Oleh: Megafirmawanti
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
“Kondom dan Perilaku Seksual Remaja”. Itulah tema yang diangkat dalam diskusi Rifka Annisa pada Jumat, 11 April 2014 di Aula Rifka Annisa. Diskusi yang berlangsung sejak pukul 10.00 tersebut dihadiri oleh mahasiswa UNRIYO sebagai pemantik diskusi dan staf serta relawan Rifka Annisa sebagai peserta diskusi.
Dalam paparan awal, Edward sebagai pemantik menjelaskan tentang 12 hak-hak reproduksi yang harus dimiliki remaja Indonesia. Beberapa hak tersebut antara lain: (1) Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi, (2) Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, (3) Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi, (4) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasaan, penyiksaan dan pelecehan seksual, dan (5) Hak mendapatkan manfaat dari Kemajuan Ilmu Pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi.
Setelah pemaparan tentang reproduksi remaja, diskusi dilanjutkan dengan pemutaran rekaman wawancara pada seorang remaja pengguna kondom. Dalam rekaman tersebut diketahui bahwa penggunaan kondom oleh remaja bisa saja dimulai dengan rasa ingin coba-coba. Ary, salah satu pemantik diskusi mengungkapkan bahwa salah satu resiko penggunaan kondom adalah penularan HIV AIDS. Ia menyayangkan penggunaan kondom tersebut dilakukan oleh remaja yang justru sudah tahu tentang kesehatan reproduksi.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini mengundang banyak komentar. Salah satunya ada komentar dari Sabar Riyadi. Sabar menyatakan bahwa perilaku seksual beresiko dapat dianalogikan dengan koruptor yang sudah tahu salah tetapi tetap melakukan kesalahan tersebut. Sabar juga mengingatkan bahwa untuk membahas penggunaan kondom dan perilaku seksual sangatlah spesifik dan tidak dapat digeneralisir.
Diskusi diakhiri dengan komentar dari Defirentia One. One menyatakan bahwa ada kecenderungan kadang-kadang laki-laki dan perempuan memandang relasi secara berbeda. Laki-laki, atas nama cinta, tapi minta seks, perempuan atas nama cinta, mau mengorbankan apa yang diminta pasangannya.
Bijak Bersosial Media
Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Apakah kalian pengguna aktif twitter, facebook, atau media sosial lainnya? Suka update status yang bernada menyindir, mengejek atau marah? Era virtual dan kecanggihan dunia cyber menjadikan media sosial makin populer. Saat ini, media sosial menjadi salah satu media terfavorit para remaja untuk mengungkapkan emosi secara verbal. Jika dulu aksi coret-coret tembok yang digunakan untuk mengungkapkan emosi, sekarang para remaja mulai beralih ke media sosial internet.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Sandi negara (STSN) Indonesia bekerjasama dengan Yahoo, 64% remaja usia 15-19 tahun mendominasi penggunaaan internet di Indonesia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh PeerReach pada tahun 2013 lalu mencatat bahwa Indonesia menempati urutan kedua untuk pengguna aktif twitter. Kemudian, untuk pengguna aktif facebook, Indonesia menempati peringkat ketiga. Diketahui pula bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia mayoritasnya adalah kalangan remaja.
Tak jarang pula, luapan emosi yang dicurahkan melalui media sosial seringkali menimbulkan berbagai konflik di kalangan remaja sendiri. Dalam hal ini, perkembangan emosi remaja yang masih belum stabil menjadi faktor yang membuat mereka akan dengan mudah tersulut amarah ketika dipantik suatu hal yang dirasa menyinggung. Contohnya saja, melalui berbagai update status di media sosial yang diunggah dengan penggunaan kata-kata yang kurang sopan, bahkan menyebutkan sejumlah oknum tertentu yang mereka anggap menganggu. Tentu saja, sesama remaja akan menganggap hal tersebut sebagai suatu ‘tantangan’ dari rekan pertemanan. Tak jarang di antara mereka akan membalas hal serupa melalui update status di media sosial pula. Hal inilah yang memicu adanya perang status di media sosial. Efek terburuk dari perang status ini adalah terjadinya tindak kekerasan fisik.
Perlu adanya kesadaran dari para remaja dan bimbingan orang tua berkaitan dengan hal ini. Dalam bermedia sosial, tentu para remaja harus mulai belajar untuk bersikap bijak. Berikut adalah beberapa tips yang dapat dilakukan remaja ketika akan mengunggah status untuk menghindari efek-efek negatif penggunaan media sosial: 1) Hindarilah penggunaan kata-kata berbau SARA setiap mengunggah status baru; 2) Berhentilah mengeluh di media sosial; 3) Saat marah, hindarilah penggunaan kata-kata kasar, melainkan bersikap positif dengan mengambil inti pembelajaran yang dalam setiap pengalaman. Kesadaran remaja dan dampingan orang tua ini menjadi dua hal pokok untuk mencegah pengaruh negatif penggunaan media sosial di kalangan remaja.
Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-Mail: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Komunikasi adalah hubungan dua arah yang dilakukan untuk memahami pikiran-pikiran orang lain. Komunikasi yang tidak baik akan menimbulkan kesalahpahaman dengan lawan bicara. Pada era yang serba canggih dan modern, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjaga komunikasi dengan baik, salah satunya melalui media sosial ataupun media elektronik. Akan tetapi, kecanggihan zaman saat ini sering kali menjadi pemicu komunikasi yang tidak baik antara remaja dengan orang tua. Kesibukan orang tua dan ketidakpedulian remaja lebih memicu permasalahan antara remaja dengan orang tua.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja adalah anak-anak yang berusia 10-24 tahun. Pada tahap ini, anak tumbuh menjadi seorang remaja yang sedang dalam proses berkembang. Masa ini adalah masa peralihan seorang anak menuju masa dewasa. Perkembangan emosi yang masih belum stabil dan sikap ego yang tinggi membuat para remaja membutuhkan dampingan khusus. Pada tahap ini pula, remaja seringkali memberontak ketika orang tua menasihati. Kekurangpahaman orang tua dalam mengerti apa yang anak inginkan dan ketidakstabilan emosi anak mejadikan komunikasi orang tua dan anak menjadi tidak baik.
Padahal, komunikasi antara remaja dan orang tua sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan psikologis remaja. Remaja yang memiliki hubungan komunikasi yang buruk dengan orang tua akan rentan terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau negatif. Di kala ini, remaja yang memiliki permasalahan cenderung menutup diri dari orang tua. Mereka akan mencari orang lain dan lingkungan yang lebih mendukungnya. Tentu saja akan baik jika remaja melarikan semua permasalahan mereka pada kegiatan-kegiatan positif. Lalu, bagaimana jika kegiatan-kegiatannya negatif?
Tentu saja, hal-hal negatif yang akan mempengaruhi kehidupan remaja. Contoh konkretnya, remaja rentan melakukan kekerasan, malahan terjerumus dalam pergaulan bebas seperti seks tidak aman dan menggunakan obat-obatan terlarang. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran dari diri remaja dan orang tua untuk membangun komunikasi yang baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua adalah: 1) Jangan memaksakan kehendak terhadap anak; 2) Luangkan waktu di sela-sela kesibukan orang tua untuk sejenak bercengkrama atau mengobrol bersama anak; 3) Memahami dunia anak, dengan mulai mengenal teman-temannya dan kehidupan remaja.
Sedangkan hal-hal yang dapat dilakukan seorang remaja untuk membangun komunikasi yang baik dengan orang tua adalah: 1) Mendengarkan nasihat orang tua, jika dirasa tidak sesuai dengan apa yang dirasakan, dibicarakan dan diklarifikasi kembali; 2) Peka terhadap kondisi orang tua yang lelah usai bekerja, sehingga lebih baik dipersilakan beristirahat sejenak; 3) Dalam menyampaikan pendapat atau keinginan sebaiknya jangan memaksa, akan tetapi sampaikan dengan baik-baik. Hal-hal tersebut merupakan tips sederhana, akan tetapi mungkin saja jarang dilakukan baik oleh remaja maupun orang tua. Bagaimanapun, seburuk apa pun kondisi komunikasi antara orang tua dan remaja, perlu adanya kesadaran masing-masing pihak untuk mulai membangun dan memperbaikinya kembali.
Oleh : Ratnasari Nugraheni
E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Euforia pesta demokrasi yang diadakan setiap 5 tahun sekali selalu berbeda-beda. Di pemilu 2014 ini, kalangan kader partai politik membidik pemilih pemula yang mayoritasnya adalah remaja. Berdasarkan definisi Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih pemula adalah (1) remaja usia 17-21 tahun yang di tandai dengan kepemilikkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mereka yang baru pertama kali memiliki pengalaman memilih dalam pemilu; (2) atau kalangan TNI/POLRI yang baru pensiun dan kembali menjadi warga sipil yang memiliki hak pilih.
Di setiap pemilu, kalangan pemilih pemula memang sudah banyak diincar oleh partai politik (parpol). Secara kuantitatif, jumlah pemilih pemula bisa menjadi penentu kemenangan parpol dalam pemilu, yakni sekitar 20-30% dari keseluruhan jumlah pemilih. Pada pemilu 2004, jumlah pemilih pemula mencapai 27 juta orang dari total 147 juta pemilih. Di tahun 2009, pemilih pemula mencapai 36 juta dari 171 juta pemilih. Sedangkan di tahun 2014, jumlah pemilih pemula meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2010, penduduk usia 15-19 tahun mencapai 20,9 juta orang, sedangkan usia 20-24 tahun 19,9 juta orang. Di pemilu 2014 ini terdata bahwa jumlah pemilih pemula mencapai 40%. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil. Bayangkan saja ketika semua pemilih pemula menggunakan hak pilihnya pada satu parpol yang sama, dapat dipastikan kemenangan parpol berada dalam genggaman.
Pemilih pemula memang sangat potensial dalam mendulang perolehan suara parpol. Akan tetapi, potensi ini tidak dibarengi dengan pengetahuan dan pendidikan pemilih pemula yang cukup. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yousure Fisipol UGM, 60% pemilih pemula belum pernah mendapatkan sosialisasi pemilu 2014 dan 65% pemilih pemula tidak mengetahui jumlah parpol peserta pemilu. Cukup memprihatinkan memang, di saat pemilu tinggal menghitung hari, suara pemilih pemula yang memiliki potensi memenangkan pemilu tak tahu harus di tujukan kepada siapa.
Tak banyak pemilih pemula yang mengetahui arti pentingnya menyalurkan suara mereka, dan tentu saja hal ini akan berdampak pada masa depan bangsa. Siapa wakil rakyat pada periode yang akan datang? Apakah mereka benar-benar dapat menyalurkan aspirasi rakyat atau malah hanya menggrogoti harta rakyat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi renungan para pemilih pemula. Di sinilah arti pentingnya para pemilih pemula menggunakan hak pilihnya. Mereka harus cerdas memilih dan menggunakan hak suara mereka kepada para kandidat yang benar-benar berkompeten. Jangan hanya mereka serta merta memilih golput dengan alasan tidak tahu pemilu dan politik.
Hadirnya ghost voter merupakan akibat dari pemilih yang memutuskan untuk golput. Data-data pemilih golput inilah yang disabotase oleh sejumlah oknum tertentu untuk berbuat curang dengan menggelembungkan suara pemilih. Bayangkan apa yang akan terjadi jika banyak pemilih pemula yang golput. Dengan tingginya jumlah pemilih pemula tentu saja hal ini menjadi keuntungan parpol nakal demi meraup suara yang lebih banyak. Tentunya, suara mereka akan tersalur pada sejumlah wakil rakyat yang tidak jujur.
Pemilih pemula harus cerdas memilih. Kritis dalam mencermati setiap kandidat wakil rakyat. Hal termudah yang dapat dilakukan para pemilih pemula adalah dengan mencari tahu. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencari tahu yakni bertanya, membaca, dan browsing melalui internet. Apa saja yang harus di cari tahu? Tentu saja riwayat para kandidat wakil rakyat mengenai kehidupan sosial dan pribadi mereka. Contohnya saja keterlibatan mereka dalam organisasi, pernah atau tidakkah mereka terlibat dalam sebuah kasus kekerasan atau kriminal lainnya, tak kalah penting informasi mengenai karakter dan watak kandidat. Dari hal-hal inilah para pemilih pemula dapat menjadi pemilih cerdas yang turut berperan dalam menentukan nasib bangsa. Kepada siapa negara ini akan dipimpin? Kembali lagi, pilihan ada di tanganmu.