi Covid-19 menjadi ruang gelap perempuan. Kondisi perempuan yang memiliki banyak kerentanan di dalam rumah tangga dan berpotensi sebagai korban kekerasan menjadi tidak terelakkan. Pandemi yang tak kunjung usai dan budaya di Indonesia yang menempatkan laki-laki di struktur tertinggi dalam rumah tangga membuat sebagian perempuan sulit mengambil keputusan. Di satu sisi, ada tantangan tersendiri untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam situasi krisis seperti pandemi. Namun, di sisi lain perempuan juga ingin keluar dari lingkaran kekerasan yang melibatkan dirinya dan pasangan.

              Relasi emosi yang terbangun antara suami dan istri dengan berbagai harapan yang dilekatkan masyarakat kepada keduanya membuat hubungan suami dan istri semakin intim. Kontrol suami terhadap istri mungkin dan biasa dilakukan. Secara garis besar, kekerasan  terhadap perempuan di dalam rumah tangga berkaitan dengan hubungan kekuasaan atas satu sama lain[3]. Istri yang ditempatkan pada struktur kedua di dalam rumah tangga dapat diatur dan dikontrol oleh suami. Keputusan untuk keluar dari belenggu kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga pun sulit dipilih oleh perempuan.

Mengacu pada tren kasus yang ditangani di Rifka Annisa, 90% perempuan yang mengalami KDRT memilih solusi untuk kembali ke pasangan. Berbagai tuntutan sosial turut serta mempengaruhi pilihan perempuan korban. Status janda yang akan melekat, keadaan ekonomi yang terkadang belum mapan di korban, takut dosa karena telah bercerai, dan bahkan ketakutan akan ancaman pelaku sering menjadi pertimbangan perempuan korban memilih keputusan.

Berbagai layanan yang dapat diakses perempuan korban kekerasan, seperti konseling hukum dan psikologis tidak sepenuhnya menjamin korban yang kembali pada pasangan terbebas dari kekerasan. Harapan bahwa suatu saat pasangan tidak akan melakukan kekerasan tanpa diimbangi cara pandang yang berubah, hanya akan menjadi bayang-bayang bagi perempuan. Nilai-nilai maskulin yang melekat pada sebagian besar laki-laki membuatnya berpotensi untuk kembali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

 

Bekerjasama dengan laki-laki melalui konseling

Melihat situasi yang cukup rumit dihadapi perempuan korban KDRT, perlu upaya yang seimbang antara kedua belah pihak. Penempatan konseling bagi perempuan korban KDRT tidak sepenuhnya dapat merubah keadaan di dalam rumah tangga. Laki-laki perlu dilibatkan dalam upaya mengentaskan kekerasan, hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan perempuan korban kembali ke pasangan ketika mengalami KDRT.

Merujuk pada pengalaman Rifka Annisa sebagai Women's Crisis Center, pilihan perempuan korban untuk  menjaga keutuhan pernikahan meskipun terjadi kekerasan membuat Rifka Annisa memutuskan menambah layanan konseling  bagi laki-laki. Nilai maskulinitas positif berdasarkan nilai kesetaraan dan non-kekerasan diberikan kepada pelaku laki-laki untuk sama-sama belajar bagaimana mengubah perilaku, mengendalikan diri sendiri, dan berkomunikasi secara asertif.

Aditya Putra Kurniawan, konselor laki-laki Rifka Annisa, menuturkan ada berbagai karakter pelaku kekerasan yang ia temui misalnya, kepercayaan yang rendah dialami pelaku, merasa tidak tanggap dalam mencari nafkah sebagai suami atau pernah menjadi korban kekerasan semasa kecil. Perlu banyak pendekatan yang dilakukan oleh konselor laki-laki untuk tahu alasan dan keinginan pelaku. Budaya yang tidak membiasakan laki laki bercerita terkait dirinya, dan kehidupannya menjadi tantangan utama dalam melakukan konseling laki-laki.

Berbagai penolakan diri seringkali ditunjukkan oleh pelaku laki-laki saat konseling. Tidak mengakui kekerasan yang dilakukan dan cenderung menyalahkan orang lain, menganggap remeh tindakan yang dilakukan (minimizing), enggan diajak kerjasama dengan konselor, meremehkan informasi konselor atau hanya diam, tidak terbuka dan menutup diri. Rentetan tantangan yang sering muncul saat konseling laki-laki, mendorong  para konselor merumuskan prinsip-prinsip utama layanan konseling bagi pelaku kekerasan seperti; Keselamatan perempuan dan anak menjadi prioritas, Kerahasiaan terbatas, Pelaku kekerasan bertanggung jawab penuh terhadap kekerasan yang dilakukannya, dan Akuntabilitas. Upaya tetap menghargai pelaku sebagai manusia pun dilakukan oleh konselor, sehingga tidak mengabaikan keberanian pelaku untuk melakukan konseling.

Dukungan dan kepercayaan serta menemukan sisi positif klien laki-laki diikuti dorongan agar mampu menyelesaikan masalahnya dengan cara non-kekerasan membuat para klien dapat menemukan sendiri perubahanya. Berdasarkan catatan Rifka Annisa, klien laki-laki yang mengakses layanan konseling di Rifka Annisa telah menunjukkan perubahan sikap yang positif dan pemahaman yang lebih baik terhadap pasangan. Hal ini ditunjukkan melalui pemahaman klien bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap pasangan adalah salah. Selain itu, klien menjadi lebih bisa menghargai pasangannya, menjadi pendengar yang baik, tidak menunjukkan perilaku yang mendominasi, serta lebih memahami dinamika psikologis pasangan. Upaya perubahan lainnya ditunjukkan dengan perbaikan pola komunikasi klien dengan pasangan menjadi lebih asertif, khususnya dalam mengatasi permasalahan di antara mereka.

 

 

Sumber:

Hasyim, Nur dkk. 2007. Menjadi Laki-Laki; Pandangan Laki-Laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa

Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Rahayu S. Hidayat (Penerj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona

https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-eksekutif-summary-kajian-dinamika-perubahan-di-dalam-rumah-tangga-edisi-revisi

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona diakses pada tanggal 25 Agustus 2020 pukul 08:14

[2] https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-eksekutif-summary-kajian-dinamika-perubahan-di-dalam-rumah-tangga-edisi-revisi diakses pada tanggal 26 Agustus pukul 20:57

[3] Foucault, 1997 hal 12-36

Jumat, 28 Agustus 2020 23:17

Pandemi, Laki-Laki, dan Kontrasepsi

Covid-19 telah mengubah tatanan hidup masyarakat. Sejak pertengahan Maret 2020, pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk #dirumahaja yang berarti seluruh kegiatan bekerja  dan belajar mengajar dilaksanakan di rumah.  Ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 selain penerapan protokol kesehatan dan pemberlakuan physical distancing (menjaga jarak) di tempat umum. Namun, dengan segala usaha tersebut, kita semua tetap tidak tahu kapan pandemi ini akan segera berakhir. Ketidakpastian atas kapan kehidupan akan kembali normal seperti sedia kala menciptakan keresehan. Semua dituntut untuk harus segera beradaptasi dengan segala perubahan yang ada di depan mata.

Hakikat perubahan kehidupan disebabkan oleh masalah alam ataupun non-alam, salah satu contohnya seperti pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Adanya pandemi menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung oleh semua orang. Konsekuensi itu pun juga muncul pada kehidupan rumah tangga, terutama pasangan usia subur. Salah satu dampak seperti pekerjaan yang mulai diusung ke rumah atau biasa disebut WFH (work from home) atau yang lebih tragis, pemutusan hubungan kerja, membawa konsekuensi bagi kehidupan rumah tangga. Terutama, jika dalam rumah tangga tersebut, salah satu atau keduanya mengamini bahwa peran laki-laki adalah sebagai pencari nafkah utama dan peran perempuan adalah sebagai pencari nafkah tambahan.

Bagi laki-laki yang sudah berumah tangga konsekuensi dari ketidaksiapan pada perubahan tatanan hidup yang sangat cepat ini adalah kondisi rumah tangga itu sendiri. Stres yang dipicu oleh perubahan tatanan hidup ini  akan berpengaruh pada pola hubungan dengan diri atau pun pada anak-anak. Dampak lain dari situasi pandemi ini adalah kehamilan. Seperti yang diwartakan Kompas.com dalam artikel Lebih dari 400.00 Kehamilan Baru Terjadi Selama Pandemi di Indonesia[1] tanggal 20 Mei 2020 bahwa Indonesia dikabarkan menghadapi ledakan kehamilan baru. Berita tersebut dikonfirmasi oleh dr. Hasto Wardoyo, SpOG selaku Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional pada hari Selasa, 19 Mei 2020. Pembatasan berskala besar membuat warga, tidak terkecuali suami dan istri berada di rumah dan melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi.

Terkonfirmasi juga di Puskesmas Sentolo 1 yang disampaikan oleh Basiroh, selaku bidan koordinator, bahwa ia pernah mendapati pasangan suami istri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan selama masa pandemi ini. Namun, pasangan tersebut akhirnya tetap memilih untuk melanjutkan kehamilannya, meski layanan yang diberikan oleh Puskesmas berbeda dari sebelumnya karena pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, suami disarankan untuk terlibat dan masuk ke dalam ruangan selama pasien perempuan melakukan pemeriksaan, tapi karena keterbatasan tempat dengan adanya protokol kesehatan yang melarang berkumpulnya banyak orang dalam satu tempat, maka suami hanya bisa menunggu di luar ruangan. Akan tetapi, Puskesmas tetap memberikan layanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) selama pandemi ini mengingat bahwa ibu dan anak butuh pengecekan kesehatan rutin.

Selama masa pandemi ini, layanan yang diberikan juga dibatasi kuota setiap harinya. Sebelum pandemi Covid-19 rata-rata yang mengakses layanan Puskesmas sekitar 25-30 pasien, sekarang dibatasi sekitar 16 pasien per hari. Itu pun pasien harus menjalani screening kesehatan, yaitu cek suhu tubuh dan jaga jarak di luar ruangan, setelah itu baru pasien bisa mendapatkan pelayanan kesehatan KIA. Untuk pemeriksaan menyeluruh bagi ibu hamil (ANC) yang awalnya diberlakukan di trimester pertama kehamilan, sekarang dilakukan pada trimester kedua saat kandungan berusia 20 minggu. Bidan Basiroh menjelaskan jika di awal kehamilan, kondisi ibu dan janin lemah dan rentan terhadap virus. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk tetap tinggal di rumah dan tidak kemana-mana untuk menjaga kondisi tubuh sampai usia janin dalam kandungan memasuki trimester kedua. Layanan kontrasepsi di Puskesmas Sentolo 1 tetap diberikan bagi akseptor. Namun, hanya kontrasepsi yang sifatnya hormonal, bukan berupa tindakan, misalnya KB suntik, pil, dan kondom. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kontak dengan pasien.

Sebelum pandemi Covid-19, Puskesmas Sentolo 1 melakukan kerja sama dengan berbagai instansi untuk memberikan kursus bagi calon pengantin, mulai dari KUA (Kantor Urusan Agama) Sentolo, petugas penyuluh KB (PLKB), dan LSM  seperti Rifka Annisa. Untuk melakukan kegiatan ini pun pihak Puskesmas Sentolo 1, seperti yang dituturkan Basiroh, tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan melihat peta sebaran Covid-19. Jika calon pengantin laki-laki berasal dari luar daerah, maka calon pengantin tersebut wajib menjalani karantina mandiri selama 14 hari atau mendapatkan surat sehat dari Puskesmas dari tempat asal calon pengantin tesebut. Kegiatan ini diharapkan akan mempersiapkan kedua calon pengantin dalam menapaki rumah tangga, mulai dari membangun fondasi keluarga, pemilihan alat kontrasepsi, sumber gizi dan resiko bagi ibu hamil-menyusui, serta sosialisasi pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut perlu diadakan karena lebih baik mencegah kekerasan daripada menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Hal senada juga disampaikan oleh konselor hukum Rifka Annisa WCC, Nurul Kurniati, S.H. bahwa selama pandemi ini berlangsung, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didampinginya mengalami peningkatan. Berbagai macam bentuk kekerasan ia temui, mulai dari kekerasan fisik, ekonomi, serta kekerasan seksual. Pada beberapa kasus ditemui kekerasan yang berujung kehamilan tidak diinginkan. Hal tersebut tentu mempengaruhi kondisi ekonomi, kesehatan, hingga komunikasi antar suami-istri. Kondisi ini pun yang akhirnya memicu terjadinya berbagai macam kekerasan dalam rumah tangga.

Perceraian merupakan dampak lain dari kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Pengajuan cerai oleh pihak istri biasanya dipicu oleh perasaan tidak mampu untuk memperbaiki kondisi rumah tangga. Di lain sisi, suami juga merasa kebingungan dengan identitasnya sebagai laki-laki yang ideal menurut pemahaman umum. Dalam beberapa kasus, ada pihak suami yang mencoba untuk berefleksi diri dengan konseling. Sebuah harapan muncul, bahwa rumah tangga bisa dijalani kembali dengan versi “new normal”.

 

[1] Kompas.com. (2020, 20 Mei). Lebih dari 400.00 Kehamilan Baru Terjadi Selama Pandemi di Indonesia. Diakses pada 19 Maret 2019, dari https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/20/110300923/lebih-dari-400.000-kehamilan-baru-terjadi-selama-pandemi-di-indonesia?page=all#page2

46390581
Today
This Week
This Month
Last Month
All
26235
64389
242826
306641
46390581