Pekerja Seks Komersial adalah kelompok yang rentan mengalami kekerasan serta diskriminasi, tetapi kurang mendapatkan perlindungan dan perhatian. Menurut pengertiannya pekerjaan seks komersial adalah suatu ketetapan atau ketentuan dimana terjadi penukaran layanan jasa seksual untuk memperoleh pembayaran atau untuk memperoleh material. Seseorang yang melakukan pekerjaan tersebut disebut dengan Pekerja Seks Komersial atau biasa disebut dengan PSK. Istilah pekerja seks komersial (PSK) menggantikan istilah sebelumnya yaitu wanita tuna susila (WTS). Dalam perkembangannya yang menjual jasa seksual tidak hanya perempuan namun juga laki-laki, akan tetapi dalam tulisan ini memberi batasan pada perempuan. Karena, perempuan lebih rentan mengalami tindak kekerasan dibandingkan laki-laki.
Motivasi Menjadi PSK
Perlu diketahui bahwa seseorang menjadi PSK tidak selalu murni karena dorongan atau pilihan pribadi, tetapi sebelumnya ada faktor-faktor kuat yang mendorong seseorang untuk memilih profesi tersebut. Pertama adalah faktor ekonomi. Adanya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi baik dirinya maupun keluarganya turut mendorong seseorang untuk memutuskan menjadi PSK. Selain itu, kurangnya ketrampilan yang dimiliki untuk bekerja, rendahnya pendidikan yang dimiliki, serta faktor gaya hidup merupakan sekian dari faktor pendukung yang tercangkup dalam faktor ekonomi, sehingga mendorong perempuan memilih jalan menjadi PSK.
Faktor kedua adalah menjadi korban penipuan yang berkedok menawarkan suatu pekerjaan, tetapi pada akhirnya dipekerjakan menjadi PSK. Faktor keluarga yang terjerat hutang atau bermasalah juga turut mendorong perempuan untuk terjun dalam dunia seks komersial. Dan yang terakhir adalah faktor kekerasan seksual, dimana seorang pernah menjadi korban kekerasan seksual atau memiliki pengalaman kekerasan seksual sebelumnya. Semua faktor tersebut bisa menjadi latar belakangseseorang menjadi PSK.
Kekerasan Dan Diskriminasi Pada PSK
Berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan stigma negatif sangat rentan di alami oleh PSK. Kekerasan yang dialami tersebut mencakup kekerasan fisik, ekonomi, maupun seksual dari orang-orang terdekat seperti keluarga bahkan pelanggan. Kekerasan fisik yang diterima PSK misalnya, ditendang, dijambak, didorong, ditonjok, disulut rokok, dan perlakuan kasar lainya yang menimbulkan rasa sakit. Belum lagi jika mereka menemukan pelanggan yang memiliki kelainan seksual seperti seksual masokisme dan seksual sadisme. Dampaknya sangat menyedihkan bahkan bisa menghilangkan nyawa. Perlakuan kasar tersebut biasanya diterima dan dianggap biasa saja oleh para PSK, karena mereka beranggapan itu resiko dari pekerjaan mereka. Cara mereka dalam mengatasinya adalah dengan bicara baik-baik pada pelanggan agar tidak berbuat kasar, tetapi cara tersebut terkadang tidak dihiraukan oleh pelanggan (apalagi jika pelanggan dalam pengaruh minuman beralkohol).
Kekerasan psikis juga dialami oleh PSK. Ketika seorang perempuan memilih pekerjaan sebagai PSK maka segala atribut dan stigma negatif yang berlawanan dengan norma dan agama akan menempel pada mereka. Mereka dianggap sampah masyarakat, penyebar penyakit kelamin dan penularan HIV dan AIDS (walaupun anggapan ini tidak tepat, karena yang menularkan HIV adalah laki-laki, dan PSK adalah korban, yang apabila tertular akan memperpanjang mata rantai penularan HIV). Segala stigma negatif tersebut mau tidak mau diterima oleh para PSK, karena mereka menganggap itu adalah resiko dari profesi yang mereka pilih.
Makian dan cacian biasa mereka terima baik dari pelanggan ataupun masyarakat. PSK menganggap biasa perlakuan tersebut, jika dia melawan tidak ada untungnya untuk dia, karena pastinya akan kehilangan pendapatan. Apalagi jika PSK terdesak membutuhkan uang kemungkinan untuk terdorong menerima berbagai perlakukan kasar tersebut tentu lebih besar. Selain itu, para PSK juga rentan terhadap janji-janji manis seperti kebanyakan perempuan, karena tujuan hidup mereka untuk hidup lebih baik dan dihargai pasangan hidupnya.
Segala tindakan kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi dan seksual, PSK terima karena PSK menyadari posisi profesinya mereka. Merekahanya bisa memendam pedih dalam hati dan berharap hidup lebih baik bisa mereka rasakan. Beberapa orang mungkin tidak menyadari atau bahkan yang lebih parah mengannggap lumrah jika PSK mengalami kekerasan terkait dengan profesinya. Karena pekerjaan mereka berlawanan dengan agama dan norma yang ada. Berbagai diskriminasi dan stigma negatif diberikan pada mereka, tanpa sedikitpun berfikir bahwa layanan jasa mereka ada, karena ada konsumennya yaitu laki-laki.
Sikap Pemerintah
Pengelolaan dan peraturan mengenai lokalisasi PSK memang diserahkan pada pemerintah daerah. Pemerintah daerah berhak melakukan penertiban maupun penutupan lokalisasi dengan berbagai pertimbangan. Akan tetapi, upaya pembubaran lokalisasi tanpa mengentaskan PSK dengan cara memberikan pendidikan dan ketrampilan bekerja akan sama saja hasilnya. Mereka akan tetap beroperasi sebagai PSK individu dan tidak terkoordinir. Inibisa terjadi karena konsumen pengguna jasa tetap ada. Penertiban seharusnya tidak hanya pada PSK tapi juga kepada konsumen.
Fenomena penangkapan atau penertiban PSK yang dibilang PSK ilegal kiranya dalam hal ini pemerintah harus tegas dimana sikapnya berpijak. Ketika lokalisasi dilegalkan yang didalamnya juga ada PSK tetapi tidak ditertibkan, karena mereka sudah terkoordinasiidalam satu tempat. Sedangkan, PSK yang terselubung yang dikatakan ilegal ditertibkan. Alasannya mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum. Halini mengisyaratkan jika tidak mau ditangkapi jadilah PSK legal dilokalisasi. Analogi jelasnya, karena ketika mereka di lokalisasi maka turut menyumbang pendapatan daerah, tetapi jika PSK ilegal tidak demikian, jadi ditertibkan.
Jika boleh dikatakan sikap pemerintah seperti bermuka dua. Dan hal tersebut harus segera dibenahi, jika lokalisasi dilegalkan maka harus ada peraturan yang jelas, yang melindungi PSK baik dari berbagai sisi karena mereka perempuan, kesehatan, maupun kemanusiaan dan bebas dari berbagai tindak kekerasan. Jika memang tidak diperbolehkan maka harus tegas, dan mencari upaya memutus adanya transaksi seksual dalam bentuk apapun.
Pemberian pendidikan, wawasan agama, dan ketrampilan adalah bekal mereka memulai kehidupan yang baru. Selain itu, diperlukan peran masyarakat untuk membuka hati dan menerima mantan PSK untuk kembali pada masyarakat. Tanpa menyinggung bagaimana mereka sebelumnya. Hal tersebut merupakan beberapa upaya dalam melepaskan perempuan dari produk patriarkhi, yaitu dunia prostitusi. PSK perempuan juga manusia yang berhak untuk dilindungi, dientaskan dari belenggu profesinya agar bisa menatap kehidupan lebih baik. Karena sesungguhnya mereka hanya korban dari kerasnya kehidupan ekonomi dan budaya patriarkhi.
Oleh: Sri Yulita Pramulia Panani