*Oleh: Ratnasari Nugraheni
Tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak dibarengi dengan tegaknya keadilan bagi para korbannya. Jumlah kasus KDRT yang melalui proses peradilan hukum hanya sekitar 10%, sedangkan 90% pelaporan kasus tidak dilanjutkan atau dicabut. Hal inilah yang melatarbelakangi Rifka Annisa gencar mendorong adanya konseling perubahan perilaku laki-laki. Isu inilah yang menjadi topik hangat dalam diskusi Rifka Annisa di acara ‘Bincang Hari Ini’di Jogja TV, pada hari Sabtu, 18 Januari 2014 yang dipandu oleh Denta Aditya, bersama Agung Wisnubroto selaku konselor laki-laki Rifka Annisa dan Nurul Kurniati selaku konselor hukum Rifka Annisa.
Nurul sendiri mengungkapkan bahwa pelibatan laki-laki ini memiliki tujuan untuk mempercepat upaya penghapusan KDRT, sehingga perlu adanya berbagai kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan konkret yang dilakukan Rifka Annisa yaitu melakukan kerjasama dengan Polres Gunung Kidul dan Bantul untuk menawarkan kesepakatan dalam kasus KDRT. Maksud dari kesepakatan itu sendiri adalah kesepakatan untuk mencabut laporan yang disertai dengan adanya konseling dalam proses recovery-nya, sehingga perceraian dapat dihindari dan KDRT tidak terulang kembali.
Agung pun menjelaskan bahwa melalui konseling, laki-laki diajak untuk mengenal diri dan memahami posisinya ketika berhadapan dengan perempuan. Selama ini, laki-laki selalu disandingkan dengan nilai-nilai dan konsep diri yang superior dan dominan, ditambah dengan budaya patriarki yang berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini, cara pandang laki-laki mulai diubah ke arah yang lebih positif melalui pembelajaran berkomunikasi yang baik, menjadi ayah yang dekat dengan anak dan istri, dan mengelola amarah.
Diskusi ini pun mengundang ketertarikan beberapa masyrakat daerah Yogyakarta, seperti Rudi di Bachiro, Dikin di Sleman, dan Lukito di Nogotirto. Rudi mengungkapkan bahwa tidak hanya laki-laki yang menjadi pelaku KDRT. Akan tetapi, perempuan juga memungkinkan menjadi pelaku. Hal ini ditanggapi secara positif oleh pembicara dari Rifka Annisa. “Memang perempuan juga bisa menjadi pelaku. Maka dari itu, dibutuhkan pola komunikasi asertif antar pasangan yang baik. Sehingga akan terbentuk relasi yang setara”, ungkap Nurul. Lain Rudi, lain Dikin. Dikin menanyakan mengenai permasalahan yang dialami oleh adiknya karena adanya Pria Idaman Lain (PIL). Secara gamblang, Agung Wisnubroto mengungkapkan perlu adanya perkenalan komitmen antara kedua pasangan dalam membangun keluarga. Jika memang masih ingin bersama, lakukanlah berbagai upaya nyata dalam menggali kembali relasi antar pasangan. Kemudian, menyimak apa yang menjadi kebutuhan pasangan. Tak dapat dipungkiri, perlu adanya bantuan dari pihak ketiga apabila dirasa sudah tidak mampu. Jikalau sudah menempuh proses peradilan, proses mediasi bisa dimaksimalkan. Lukito di Nogotirto pun menambahkan bahwa laki-laki harus mendengar perempuan sehingga tercipta dialog yang sehat.
Di akhir perbincangan, Nurul dan Agung menyampaikan beberapa manfaat pokok konseling perubahan perilaku laki-laki yaitu mereka mampu berkomunikasi dan mengelola marah. Hal ini sangat baik ketika para laki-laki akan membangun hubungan lama ataupun baru. Konsep ini juga baik dikenalkan sejak dini atau saat usia remaja. Nurul menambahkan bahwa dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) pasal 50, hakim dapat menjatuhkan putusan tambahan dengan mencantumkan konseling bagi kedua pasangan yang menginginkan untuk rujuk kembali. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai lembaga sehingga dapat menekan angka KDRT yang semakin melambung tinggi.
Rifka Annisa yang berarti 'Teman Perempuan' adalah organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 26 Agustus 1993, organisasi ini diinisiasi oleh beberapa aktivis perempuan: Suwarni Angesti Rahayu, Sri Kusyuniati, Latifah Iskandar, Desti Murdijana, Sitoresmi Prabuningrat dan Musrini Daruslan.
Rifka Annisa hadir karena keprihatinan yang dalam pada kecenderungan budaya patriarki yang pada satu sisi memperkuat posisi laki-laki tetapi di sisi lain memperlemah posisi perempuan. Akibatnya, perempuan rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi, sosial, maupun seksual seperti pelecehan dan perkosaan. Adanya persoalan kekerasan berbasis gender yang muncul di masyarakat mendorong kami untuk melakukan kerja-kerja dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Rifka Annisa meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya berbagai faktor yang saling mendukung. Rifka Annisa menggunakan kerangka kerja ekologis (ecological framework) untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Secara sederhana, kerangka kerja ekologis ini digambarkan sebagai 5 lingkaran konsentris yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Lingkaran yang paling dalam pada kerangka ekologis adalah riwayat biologis dan personal yang dibawa masing-masing individu ke dalam tingkah laku mereka dalam suatu hubungan. Lingkaran kedua merupakan konteks yang paling dekat di mana kekerasan acapkali terjadi, yaitu keluarga atau kenalan dan hubungan dekat lainnya. Lingkaran ketiga adalah institusi dan struktur sosial, baik formal maupun informal, di mana hubungan tertanam dalam bentuk pertetanggaan, di tempat kerja, jaringan sosial dan kelompok kemitraan. Lingkaran keempat adalah lingkungan ekonomi dan sosial, termasuk norma-norma budaya dan sistem hukum negara. Sedangkan lingkaran paling luar adalah lingkungan ekonomi dan sosial global, institusi dan struktur sosial global, jaringan global dan kelompok kemitraan bilateral atau global.
Oleh : Ratnasari Nugraheni
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) masih menjadi permasalahan serius yang tak kunjung berakhir. Di Indonesia, budaya patriakhi yang menempatkan laki-laki sebagai kaum dominan baik dalam keluarga maupun masyarakat menjadi salah satu penyebab KTP semakin abadi. Ketimpangan inilah yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan menjadi gejala sosial yang lumrah. Rifka Annisa mencatat, di tahun 2012 terjadi 228 kasus kekerasan terhadap istri dan merangkak naik di tahun 2013 menjadi 254 kasus. Kekerasan tak hanya berlangsung dalam ikatan hubungan pernikahan, tetapi juga terjadi di luar ikatan tersebut, contohnya saja kekerasan dalam pacaran.
Angka di tahun 2013 memang menunjukkan adanya penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yakni semula 27 kasus di tahun 2012 menjadi hanya sekitar 14 kasus. Akan tetapi, tetap saja KTP masih terus berlangsung dan perempuanlah yang menjadi objek sasarannya, sehingga mereka masih berada dalam posisi insecure. Lalu bagaimana di tahun 2014? Akankah perempuan tetap menjadi objek sentral dalam mata rantai kekerasan? Hal-hal tersebutlah yang diangkat Rifka Annisa dalam acara “Bincang Hari Ini” di Jogja TV bertajuk “Refleksi dan Resolusi 2014 Gerakan Perempuan: Catatan Perjalanan Rifka Annisa” pada hari Sabtu, 4 Desember 2014. Acara diskusi berlangsung selama 1 jam, sejak pukul 14.30 WIB dengan pembicara Suharti Mukhlas selaku Direktur Rifka Annisa dan Nurul Kodriati selaku Manajer Pelatihan dan Penelitian Rifka Annisa.
Bercermin pada tingginya angka kasus kekerasan yang terjadi di sepanjang tahun 2013, Rifka Annisa menyoroti hal tersebut dalam dua sisi. Pertama, pada akhirnya tingkat kesadaran masyarakat akan kekerasan semakin meningkat. Para korban kekerasan akhirnya mau terbuka, dimana awalnya hal-hal kekerasan khususnya dalam lingkup keluarga merupakan permasalahan yang tabu. Akan tetapi, masyarakat sudah mau berbicara ke publik pada saat ini. Kedua, memang kasus kekerasan pada tahun 2013 meningkat, namun hal yang perlu disoroti pula bahwa masih banyak kasus kekerasan yang belum dilaporkan karena korban belum berani berbicara ke publik. Selain itu angka-angka yang diperoleh Rifka Annisa merupakan sebagian kecil kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta terlebih Indonesia. Rifka Annisa hanya salah satu lembaga yang memberikan layanan terhadap kasus kekerasan. Tentu saja, lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang serupa memiliki catatan tersendiri yang masing-masing beragam.
Berdasarkan penelitian survey maskulnitas di tiga provinsi di Indonesia (Jakarta, Purworejo dan Papua yang dilakukan Rifka Annisa di tahun 2013, menunjukan setidaknya ada 80% laki-laki baik, yaitu lekaki pelaku kekerasan yang menyesal atas tindakan yang telah dilakukannya. Rifka Annisa sendiri memprediksi bahwa di tahun 2014, kesadaran para pelaku akan semakin banyak terekspose. Hal ini yang mendorong Rifka Annisa untuk menumbuhkan kesadaran dan mengajak kaum laki-laki untuk bersama-sama mencegah adanya tindakan KTP sebagai upaya preventif KTP. Tindakan nyatanya adalah dengan melibatkan ayah dalam pengasuhan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pengalaman kekerasan yang pernah dialami berkorelasi dengan tindakan yang dilakukan kelak, sehingga sangat diperlukan pengasuhan yang baik, adil gender, dan bebas kekerasan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu resolusi Rifka Annisa di tahun 2014.
Selain itu, Rifka Annisa juga memiliki resolusi untuk berfokus pada remaja. Banyak sekali remaja yang menjadi korban kekerasan sehingga perlu adanya penyuluhan dan penanaman kesadaran pada diri remaja. Rifka Annisa juga akan mengupayakan untuk bekerjasama dengan KUA untuk memberikan pelatihan pra-nikah sehingga tindakan KDRT dapat berkurang. Terakhir, Rifka Annisa akan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual melalui UU perlindungan anak dan UU KDRT. Dengan demikian, diharapkan di penghujung 2014 nanti, angka kekerasan dapat berangsur-angsur berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.