Kehidupan rumah tangga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Namun, tidak semua pasangan suami istri dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Sehingga tak jarang kedua belah pihak memutuskan untuk bercerai. Perceraian bisa jadi merupakan pilihan terakhir bagi pasangan suami istri yang hanya akan merasa saling menyakiti jika tetap mempertahankan pernikahan. Jika perceraian tak terhindarkan maka penting untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi.

Salah satu yang perlu disiapkan adalah anak. Tidak semua anak mengerti mengapa ayah dan ibunya harus berpisah. Jika perceraian terpaksa menjadi pilihan maka perlu mempersiapkan anak menghadapinya untuk mengurangi trauma atau efek buruk jangka panjang bagi anak akibat perpisahan orang tuanya.

Maka, anak perlu mendapatkan dukungan dan pendampingan dalam menghadapi proses maupun dampak dari perceraian orang tua. Berikut langkah-langkah yang bisa diupayakan.

Pertama, mengajak anak bicara. Berapapun usia anak, sampaikan ke dia bahwa proses perceraian tengah terjadi. Bicarakan dengan sederhana sesuai tingkatan umur anak bahwa dalam waktu dekat akan terjadi perpisahan antara orang tua. Perlu ditekankan bahwa pemberitahuan tentang perceraian sebaiknya dilaksanakan saat kedua orang tua telah sepakat bahwa perceraian akan terjadi untuk mengantisipasi kemungkinan cemas yang berkepanjangan. Jelaskan pula bahwa perceraian terjadi bukan karena kesalahan mereka (anak-anak) dan mereka bukanlah orang yang bertanggung jawab atas perceraian ini.

Kedua, menjelaskan alasan perceraian secara jujur. Ketika anak kerap menanyakan mengapa ayah dan ibunya harus bercerai, jawablah pertanyaan anak secara jelas dan jujur tanpa harus membuka seluruh detil kehidupan orang tua.

Ketiga, memberitahukan dan mendiskusikan rencana kehidupan anak ke depan. Pemberitahuan tentang rencana perceraian disertai dengan rencana kehidupan anak ke depan, misalnya dengan siapa mereka akan tinggal, apakah mereka harus pindah sekolah atau bagaimana dan seberapa sering mereka akan berjumpa dengan ayah/ibu sebagai pihak yang meninggalkan rumah.

Keempat, memberikan waktu kepada anak untuk mencerna. Setelah pemberitahuan disampaikan, berikan waktu pada anak untuk memahami penjelasan tersebut. Mungkin anak belum bisa langsung memahami ketika orang tua sedang menjelaskan karena ketika sedang dijelaskan bisa jadi anak sekaligus sedang merasakan kecemasan dan kegelisahan. Orang tua perlu untuk membuka ruang diskusi setelah penjelasan dilakukan, hal ini memberi kesempatan anak untuk menanyakan apapun atau sekedar memberikan komentar atas pemahaman anak atas informasi dari orang tua.

Kelima, berkomunikasi secara aktif dengan anak. Kerap kali mereka membutuhkan kesempatan untuk dapat mengekspresikan kesedihan atau kemarahan. Sangat penting untuk membuka ruang komunikasi. Berilah kesempatan pada anak untuk mencurahkan isi hati mereka. Bila timbul banyak pertanyaan atau permintaan agar kedua orang tua kembali bersatu, berikan jawaban secara jujur dan jelas tentang kondisi perkawinan.

Tidak Menjelekkan

Selain kelima hal di atas, beberapa hal berikut penting juga diperhatikan dalam mempersiapkan anak menghadapi perceraian orang tuanya. Sebaiknya suami/istri tidak menjelek-jelekkan pasangan dan keluarga besar juga tidak lantas membicarakan kejelekan mereka kepada anak maupun anggota keluarga yang lain. Ini menjadi penting sebab ketika hal itu terjadi akan memperburuk situasi perceraian dan dampak bagi anak. Seringkali, dalam beberapa kasus perceraian, kemarahan kepada pasangan mendorong keinginan untuk menunjukkan keburukan pasangan kepada anak.

Menjelekkan pasangan di hadapan anak hanya akan melukai perasaan anak. Jika Anda merasa perlu mengatakan hal yang sesungguhnya, lebih baik katakan dengan meminimalisir penilaian. Misalnya, “Dia sering berperilaku menyakiti orang lain ketika marah”, daripada mengatakan “Dia hanya mau menang sendiri, perilakunya seperti tukang pukul”.

Selanjutnya, bersikap kooperatif dengan pasangan. Hal ini bisa jadi satu pekerjaan yang sulit bagi suami istri yang sedang dalam proses perceraian. Buatlah kesepakatan dan komitmen bahwa proses perceraian bisa lebih cepat dan mudah ketika suami-istri bisa saling bekerja sama. Bicarakan siapa yang akan menyampaikan kepada anak mengenai perpisahan, bagaimana cara menyampaikannya, dengan siapa anak akan tinggal setelah perpisahan, serta bagaimana mengatur pertemuan dengan anak ketika sudah tinggal terpisah dengan ayah/ibunya.

Berbagi Perasaan

Jika orang tua perlu berbagi perasaan dengan anak, tunggu pada level emosi yang mampu Anda kendalikan. Orang tua bisa menceritakan perasaan sedih, kehilangan, marah, atau lainnya sekaligus mengajak anak untuk terbuka mengenai perasaannya.

Perasaan cemas akan kehilangan orang tua akan menghampiri anak setelah disampaikan bahwa orang tua akan tinggal terpisah. Kecemasan biasanya meningkat ketika anak-anak harus menghadapi teman-teman sekolah atau komunitas bermainnya. Orang tua sebaiknya segera meresponnya dengan menyampaikan bahwa mereka akan tetap memiliki kedua orang tua meski salah satu orang tua tinggal terpisah dengan anak. Ayah/ibu akan tetap berperan dan bertanggung jawab seperti ketika masih tinggal bersama anak. Orang tua akan tetap siap mendengar setiap keluhan anak. Orang tua akan tetap siap mendengar setiap keluhan anak, siap memberikan dukungan, siap memberikan pertimbangan atau arahan, dan seterusnya. Penjelasan ini diharapkan memberikan pemahaman kepada anak bahwa semuanya tetap sama kecuali terpisah tempat tinggal dengan salah satu orang tua.

Selanjutnya, keluarga perlu senantiasa mengupayakan suasana tetap positif. Atmosfer positif sebaiknya diupayakan agar anak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Upaya minimal yang bisa dilakukan adalah memberikan kenyamanan untuk semua orang yang tinggal di rumah.

Langkah-langkah di atas mungkin tidak mudah dilakukan, namun jika diupayakan harapannya dapat mengantisipasi dampak perceraian bagi anak.

Kamis, 08 Februari 2018 01:04

Sungkan Bicara Masalah Keuangan

 

Halo Rifka Annisa,
Saya KK, sudah menikah dan memiliki dua anak. Akhir-akhir ini saya dan istri seringkali cekcok. Saya heran dengan istri yang selalu saja mengeluhkan bahwa nafkah yang saya berikan tak pernah cukup. Menurut saya, yang bermasalah adalah istri saya kurang mampu mengatur keuangan dengan baik. Terkadang dia masih membeli barang yang menurut saya tidak penting, misal seperti toples-toples plastik, baju-baju, dan alat make up. Seandainya dia mau mengurangi berbelanja hal-hal tidak penting tersebut, pasti uang yang saya berikan cukup untuk kebutuhan keluarga kami. Akibat permasalahan ini, kadang-kadang istri mendiamkan saya dan bersikap dingin. Saya sudah mencoba mengajak diskusi istri tapi masih kembali cekcok. Bagaimana sebaiknya agar konflik tersebut tidak berulang-ulang dan berlarut?
Salam, KK

Jawab :

Kami seringkali menemui permasalahan ini dalam konseling di Rifka Annisa. Masalah manajemen keuangan adalah masalah yang gampang-gampang susah. Disebut gampang karena manajemen keuangan adalah soal transparansi pemasukan dan pengeluaran, serta menyepakati mana yang penting dan tidak penting untuk dibelanjakan. Tiadanya pencatatan keuangan seringkali membuat suami dan istri saling curiga. Oleh sebab itu, sebaiknya kesepakatan soal pencatatan keuangan dan mendiskusikan prioritas kebutuhan sudah dilakukan sejak awal berumah tangga. Hal itu tentu membutuhkan konsistensi dan terkadang tidak mudah. Oleh sebab itu, coba kembali bicarakan dengan istri, di waktu yang cukup luang dan suasana yang menyenangkan. Misal, ajak istri keluar makan bersama, kemudian bicarakan hal tersebut dengan istri Anda. Jangan lupa, untuk mendengarkan terlebih dahulu secara tuntas keluhan istri Anda. Di sini, mendengar merupakan hal yang penting. Selanjutnya, bicarakan solusinya bersama-sama. Dengan melakukan pencatatan secara rutin, Anda dan istri mulai akan terbiasa membicarakan pengeluaran mana yang sebenarnya prioritas dan mana yang bukan. Demikian Pak KK, semoga membantu. Apabila Anda ingin lebih lanjut berkonsultasi, Bapak dan Istri dapat menghubungi kantor kami untuk couple counseling atau konseling berpasangan.

 

Harian Jogja, 28 Desember 2017


Niken Anggrek Wulan
Staf Humas dan Media di Rifka Annisa

Kamis, 08 Februari 2018 00:52

Istri Hamil, Suami Abai

 

Halo Rifka Annisa, Saya sudah tidak tahu harus cerita dan minta tolong pada siapa. Usia pernikahan saya belum genap satu tahun, tapi saya sudah tidak tahan dengan sikap suami saya. Setiap hari dia cuek seolah saya tak kasat mata. Mertua dan saudara iparnya selalu mengolok saya. Saya ingin bercerai tapi saya dalam kondisi hamil 6 bulan. Saya juga tidak diberi uang untuk check-up rutin. Saya takut tidak bisa merawat bayi ini dan terpikir ingin aborsi. Pada awal kehamilan, keluarga suami sempat menyuruh saya makan buah nanas dan minum soda. Dulu saya pernah keguguran dan komplikasi saat melahirkan anak pertama saya. Jujur saya takut kalau terjadi apa-apa pada saya. Anak saya yang pertama baru berusia 8 tahun. Mungkin dulu keputusan kami menikah memang terlalu cepat. Kami hanya saling mengenal dalam kurun 1 bulan. Kami sama-sama ada anak dari pernikahan sebelumnya. Suami lebih memilih untuk mengirimkan gajinya pada mantan istri dan anak-anak dari pernikahan yang pertama. Dia bilang dia sudah berkomitmen. Saya di sini tidak punya siapa-siapa. Saya merasa tersiksa dan tertekan sekali. Setiap malam saya hanya bisa menangis dalam doa. Saya terpikir untuk menitipkan bayi ini pada orang yang mau mengasuhnya daripada dia hidup di tengah keluarga yang carut marut. Dulu saya juga pernah dipukuli suami pada pernikahan pertama. Jujur saya sudah sangat lelah kalau harus mengalami hal serupa sekali lagi. (M di Jogja)

Jawab :

Terima kasih Ibu M sudah berbagi cerita dengan kami. Kami bisa paham perasaan Ibu yang tertekan sekaligus gelisah dengan kondisi kehamilan, apalagi dengan riwayat medis dan komplikasi yang pernah Ibu alami. Apakah Ibu ada saudara atau teman dekat yang bisa diajak berdiskusi? Kalau boleh kami sarankan, sebaiknya Ibu fokus pada kehamilan dulu, dan alangkah lebih baiknya jika ada orang yang bisa menemani Ibu. Jika Ibu belum pernah memeriksakan kehamilan, Ibu bisa datang ke Puskesmas. Kami bisa mengerti persoalan yang Ibu alami dengan suami. Setiap pernikahan pasti memerlukan proses adaptasi karena pernikahan menyatukan dua individu dan keluarga yang berbeda. Terlebih lagi Ibu dan suami sama-sama sudah pernah menikah sebelumnya. Dalam proses berkenalan yang singkat, mungkin Ibu dan suami belum sempat membicarakan tentang pengaturan keuangan dan rencana kehamilan. Makanya saat mengetahui bahwa Ibu hamil, baik Ibu maupun suami kelabakan karena belum dipersiapkan.
Keinginan suami untuk menafkahi mantan istri dan anak-anaknya tentu bukan hal yang buruk. Namun sebagai orang yang memutuskan untuk menikah, ia tetap punya tanggung jawab terhadap Ibu sebagai istri resmi sekaligus terhadap anak dalam kandungan. Suami juga perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan saat istrinya sedang hamil. Oleh karena itu, hal ini perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan suami dan keluarga besar dari masing-masing pihak. Hal yang terpenting sekarang adalah Ibu periksakan kehamilan untuk memastikan bahwa Ibu dan janin dalam kondisi sehat supaya proses persalinan nanti lancar. Jika Ibu tinggal bersama mertua dan kondisinya kurang nyaman bagi Ibu, Ibu bisa coba bicarakan opsi lain dengan suami, misalnya tinggal bersama keluarga Ibu terlebih dahulu sampai anak lahir. Ibu tidak perlu terburu-buru membuat keputusan besar dalam kondisi bingung dan tertekan. Nanti jika kondisi Ibu sudah lebih tenang pasca melahirkan, Ibu bisa membicarakan lagi kondisi rumah tangga dengan suami. Jika Ibu merasa ada kesulitan beradaptasi dalam tahun-tahun awal pernikahan, Ibu dan suami bisa mengakses layanan konseling pasangan di Rifka Annisa. Jika Ibu berminat untuk konsultasi lebih lanjut, Ibu bisa datang langsung ke kantor kami atau menghubungi kami lewat nomor hotline. Semoga informasi ini bisa membantu Ibu.


Annisa Nuriowandari
Konselor Psikologi di Rifka Annisa

Harian Jogja, 30 November 2017

Kamis, 08 Februari 2018 00:42

Curiga dengan Istri yang Bekerja

 

Halo Rifka Annisa, saya B dari Yogyakarta. Saya sudah menikah dengan istri saya kurang lebih lima tahun. Dari awal menikah, saya tidak menyangka akan menghadapi masalah rumah tangga. Masalah bermula ketika istri memutuskan bekerja kembali, karena untuk menambah kebutuhan rumah tangga kami dan dua anak kami. Awalnya saya tidak masalah dan mengijinkan ia bekerja. Saya sendiri bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan istri saya menjadi karyawati bagian keuangan di sebuah kantor di Yogyakarta. Memang, pekerjaan saya sebagai buruh kadang cukup, kadang juga tidak. Tapi saya pikir lumayan bisa menutupi kebutuhan ketika kami hidup sederhana saja. Akhir-akhir ini saya rasa dia kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja dan mengasuh anak. Seringkali pulang mepet maghrib, dan kadang-kadang lembur, dan kurang waktu untuk mengasuh anak. Sebagai suami, saya kadang mengecek HP-nya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saya juga sering cek, dengan cara menelepon dan menanyakan via WA/SMS. Tapi menurutnya saya terlalu sering mengganggunya. Bagaimana menurut Rifka Annisa? Saya hanya ingin keluarga kami tetap menjadi keluarga yang baik-baik. Terimakasih. (B dari Jogja)

Jawab :

Terimakasih Bapak B di Yogyakarta. Seiring jaman, tuntutan terhadap keluarga makin banyak. Mulai dari kebutuhan sekolah, rumah, sampai dengan rekreasi. Keluarga dituntut kreatif untuk menyiasati berbagai kebutuhan tersebut. Setiap keluarga berusaha bertahan dengan menentukan prioritas kebutuhan dan mencari tambahan pendapatan agar tidak besar pasak daripada tiang. Karena itu, kemudian terjadi perubahan sosial dimana tidak hanya ayah yang bekerja mencari nafkah, tetapi juga ibu. Tetapi di sisi lain, pola pikir masyarakat kadang-kadang tidak beranjak dari pola pikir tradisional, dimana ada pembagian peran yang saklek atau baku dalam rumah tangga yakni ayah bekerja di luar, ibu bekerja di rumah mengasuh anak. Sebenarnya, pola tersebut tidak bermasalah apabila tidak dibakukan. Tetapi ketika , hal itu menjadi bermasalah. Di satu sisi, laki-laki menjadi rendah diri ketika pendapatannya kurang banyak atau lebih rendah dari si perempuan. Di sisi lain, perempuan mengalami beban ganda, yakni bekerja di luar rumah, tetapi tetap dibebani semua pekerjaan rumah tangga, termasuk mengasuh anak, sehingga rentan mengalami kelelahan. Kewajiban menyeimbangkan karir dan pekerjaan rumah tangga hanya dibebankan pada perempuan. Dari cerita Bapak, sebaiknya perlu digali kembali dan berdiskusi dengan istri di saat waktu santai, tentang bagaimana sebenarnya pekerjaan istri, dan bagaimana perasaannya terhadap pekerjaan dan mengerjakan pekerjaan rumah. Kemudian soal mengecek HP karena curiga, rentan memicu pertengkaran karena istri merasa tidak dipercaya dan menunjukkan sikap resisten. Cobalah berbicara dengan istri dari hati ke hati mengenai kekhawatiran Anda dan mencari solusi bersama. Demikian Bapak B, apabila Bapak ingin berkonsultasi lebih lanjut, Bapak B dapat berkonsultasi dengan konselor laki-laki kami. Atau apabila Bapak berminta untuk konseling berpasangan dengan istri, Bapak dapat menghubungi kami.

 

Harian Jogja, 2 November 2017

Rabu, 07 Februari 2018 16:21

Fenomena Dukun Cabul

 

Halo Rifka Annisa, di daerah saya sedang ada kasus ‘dukun cabul’. Ada ibu-ibu di lingkungan saya yang sakit keras. Karena takut untuk periksa di rumah sakit, kemudian ia memutuskan untuk periksa di orang pintar. Di pertemuan pertama, kedua dan ketiga, ia datang bersama suami ke dukun tersebut. Awalnya diminta memenuhi syarat, seperti memberi uang, ayam, dll. Kemudian setelah itu, ia datang sendiri ke rumah dukun tersebut, namun justru terjadi perkosaan. Si Ibu diancam akan dibuat jadi gila ketika tidak menuruti permintaan dukun tersebut. Saat ini pelaku sudah dilaporkan ke polisi. Pertanyaan saya, bagaimana cara agar masyarakat teredukasi agar waspada terhadap modus seperti itu? Terimakasih. (Y di Jogja)

Jawab :

Halo Y di Jogja. Rifka Annisa juga pernah menangani kasus-kasus semacam itu. Karena korban sudah percaya sepenuhnya bahwa dukun dapat menyembuhkan, korban kemudian tak sadar mau melakukan apa saja yang diminta dukun. Atau dalam kasus yang Anda sebutkan, korban diancam  oleh dukun, dan kemudian sangat ketakutan. Untuk itulah, masyarakat perlu sangat waspada dengan modus semacam itu. Apabila terjadi seperti kasus di atas, jangan mandi dulu, simpan semua baju dan barang yang dikenakan saat peristiwa, kemudian melapor ke kepolisian. Polisi akan meminta keterangan dan mengarahkan ke rumah sakit untuk visum. Yang lebih penting lagi, agar tidak lagi terjadi peristiwa kekerasan seksual, sebaiknya di lingkungan dapat dilakukan sosialisasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Apabila membutuhkan narasumber, Y dapat mengundang narasumber dari Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA) di tingkat Desa, Kelurahan atau Kecamatan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) tingkat Kabupaten/Provinsi, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres atau Polda, Rifka Annisa, atau lembaga terkait lainnya.

 

Harian Jogja, 5 Oktober 2017

46781465
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4787
16122
289832
343878
46781465